"Keluarga saya berutang banyak pada keluarga Miranda. Merekalah yang membantu perusahaan keluarga kami bangkit. Tentu hal itu meninggalkan budi yang tidak tertulis tetapi harus dibayar."
"Jadi Anda menikah dengan Miranda hanya karena balas budi, begitu?" Angela keceplosan. Ia baru menyadari pertanyaan itu bisa saja membuat Antoni Hakim tidak senang. Siapa tahu pria itu benar-benar menikah atas dasar cinta.
"Kau benar, Nona. Saya terpaksa menikah dengannya demi menyelamatkan perusahaan yang sudah kepayahan." Antoni menarik napas cepat. "Walaupun saya tahu dialah yang menyebabkan Lily pergi. Saya harus bersikap seolah-olah tidak tahu."
"Jadi Tuan tidak melaporkan dia ke polisi? Kenapa?!" tanya Angela geram.
"Tidak. Saya akan membalasnya dengan cara saya sendiri. Bila saya melaporkan Miranda, perusahaan saya yang baru mau bangkit ini dipastikan jatuh terhempas. Habislah! Banyak orang yang akan jadi pengangguran. Kalau Nona pikir menjadi saya itu semuanya terlihat serba mudah. Nona salah besar. Kalau saya boleh memilih, saya ingin menjadi orang biasa saja."
"Kalau Tuan hanya ingin menyampaikan semua ini, seharusnya cukup di telepon saja. Tidak perlu menjemput saya."
Antoni Hakim melangkah pelan mendekati Angela. Mata elang di balik kacamatanya terlihat seperti ingin menguliti. Angela berusaha untuk tetap membalas tatapan itu.
"Nona Angela, saya sangat jarang menjemput seseorang secara pribadi yang tidak ada hubungannya dengan bisnis apalagi hanya untuk berterima kasih. Nona sebuah pengecualian. Hubungi saya kalau ada apa-apa."
Pria itu kemudian membuka pintu, meninggalkan ruangan begitu saja. Seperti tersihir, Angela hanya berdiri mematung. Aroma woody yang masih tertinggal seakan membiusnya tanpa jeda.
"Nona, mari saya antar. Tuan Antoni berpesan untuk merahasiakan kedatangan Nona. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum Nyonya Miranda melihat keberadaan Nona."
"Iya, An. Semakin cepat kita pulang, semakin baik. Aku juga tidak suka di sini," timpal Olla.
"Oke. Kita pergi sekarang," kata Angela seraya berjalan ke luar ruangan. Kardiman berjalan di depan mereka, sebagai penunjuk jalan aman yang harus dilewati.
Angela pikir ia diminta datang untuk menghadiri acara pemakaman. Ia sudah mengenakan pakaian serba hitam agar terlihat sama dengan para tamu lainnya. Kalau tahu hanya pertemuan beberapa menit saja, ia tidak perlu berpakaian seperti ini. Angela lebih nyaman mengenakan jeans.
Angela meminta Kardiman untuk tidak mengantar sampai ke halaman rumahnya. Cukup di depan gang saja agar Robby dan Rania tidak akan banyak bertanya. Olla sudah lebih dulu turun di halte bus, karena dia ada janji dengan temannya.
"Loh! Mana mobil yang jemput kamu tadi?" tanya Robby melihat Angela jalan kaki sendiri masuk ke halaman. Kakak iparnya itu sedang santai menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi.
"Itu mobil orang yang memakai jasaku untuk merias anaknya yang meninggal, Bang. Hanya menjemput saja. Pulangnya, ya, pulang sendiri," jawab Angela sambil memeriksa ponselnya yang baru saja bergetar. Ia malas melihat muka pemalas Robby yang cuma jadi benalu di rumah ini.
"Apa kau tidak bekerja hari ini?" tanya lelaki berkumis tipis itu.
"Seharusnya aku yang bertanya pada Abang pertanyaan itu," sahut Angela dari ambang pintu yang setengah terbuka.
Robby sontak berdiri. "Kau!" Menunjuk Angela dengan wajah memerah.
Angela tersenyum sinis. "Apa, Bang? Mau marah? Silakan. Abang sendiri yang rugi. Aku sekarang juga bisa saja angkat kaki dari rumah ini. Lalu siapa yang akan membayar semua tagihan dan mengisi perut Abang yang hampir membuncit ini." Bola mata Angela bergerak, mengarah pada perut Robby. Pria itu bertelanjang dada yang membuat Angela semakin jijik melihatnya.
"Kuadukan pada kakakmu," ancam Robby melotot.
"Lakukan saja! Aku tidak takut." Angela kembali tersenyum sinis kemudian masuk ke kamarnya.
Angela berganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan make up yang selalu siap untuk dibawa.Ia berangkat tergesa, karena tempat yang akan ditujunya cukup jauh. Butuh waktu sekitar satu jam bila jalanan tidak macet. Angela melewati Robby tanpa berkata apa-apa. Mulut kakak iparnya itu pun bungkam. Matanya saja yang terlihat sesekali mencuri pandang.
Angela tidak peduli, ia memacu motornya untuk mengejar waktu agar sampai sesuai permintaan. Dipandu G****e map untuk menemukan lokasi ia melewati jalan yang belum pernah dilewati sebelumnya. Ini juga salah satu alasan ia betah menggeluti profesinya saat ini. Bertemu dengan banyak orang baru dan tempat baru.
Ruang tamu dipenuhi pelayat. Sebagian besar dari mereka menangis tersedu-sedu bahkan ada yang berteriak menyebut-nyebut sebuah nama. Entah itu nama orang yang meninggal atau bukan.
Seorang perempuan berkulit gelap yang menyambut kedatangan dan mendampingi Angela masuk ke ruangan yang sesak itu. Perempuan itu memberikan sedikit informasi tentang jenazah yang akan diriasnya. Seorang anak kecil perempuan berusia sekitar 7 tahun.
Si ibu terlihat bersandar lesu dengan mata sembab dan tatapan kosong. Air mata yang tidak berhenti mengalir di kedua pipinya yang kurus sudah cukup untuk mengatakan pada dunia bahwa dia sedang sangat berduka.
"Pauli adalah anak satu-satunya sepupu saya. Dia sedang sakit. Mengidap kanker stadium dua. Karena itulah dia lebih banyak beristirahat di kamarnya. Pauli lebih sering menginap di kios bersama bapaknya. Pagi buta tadi saat bapaknya melayani pembeli yang membeli bensin, Pauli berlari mengambil boneka yang tergeletak di tengah jalan dan terjadilah peristiwa itu." Duma, sepupu ibu Pauli yang menghubungi dan menyambut Angela datang tadi menjelaskan penyebab kematian keponakannya tersebut.
"Saya turut berduka cita, Kak," ucap Angela pada perempuan berkacamata itu.
Angela meminta izin untuk langsung bekerja. Duma pun mempersilakan. Namun, sebelumnya dia menyalami dan menyampaikan rasa belasungkawa pada ibu Pauli. Perempuan itu tidak bicara. Hanya mengangguk pelan tanpa menatap lawan bicaranya.
Beberapa orang terlihat meninggalkan ruangan. Mereka rupanya cukup mengerti bahwa Angela akan melakukan pekerjaannya. Tertinggal lima orang keluarga inti termasuk Duma yang berpindah duduk di belakang Angela.
"Kalau kau perlu sesuatu, katakan saja. Kami akan menyediakannya," bisik Duma dari belakang Angela.
"Tidak, Kak. Saya sudah membawa semua yang saya perlukan."
Angela berdoa agar semuanya berjalan tanpa kendala. Merias korban kecelakaan seringkali memerlukan waktu lebih lama. Sekitar satu sampai satu setengah jam. Apalagi jika wajah si mayat ada beberapa bagian yang hancur.
Biasanya dokter akan menjahitnya terlebih dulu. Tugas perias seperti Angela menutupi benang-benang yang malang melintang di wajah karena luka sudah pasti tidak simetris.
"Pauli anak cantik dan baik, Kakak ingin membuat wajah Pauli lebih cantik. Boleh, ya," kata Angela meminta izin. Dengan satu tarikan napas ia memulai pekerjaannya.
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m