LOGINRumah tangga Ajeng dan Haekal yang awalnya begitu damai seketika berubah drastis kala ibu dan adik Haekal pindah ke rumah mereka. Enam bulan lamanya, Ajeng begitu sabar dengan kelakuan keluarga suaminya. Hampir setiap hari Ajeng mendapatkan tekanan, hingga perempuan itu pun akhirnya memutuskan untuk melawan.
View More“Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot pasang dasi sendiri karena kamu sudah memiliki istri, oh iya ….”
“Istri kamu kan tidak jelas asal-usulnya, dia mungkin cuma lulusan SD. Jadi tidak terlalu pintar dan tidak bisa memasang dasi dengan benar,” lanjut Juwita. Yang Ajeng lakukan hanya pura-pura tuli, ibu mertuanya itu memang bermulut pedas dan seperti punya dendam kesumat pada Ajeng. Bagi Juwita, Ajeng hanya menantu yang tidak jelas asal-usulnya. Orangtua Ajeng juga bahkan tidak tahu siapa. Ajeng mengaku dirinya yatim-piatu, meskipun begitu Haekal sangat mencintainya dan selalu menghargainya. “Masalah dasi saja dipermasalahkan, anak SMP saja bisa pasang dasi sendiri. Lagipula Ajeng sibuk di dapur, sebagai suami aku harus mengerti.” “Kamu ini terlalu memanjakan istri kamu, kalau seperti ini caranya dia bisa jadi tidak tahu diri.” Suara Juwita terdengar tidak suka. “Kalau aku sangat dimanjakan, aku tidak perlu repot-repot mengerjakan pekerjaan rumah. Aku cuma perlu duduk santai, menemani suami.” “Membuatnya puas, memanjakan diri sendiri. Sisanya bisa dikerjakan oleh pembantu,” lanjut Ajeng. “Kamu–” “Apa Mama bisa berhenti menyinggung Ajeng?” Haekal dengan cepat memotong ucapan Juwita. Hati Ajeng selalu puas setiap kali Haekal membelanya dan berakhir dengan Juwita yang tidak mampu berkata-kata. Andai setelah satu bulan pernikahan ibu mertua dan adik iparnya tidak tiba-tiba pindah ke rumah mereka, hidup Ajeng pasti sangat tentram. Semua ini karena papa Haekal yang tiba-tiba meninggal, Juwita sampai harus menjual rumah karena mendiang suaminya yang terlilit hutang. “Mas Haekal memang paling pengertian.” Ajeng memberikan ciuman jarak jauh. “Di depan orangtua bisa-bisanya melakukan hal tidak bermoral,” sindir Juwita. “Cuma memberikan ciuman jarak jauh, bukan duduk di pangkuan putra Mama,” sahut Ajeng. ‘Kenapa dia tiba-tiba pintar menjawab?’ Haekal tidak masalah, sebenarnya pria itu cemas Ajeng tertekan karena kelakuan Juwita. “Masakan kamu juga itu-itu saja,” komentar Juwita dengan ekspresi yang masih tidak enak dipandang. “Kalau Mama tidak suka, tidak perlu makan,” ucap Haekal. Juwita berniat protes, tapi Nilam–adik Haikal baru saja turun untuk sarapan. Sudah hampir setahun Nilam mendapatkan gelar sarjana. Tapi Nilam tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, meskipun begitu Juwita masih saja membangga-banggakan Nilam. “Kalau makan jangan main hp.” Haekal menatap adiknya itu. “Aku sedang membahas hal penting, tentang lowongan pekerjaan.” Nilam duduk di samping Juwita. “Pasti banyak perusahaan yang ingin menerima Nilam, tentu saja Nilam bingung mau memilih yang mana,” ujar Juwita. “Bingungnya sampai hampir setahun? Sepertinya harus nambah satu tahun lagi biar bisa memilih dengan benar,” sahut Ajeng. “Haekal lihat, istri kamu itu berani merendahkan Nilam.” Juwita langsung mengadu. Ajeng hanya merasa ucapan Juwita tidak masuk akal, ibu mertuanya itu terlalu pamer sampai mengatakan banyak omong kosong. “Nilam, bagaimana kalau kamu tidak perlu bekerja? Kamu bisa di rumah menemani Kak Ajeng dan membantunya,” ucap Haekal. “Apa-apaan kamu ini Haekal?” Juwita langsung tidak terima. “Nilam itu lulusan sarjana, masa mau disuruh nganggur seperti istri kamu yang tidak jelas asal-usulnya.” “Kalau kamu sangat peduli pada Nilam, buat Nilam berkerja di kantor tempat kamu kerja.” Suara Juwita terdengar sewot. ‘Ujung-ujung minta kerjaan.’ Kadang Ajeng sangat ingin melakban mulut Juwita. “Aku cuma manajer perusahaan cabang, tidak bisa asal memberikan pekerjaan dan menyalahgunakan kekuasaan,” ucap Haekal. “Tapi daripada adik ipar terus-terusan di luar rumah tanpa tujuan, lebih baik di rumah seperti yang disarankan Mas Haekal,” sahut Ajeng. Ajeng langsung mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata dengan Juwita yang agaknya ingin menelannya hidup-hidup. Nilam menatap Juwita dengan kepala yang menggeleng, Nilam tentu saja enggan diam di rumah seharian. “Aku dapat banyak tawaran kerja, cuma belum menemukan yang pas saja,” ucap Nilam. Juwita menggenggam tangan Nilam. “Dengar kamu Ajeng?” Juwita kesal karena Ajeng tidak menanggapinya. “Lihat istri kamu itu, dia sengaja mengacuhkan Mama.” “Aku kenapa? Maaf, aku terlalu fokus makan dan menikmati masakan aku yang enak ini.” Ajeng akhirnya menatap Juwita. “Sudah, sebaiknya kita sarapan dengan tenang.” Haekal mengusap kepala Ajeng. “Makan yang banyak.” Beberapa menit kemudian…. Haekal mencium kening Ajeng sebelum berangkat bekerja. “Pulang kerja mau dibawakan apa?” “Kamu pulang dengan selamat, itu sudah cukup,” balas Ajeng. ‘Sok menjadi istri yang baik.’ Ekspresi Juwita begitu nyinyir. “Ma aku berangkat, kalau bisa Mama jangan terlalu mempersulit Ajeng,” ujar Haekal. “Memang apa yang bisa Mama lakukan? Justru istri kamu itu yang kurang ajar dan sangat menguji kesabaran Mama,” sinis Juwita. Untuk kesekian kalinya Ajeng menjadi pihak yang difitnah, Ajeng bahkan baru hari ini membuat kesal Juwita. Sebelum-sebelumnya, Ajeng tidak pernah sekalipun protes. Tidak perduli berapa banyak makian dan hinaan yang telah dirinya terima. “Ma, aku pergi dulu.” Nilam berlari pelan keluar rumah. ‘Pergi begitu saja?’ Padahal Ajeng ingin menyuruh Nilam mencuci piring. ‘Ibu sama anak cuma mau enaknya saja, cuma Mas Haekal yang waras.’ Ajeng masih memasang senyum manis. “Mama sangat baik, Mama bahkan tidak bisa duduk santai sebelum membantu aku bersih-bersih,” sarkas Ajeng. “Kamu dengar kan? Selama ini Mama sebaik itu meskipun istri kamu sangat tidak memenuhi standar.” Juwita malah bangga. “Betul, waktu di rumah Mama tidak pernah cuma ongklang-ongklang kaki apalagi cuma bisa menyuruh-nyuruh,” terang Ajeng. ‘Perempuan sialan, dia menyindirku?’ Juwita rasa Ajeng pasti sengaja. *** “Hari ini saja aku curi piring, besok aku tidak akan melepaskan Nilam.” “Aku yang belanja, aku yang memasang, aku juga yang cuci piring.” Ajeng mendengus tak habis pikir. Ajeng sendiri tidak mengerti bagaimana bisa enam bulan ini dirinya begitu sabar dan menerima semuanya? Ajeng masih harus mencuci pakaian, bahkan semua pakaian termasuk milik Nilam juga Ajeng lah yang mencucinya. Juwita bilang biar sekalian, Nilam tidak punya waktu mengerjakan hal remeh karena sibuk mencari kerjaan. “Sebenarnya siapa yang tidak berguna? Aku atau putrinya itu?” “Banyak tawaran pekerjaan?” Ajeng berdecih pelan, mungkin itu hanya akal-akalan Nilam. “Apa dipikir aku bodoh?” Hari ini Ajeng tidak perlu lagi mencuci baju milik Juwita ataupun Nilam. Setelah cuci piring, cuci baju dan menjemur pakaian. Kini Ajeng sedang sibuk menyapu lantai bawah. Berbeda dengan Juwita yang sibuk bersantai sambil makan camilan, perempuan itu dengan sengaja menumpahkan jus ke lantai. “Aku akan bilang ke Mas Haekal untuk menyewa pembantu.” Ajeng tiba-tiba berhenti menyapu. “Bilang apa kamu?!” Juwita langsung murka. “Rumah ini agak besar jadi lebih baik kalau punya dua pembantu.” Ajeng tampak berpikir. “Atau tiga?” “Untuk apa menyewa pembantu? Buang-buang uang.” Juwita menentang keras hal tersebut. “Aku sudah selesai menyapu dan ingin bersantai di kamar.” Ajeng membuang pelan sapu yang dirinya pegang. “Ajeng!” teriak Juwita kala Ajeng pergi begitu saja. “Bagaimana dengan ini?” Juwita menunjuk jus yang dirinya tumpahkan. Bersambung….Untuk sesaat tubuh Ajeng membeku kala melihat laki-laki yang ada di foto, itu adalah laki-laki yang sempat jalan dengan Nilam.‘Hah?’ Awalnya Ajeng pikir lelaki itu sedang berjalan dengan Nilam, tapi nyatanya tidak.Ajeng lihat lelaki itu jalan dengan perempuan lain bersama dengan seorang anak. “Maaf.”Setelah itu Ajeng kembali lanjut jalan. ‘Aku mana mungkin salah lihat, dia laki-laki yang ada di foto.’‘Jadi … Nilam ditipu? Atau mungkin Nilam yang menjadi selingkuhan dia?’ Menurut Ajeng itu terlalu mengejutkan.Lelaki yang ada di foto itu sudah punya anak, Ajeng belum bisa langsung menyimpulkan karena tidak punya bukti lebih banyak.Sampai akhirnya, Ajeng kembali mendapatkan foto dari orang suruhannya. Orang itu sudah menemukan lokasi Nilam saat ini.“Apa lagi ini?” Untuk kesekian kalinya Ajeng dibuat shock karena kelakuan Nilam.“Apa dia udah tidak waras?” Kali ini Ajeng mendapatkan foto dimana Nilam sedang berjalan mesra dengan pria tua.“Jadi Nilam setiap hari melakukan itu? Jala
Ajeng masih tenang meskipun dituduh yang tidak-tidak, masa depan Ajeng suram? Justru kehadiran Juwita lah yang membuat hidup Ajeng menjadi suram.“Kenapa Mama bilang seperti itu?” Suara Haekal terdengar dingin.“Kamu ini Haekal, bela aja terus istri kamu itu.” Suara Juwita terdengar sangat sewot.“Kalau adik ipar tidak mau ya udah, sharusnya aku udah terbiasa melakukan semuanya sendiri,” ujar Ajeng.‘Apa dia sengaja sok sedih seperti itu?’ Juwita harus membela diri. “Apa maksud kamu mengerjakan semuanya sendirian?”“Kamu sengaja menjelek-jelekkan Mama di depan putra Mama sendiri? Kamu mengatai Mama malas? Iya?”“Kedengarannya seperti bukan pertanyaan, tapi pengakuan,” sarkas Ajeng.Juwita semakin geram, kemana Ajeng yang tidak pernah berani membalas ucapannya? Kalau seperti ini Juwita bisa mati cepet karena kesal.“Kamu ….” Juwita menunjuk Ajeng.“Ma cukup.” Haekal tidak ingin mendengar perdebatan apapun. “Nilam, kamu seharusnya lebih peka.”“Selama ini apa pernah kamu sedikit aja me
Rasanya tidak puas jika Juwita belum berhasil membuat Haekal memarahi Ajeng habis-habisan, itu salah satu alasan Juwita terus berulah. “Mama menyinggung Ajeng lagi?” Sudah berkali-kali Haekal memperingatkan Juwita. “Kak, Mama jatuh karena istri Kakak. Kenapa Kakak malah menuduh Mama yang tidak-tidak?” protes Nilam. “Memangnya kamu lihat sendiri kakak ipar kamu mendorong Mama?” Haekal mana mungkin tidak tahu kelakuan Juwita dan Nilam. “Kejadiannya kan tadi pagi, kalau aku lihat sudah pasti aku dorong balik perempuan kampungan itu,” desis Nilam. “Jaga bicara kamu.” Haekal menatap tajam Nilam. Nilam langsung memeluk lengan Juwita erat-erat, perempuan itu tidak mengerti kenapa kakaknya itu terus berpihak pada Ajeng. Juwita sudah sesedih itu pun tidak ada tanda-tanda Haekal peduli dan berniat mengamuk pada Ajeng karena telah membuat mamanya sedih. “Mas, kok masih berdiri di dekat pintu?” Ajeng mengambil alih tas yang dipegang oleh Haekal. “Kamu pasti capek.” “Lebih baik-baik bersi
Juwita sudah teriak-teriak, berharap Ajeng segera keluaran kamar. Tapi usaha Juwita berujung sia-sia karena Ajeng seolah tak peduli.“Ada apa dengan dia?” Juwita duduk di sofa karena merasa lelah.Tatapan Juwita tertuju pada tumpahan jus yang ada di lantai. “Dia tidak mau membersihkan tumpahan jus itu?”“Itu artinya dia menyuruh aku membersihkannya?” Dengan ekspresi kesal Juwita mendengus tak percaya.“Lihat saja, sampai kapan dia betah di kamar.” Juwita tentu tidak mau membersihkan tumpahan jus itu.Biasanya dipanggil sekali saja Ajeng langsung datang seperti anjing yang kelewat penurut, tapi sekarang sudah tidak lagi.Juwita menatap sapu yang tergeletak di lantai, Ajeng dengan beraninya melempar sapu itu dan tidak mengembalikannya ke tempat asal.“Apa dia mau membuat aku mati lebih cepat? Sudah bagus putraku mau menikahinya.”“Dia tinggal bersih-bersih rumah, tapi sekarang malah bertingkah dan berlagak mau menyewa pembantu.”“Mimpi!” Juwita tidak akan membiarkan Ajeng menghambur-ham












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.