##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 1 Awal Mula Celoteh Cahaya“Bunda kenapa?” tanya putri sulungku, Cahaya, dengan tatapan nanar. Tangan mungilnya mengusap pipiku lembut. Hati ini terenyuh seketika.“Bunda Cuma sakit perut, Nak. Nanti juga sembuh,” jawabku sembari mengulas senyum tipis untuknya.Sudah hampir tiga jam aku merintih kesakitan, nyeri di area bekas jahitan operasi sesar enam bulan lalu karena melahirkan Pelangi membuatku terbaring lemah hari ini. Hingga aku tak sempat pergi ke butik untuk merencanakan launching produk baru yang akan diselenggarakan bulan depan.“Sakit banget, ya, Bunda?” Mata bening kecokelatan bocah berusia 6 tahun itu masih menatapku sendu.Aku mengusap lembut kepala Cahaya, merengkuhnya ke dalam pelukan.“Bunda baik-baik aja, Sayang.”Cahaya tersenyum tipis dan mencium pipiku sekilas.“Coba aja Bunda bilang ke Ayah, pasti Ayah bisa ngobatin Bunda. Kayak Tante Rosa gitu, perutnya sering sakit. Tapi Ayah hebat, bisa sembuhin, loh, Bunda!” kata Cahaya dengan mata berapi-api.Dahiku me
##BAB 2 Merasa Aneh Dengan Perubahan Pembantu SeksiRasanya sudah terlalu lama aku terlelap. Entah kenapa aku tidur seperti orang yang tak sadarkan diri, tapi badanku rasanya pegal, seperti orang kesemutan.“Hmmm ... jam berapa ini, ya?” lirihku sembari meraba nakas yang berada di samping tempat tidurku. Aku mencari benda elektronik berbentuk pipih untuk melihat waktu.Memang sengaja di kamar tak ada jam dinding yang menggantung. Aku lebih suka tidur dan beristirahat tanpa dikejar waktu, mungkin sifat itulah yang membuat Bu Romlah, mertuaku, menyebut aku tukang molor. Setelah mendapatkan ponselku, aku bergegas melihat barisan empat angka yang tertera di layar ponsel.“Pukul 08.30 WIB. Wah, selama itukah aku bergelut dengan alam bawah sadar hingga bangun kesiangan seperti ini?” kataku berbicara pada diri sendiri.“Mas Frengky pasti sudah berangkat ke Restoran. Kenapa aku tak sadar sama sekali, bahkan kepulangan Mas Frengky kemarin tak sedikitpun membuatku sadar dan terbangun.”Aku menc
##BAB 3 Minta UangSetelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda kemarin, aku berpamitan pada karyawan untuk pulang.Aku mempercayakan butik pada Keysa, gadis berusia dua tahun dibawahku ini sudah menjadi kanan tanganku semenjak beberapa tahun yang lalu. Karena reward yang sering ia dapatkan setiap bulan dengan notabene karyawan teladan, serta sikap loyalnya pada butik yang aku pimpin, membuatku tak segan menjadikannya orang kepercayaan.Keysa sudah berumah tangga, namun hingga sekarang belum dikarunia momongan. Suaminya yang seorang abdi negara, sering bertugas dan jarang pulang ke rumah, kadang untuk menikmati liburan cuti pun hanya beberapa hari sebelum akhirnya kembali lagi untuk bertugas. Hal itulah yang membuatnya bekerja di butik ini sebagai staf administrasi. Awalnya hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Namun lama kelamaan ia merasa betah dan nyaman di butik, sehingga menempati bukti sebagai rumah keduanya. Sikap setia kawannya patut diacungi jempol, bekerja
##BAB 4 Merasa Terlena“Iya, kemarin memang untuk modal. Resto akhir-akhir sangat sepi, Bun. Sering kali bahan masakan sisa karena nggak laku, jadi uang terpakai untuk modal. Muter gitu terus, puncaknya, sih, minggu ini, Bun. Gara-gara ekonomi yang semakin krisis, orang-orang jadi berhemat dan jarang makan di Resto,” ujar Mas Frengky dengan tatapan yang sulit kuartikan benar atau tidaknya. Tapi, memang ada gurat kesedihan di wajah tampannya.Ah ... lagi-lagi aku jadi tak tega.“Oke, nanti aku transfer. Tapi janji, ya, dibalikin? Nyicil sejuta-sejuta juga nggak papa, asal ada pemasukan untuk kembali,” cengirku.“Siap, Bundaku Sayang!” kata Mas Frengky sembari menarikku dalam pelukannya.“Eh, udah ah. Nanti kelamaan batal berangkat, deh,” sahutku sembari berlanjut memoleskan bedak.Kali ini pilihanku jatuh pada gamis berwarna gading dengan hijab pashmina serut. Karena malam hari dan kami akan dinner di tempat elite, maka aku membubuhkan makeup yang sedikit tebal agar kentara. Setelah si
##BAB 5 Wanita dan Bocah AsingApa tak ada kata selain sabar yang bisa sedikit saja menenangkan pikiranku saat ini.“Sekarang gini, boleh aja kamu usir Rosa, tapi apa kamu udah menemukan pengganti Rosa yang sekiranya cocok dengan Cahaya? Tolong, Bun. Pikirkan anak kita, anak satu-satunya yang kita miliki saat ini.” Mas Frengky seakan-akan menekankan kata satu-satunya, membuatku teringat lagi akan Pelangi.“Gampang, asal Rosa pergi dulu dari sini. Aku nggak mau, Mas, Cahaya jadi anak yang rusak!” ketusku.“Rusak bagaimana, sih, Bun? Jangan berlebihan, bukankah selama ini kamu juga cocok dengan Rosa, malah berulang kali aku dengar kamu membangga-banggakannya, kenapa sekarang nggak lagi?” tanya Mas Frengky tajam.“Sekarang udah beda, semenjak dia meracuni pikiran Cahaya, aku udah nggak sudi melihatnya!” sahutku tak kalah tajam.“Oke, aku ada satu ide. Hal ini harus dilakukan demi kenyamanan bersama, kalau memang kamu bersikeras ingin mengusir Rosa dari sini,” kata Mas Frengky.“Apa? Aku
BAB 6 Sekotak MartabakSesampainya di rumah aku bergegas masuk ke dalam, dari ruang tamu Cahaya sudah menyambutku dengan senyum mengembang.Matanya berbinar saat melihat sekotak martabak di tangan kananku.“Wah, Bunda bawa martabak, ya?” tanyanya riang.“Iya, dong kesukaan Cahaya,” jawabku sembari merengkuhnya dalam dekapan.Mataku menyapu sekeliling, “Ayah mana, Nak?”Cahaya seperti bingung akan menjelaskan sesuatu. Bibirnya digigit dengan kuat, aku paham betul jika Cahaya melakukan itu, tandanya ada sesuatu yang takut untuk dikatakan.“Aya, denger Bunda ‘kan, Nak? Ayah di mana?” aku mengulang pertanyaanku.“Di atas lagi siram bunga, Bunda. Yuk, Bunda main sama Aya, ya. Kan tadi sudah janji!” kata Cahaya sembari menarik tanganku menuju ke ruang keluarga.Ada yang tak beres, kenapa aku tak melihat juga keberadaan Rosa? Apa dia sedang bersama suamiku?Ah ... seandainya saja aku tak harus mendengar celotehan Cahaya tempo lalu, tentu pikiranku tak akan menerka hal buruk seperti sekarang.