Sepuluh tahun dikhianati, Jihan bertahan demi buah hati. Saat dia ingin menyerah, Aditya justru berdarah-darah ingin memperbaiki semua. Bagaimana akhir kisah mereka? "Kau mau tahu apa itu pengorbanan? Lihatlah aku! Sepuluh tahun aku memeluk luka. Menunggumu yang tertidur lelap agar bangun dan segera sadar kembali. Aku diam dalam nestapa. Menikmati sakit dan nyeri yang setiap detik merongrong hati. Lalu, baru segini kau sudah sesumbar? Berkata seolah kau sudah mengorbankan segalanya dengan kepala tegak dan tatapan bangga di hadapanku? Omong kosong! Jangan membuat aku mati tertawa, Aditya Buana!" -Jihan Qirani-
View More"Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu."
Mendadak ruangan yang diperuntukkan bagi talent berdandan itu hening. Tempat yang tadinya ramai oleh canda dan tawa menjadi senyap seketika. Ruangan itu sempurna tanpa suara. Hanya terdengar pendingin ruangan yang berdesing pelan menandakan benda itu bekerja secara maksimal. Hampir secara bersamaan, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh pada gadis muda yang berdiri santai di samping meja rias Jihan. Wanita itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan pada Jihan yang masih terpaku menatapnya dengan wajah kebingungan. Ketukan di pintu membuat kesibukan yang sempat terhenti menggeliat kembali. “Jihan, siap-siap yuk. Giliran kamu perform lima menit lagi.” “Oke, Mas Galang.” Jihan mengangkat jempol sambil mengedipkan mata pada crew stasiun televisi swasta itu. “Sudah, Kak?” Jihan menoleh pada Sisi, MUA yang sejak tadi memoles wajahnya dengan riasan dan memastikan pakaian yang dia kenakan menempel dengan sempurna di tubuh langsingnya. “Yap, sudah!" Sisi menjawab kikuk. "Yuk-yuk do’a dulu.” Sisi memanggil tim yang lain. Delapan orang yang tadi sibuk dengan urusan masing-masing langsung membentuk lingkaran. Mereka berdo’a seperti kebiasaan Jihan sepuluh tahun yang lalu setiap akan tampil. “Yuk, Bu, langsung mendekat ke stage saja." Nia langsung mempersilakan Jihan dan membantunya berdiri. Jihan mengangguk pada managernya sambil mengucapkan terima kasih. Dia berkaca sekali lagi, memastikan penampilannya sudah rapi. Sebelum melangkah, Jihan menatap Ralin yang masih berdiri di dekatnya. "Bu Jihan? Ayo!" Nia langsung menarik tangan Jihan pelan agar segera meninggalkan tempat itu. "Sebentar lagi Ibu tampil, pastikan semua terpukau seperti sepuluh tahun lalu." Jihan menarik napas panjang. Dia bergegas melangkah keluar dari ruangan. Sebelum berbelok di ujung lorong, dia melirik sekilas pada Ralin yang dihampiri oleh beberapa wartawan. Senyum tipis gadis itu tertangkap jelas di mata Jihan. "Fokus, Bu, biar aku yang urus wanita tidak jelas itu." Nia mengelus punggung Jihan pelan saat menyadari modalnya sesekali menoleh ke belakang. Jihan menarik napas panjang saat dentum musik mulai terdengar. Irama yang hanya diputar saat dia akan tampil. Instrumen miliknya. Hanya dia. Musik itu seakan melekat pada Jihan, menjadi ciri khas tersendiri yang selalu dinanti. "Setelah sepuluh tahun vakum dari dunia modeling yang melambungkan namanya, malam ini, sang supermodel kembali ke panggung kejayaannya." Jihan menarik napas panjang mendengar suara MC. Dia memejamkan mata, berusaha menyerap semua energi dan euforia yang ada disekitarnya. Saat buncah itu memenuhi dada, Jihan membuka mata sambil sedikit mengangkat dagu. Ya, wanita itu sudah mendapatkan kembali seluruh kepercayaan dirinya. "Sambutlah, bintang yang akan membuat trend baru di dunia fashion. Seseorang yang menjadi kiblat dunia model di negeri ini. Wanita yang diberi gelar Matahari Terbit Dari Timur oleh para perancang busana karena pesonanya. Jihan Qirani!" Suara tepukan tangan dan teriakan nama Jihan langsung memenuhi ruangan itu. Gegap gempita terasa seperti menggetarkan dinding mendengar keriuhan yang tercipta. Jihan tersenyum lebar menyambut panggung miliknya. "Jihan! Jihan! Jihan!" Lampu sorot dan blitz kamera langsung melahap rakus tubuh Jihan saat dia melangkah untuk pertama kali di atas panggung. Dengan anggun, Jihan melambaikan tangan beberapa kali. Sebelum memutar badan di ujung panggung, Jihan tersenyum lebar hingga giginya sedikit terlihat. "Gaun rancangan dari Latifah Wulandari yang dikenakan Jihan hari ini, cocok untuk dikenakan saat …." Jihan berhenti tepat di tengah panggung saat MC memperkenalkan gaun tosca yang dia kenakan. Dia meletakkan kedua tangan di pinggang seperti gaya para Puteri Indonesia di ajang bergengsi itu. Sesekali, Jihan membenarkan ujung jilbabnya yang jatuh ke dada. Dia menatap ke seluruh ruangan. Dadanya berdebar kencang merasakan kemewahan atmosfer panggung lagi. Sepuluh tahun dia istirahat dari dunia modeling yang melambungkan namanya. Hari ini, Jihan kembali. Bisnis fashion yang sempat redup belakangan langsung menggeliat saat wajah Jihan bertebaran di spanduk dan poster seluruh kota. Dulu, apapun yang dia kenakan selalu menjadi trendsetter hingga para perancang busana dan pemilik usaha fashion berlomba-lomba menjadikannya sebagai brand ambassador mereka. "Alhamdulillah." Nia, Sisi dan anggota tim langsung menyambut Jihan saat dia turun dari panggung. Malam itu, semarak tak hanya disana saja, tapi menyebar ke seluruh kota. Pesona Jihan tak luntur. Dia tampil memukau seperti sepuluh tahun lalu di masa-masa keemasannya. "Selamat, Sayang." Jihan menoleh saat mendengar suara Aditya Buana, suaminya. Senyumnya mengembang saat lelaki itu menyerahkan sebuket besar mawar merah dan mencium pipinya. "Aduuuuh, meleleh deh." Yang lain langsung berseru-seru melihat adegan romantis yang terjadi tepat di hadapan mereka. "Kapan pulang?" Jihan menerima buket bunga dan langsung menyelipkan tangan di lengan Aditya. Wangi maskulin langsung memenuhi hidungnya. Aroma yang selalu dia rindukan. "Baru saja tiba, dari bandara saya langsung kemari." Jihan tersenyum lebar menatap mata sendu suaminya. Aditya Buana, seorang pengusaha air minum dan pemilik tempat wisata yang cukup terkenal di kota mereka. "Mama, Mama." Jihan langsung menoleh pada suara yang sangat dia kenal. Rayna dan Damar, kedua anaknya itu berlari kecil menghampirinya. Jihan tertawa sambil merentangkan tangan. "Mama cantik sekali." Rayna mencium pipi Jihan. "Terima kasih, Anak manis." Jihan menoel hidung bangir putrinya yang bulan lalu genap berusia sepuluh tahun. "Damar bangga sekali sama Mama." Damar menyerahkan setangkai mawar merah lengkap dengan daunnya. "Mama juga bangga sama Kakak dan Adik." Jihan menerima bunga kesukaannya dan mencium kening Damar. Setelahnya, kedua anak itu langsung menempel pada Aditya. Seminggu di luar kota untuk mengontrol salah satu usahanya, membuat kerinduan kedua anak itu membuncah pada Papa mereka. Jihan tersenyum tipis menatap kehangatan anak dan ayah itu. Malam ini sempurna menjadi miliknya andai Ralin tidak menemuinya tadi. Dia sungguh tidak menyangka gadis yang usianya sepuluh tahun di bawahnya itu akan mengatakan sesuatu yang sangat memalukan sekaligus menyakitkan walau kebenarannya belum pasti. Jihan tidak habis pikir wanita itu bisa berkata dengan sangat lantangnya di depan semua orang. Bahkan, Ralin seolah sengaja benar menunggu momen ketika wartawan menyambangi ruangan tempatnya sedang dirias. "Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu." Ucapan Ralin terus memenuhi otak Jihan saat menatap wajah tampan suaminya yang penuh senyuman. "Saya bangga sekali bisa menjadikanmu sebagai seorang istri." Aditya melingkarkan tangan di pinggang Jihan saat blitz kamera wartawan dengan beringas mengabadikan kebersamaan mereka berempat. Jihan tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Aditya mau tampil hangat dan mesra dengannya di depan publik setelah dia melahirkan Rayna. Mereka tampil mesra hanya di tahun pertama pernikahan. Setelah kelahiran Rayna, Aditya seolah tenggelam dalam dunia dan kesibukannya sendiri hingga Jihan seringkali memeluk sepi. Seharusnya, malam ini menjadi malam terindah bagi Jihan. Setelah tidur panjangnya selama sepuluh tahun, Aditya yang dulu kembali. Lelaki yang membuat cinta Jihan begitu dalam karena kehangatan dan kelembutan sikapnya. Ya, seharusnya.Lima tahun bercerai, mereka seperti pasangan pengantin baru saat bersama lagi. Dirga bahkan memboyong Nia untuk menikmati bulan madu. Safiya yang saat itu sudah kuliah bisa mengerti dan memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk orangtuanya agar bisa menumbuhkan cinta itu kembali.“Lucu mereka itu.” Aditya terkekeh. “Kemana-mana selalu berdua. Lengkeeeeeet sekali. Kalau saja Dirga ke kantor boleh membawa istri, pasti dia sudah memboyong serta si Nia.”“Mereka pernah berpisah, Mas. Pasti Nia dan Dirga mengerti sekali bagaimana rasanya kehilangan hingga sekarang mereka menjadi lebih menghargai apa yang mereka miliki. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap kejadian.”Aditya mengangguk setuju. Dia menoleh pada Jihan. Wajah istrinya terlihat cantik di antara jingga senja yang membungkus desa. Perlahan, lelaki itu mengambil tangan Jihan. Sekejap, mereka bertatapan lama dan dalam. Mendadak, rasa haru memenuhi keduanya. Perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh Jihan dan Aditya.“Terima
Jihan tersenyum lebar melihat Aditya yang baru saja kembali ke rumah. Lelaki itu tampak masih gagah walau usianya sudah melewati kepala lima. Topi koboi di kepala, baju kaos yang membentuk badan dan sepatu boots sebetis untuk menghindari licak tanah membuat suaminya terlihat sangat manly."Tehnya, Mas." Jihan meletakkan dua gelas teh hangat dan sepiring ubi goreng. Aroma bunga melati segar yang mengambang di gelas memenuhi penciuman. "Sudah selesai?" Jihan kembali bertanya sambil memperhatikan Aditya yang sedang melepaskan sepatu boots."Alhamdulillah, sudah." Aditya tersenyum lebar. Dia meletakkan topi koboinya di meja. Beberapa helai uban di rambut panjang Aditya yang diikat ekor kuda membuatnya terlihat semakin menawan. Dia memang tidak pernah memotong pendek lagi rambutnya. Aditya seolah ingin menghilangkan dirinya yang dulu. Dia yang selalu tampil rapi dan klimis dengan setelan jas kini tergantikan dengan Aditya yang tampil sedikit urakan.“Cuma dua truk yang berangkat tadi. Truk
“Kita kemana, Pak?” Pagi hari, lima belas tahun lalu. Afrizal memicingkan mata saat sinar matahari terlihat menyilaukan diantara ribuan rintik hujan yang membasahi bumi. Beruntung dia sudah menyelesaikan sarapan tadi. Kalau tidak, Afrizal akan kelaparan di perjalanan karena mereka menempuh jarak yang cukup jauh.“Ini?” Afrizal menautkan alis saat melihat gerbang pemakaman yang sangat dia kenal. Keluarganya dan keluarga istrinya dimakamkan disini. Mereka sudah membeli lahan untuk tempat pemakaman keluarga. “Siapa yang meninggal?” Afrizal terengah saat petugas yang mendampinginya tetap bungkam.“Fikar?” Afrizal berteriak melihat anaknya menunggu di depan gerbang pemakaman. Anak lelakinya yang nomor tiga itu hanya menatapnya dengan wajah muram. Dia hanya memayungi Afrizal dengan payung hitam. Lelaki yang mengenakan jaket jeans navy itu tetap bungkam walau Afrizal bertanya berkali-kali.“Mama meninggal seminggu yang lalu. Kami meminta izin agar Papa mendapat keringanan ikut pemakaman. Tap
“Betul, Pak Afrizal salah satu pasien paling tua disini.” Lestari, salah satu perawat di Rumah Sakit Jiwa menatap Afrizal yang duduk di kursi roda. “Kasihan sih, walau badannya masih sehat, tapi pikirannya sudah terganggu. Ya wajar, seusia beliau ini biasanya sudah pikun. Apalagi Pak Afrizal memang mengalami gangguan jiwa sejak beberapa tahun belakangan.”“Pak Afrizal ini yang dulu sempat membuat heboh itu bukan, Kak?” Rima berbisik pelan. Dia sedang magang disana. Mahasiswa semester akhir jurusan psikologi itu sekaligus sedang melakukan penelitian untuk mengerjakan tugas akhirnya.“Kok kamu tahu, Dek?” Lestari menoleh pada Rima. Dia berdiri sejenak untuk membetulkan selimut di pangkuan Afrizal. Mereka sedang tugas jaga. Pagi ini, mereka mengawasi Afrizal yang sedang berjemur sinar matahari pagi di taman rumah sakit.“Berita itu ‘kan sudah lima belas tahun yang lalu? Berarti kamu masih sekitar umur tujuh tahunan ‘kan?" Gadis berusia dua puluh empat tahun itu kembali bertanya. Dia suda
“Dua tahun kita bersama, kenapa Mas baru komplain sekarang?” Ralin balas berteriak. Dia tidak terima dituduh menularkan penyakit kelamin. Selama ini dia rutin memeriksakan diri sehingga organ reproduksinya selalu terjaga dan sehat.“Lalu, kamu pikir dari siapa aku tertular? Kamu sudah jelas wanita simpanan! Entah sudah berapa lelaki yang menidurimu.”“Mas pikir aku tidak tahu kalau Mas sering jajan, hah?! Tidak seperti Afrizal dan Aditya yang cukup memiliki satu simpanan, Mas masih sering mencari di luaran!”“Heh! Kamu kira kamu masih secantik apa, Ralin? Kamu masih muda dan kencang saat bersama mereka. Wajar kalau mereka puas dengan pelayananmu yang prima. Masih untung aku mau menampungmu. Jadi, jangan banyak omong sok-sokan berani menentangku.”Ralin terdiam. Dia muak melihat lelaki di hadapannya. Keluar dari penjara, dia sempat terlunta-lunta. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan salah satu pejabat yang sedang melakukan aksi sosial turun ke lapang, membantu masyarakat yang kekuranga
Fadhli juga lah yang pada akhirnya mampu meyakinkan Rayna kalau tidak semua pernikahan akan berakhir menakutkan. Lelaki itu dengan sabar menemani setiap sesi konsultasi dengan psikolog. Dia juga menjadi penengah pembicaraan hati ke hati antara Rayna dengan kedua orangtuanya.Satu yang menarik perhatian Fadhli, Damar dan Rayna terlihat sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawabnya. Rayna sepenuh hati mempersembahkan kemampuan terbaik di perusahaan, Damar berjuang keras memajukan usahanya.Kerja keras, Jihan dan Aditya berhasil menanamkan hal itu pada kedua anaknya. Bukan hanya lewat ucapan, mereka mencontohkannya melalui tindakan.“Mencuatnya berita ini, mau tidak mau melemparkan ingatan kita pada kasus menghebohkan lima belas tahun yang lalu.”Aditya, Jihan dan Damar serentak menoleh pada televisi. Mereka sempat berpandangan sejenak saat kilas balik foto-foto masa lalu berseliweran memenuhi layar kaca. Tidak lama, wajah Iskandar, pengacara yang dulu membantu proses kas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments