Kimmy vs Hantu Tampan

Kimmy vs Hantu Tampan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-09-11
Oleh:  Cerah pagi Baru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
6Bab
8Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Kimmy seorang gadis muda berusia 22 tahun mempunyai kekuatan istimewa yang dapat melihat makhluk tak kasat mata. Bahkan dia mampu mengusir hantu-hantu jahat tersebut. Namun kali ini dia dihadapkan bertemu sesosok hantu tampan penghuni apartemen yang akan Kimmy huni. Akankah Kimmy membantu hantu tersebut kembali ke alam baka,atau malah sebaliknya Kimmy membantu mencari tau penyebab kematian si hantu tersebut.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

"Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku.

"Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya.

"Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar.

"Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya.

"Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.

Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.

Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya setengah bercanda, setengah serius, meskipun jelas matanya menyiratkan kekhawatiran nyata.

Aku tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangannya. "Nala sayang... Lo kan cuma masih dengerin gosip-gosip yang enggak jelas dari sana-sini aja. Kalau kita gak buktiin sendiri, buat apa percaya sama omongan orang lain?" ucapku dengan nada lembut, tetapi pasti.

"Lagian, ketemu hantu itu udah hal biasa buat gue. Lo sendiri juga tahu, kan, apa kerjaan gue?" aku menambahkan sambil menatapnya penuh arti.

Nala terdiam, tapi aku tahu dia tidak sepenuhnya puas dengan jawabanku. Aku mengerti kekhawatirannya, tapi di saat yang sama, aku tidak mau terjebak dalam ketakutan yang diciptakan orang lain. Aku memilih percaya pada penilaianku sendiri, bukan cerita yang beredar di luar sana.

"Kim, gue tau Lo gak takut sama namanya hantu karena Lo sendiri bisa lihat makhluk-makhluk astral itu. Apalagi kerjaan Lo kan dukun tukang usir hantu!" ucap Nala sambil menunduk.

"Nala, gue bukan dukun! Jangan bilang dukun dong," sergahku, nada protes langsung muncul di suaraku.

"Pekerjaan gue itu gadis pengusir hantu. Ngerti, gak? Itu beda!"

"Iya, itu maksud gue. Meski Lo kuat dan bisa usir hantu, masalahnya di sana itu hantunya hantu perjaka tua, Kim!" ucap Nala, seakan mencoba memperingatiku.

Tatapan khawatir terpancar jelas di matanya. Aku menghela napas, berusaha sabar menghadapi ketakutannya yang buatku,terasa agak berlebihan. "Nala, denger ya, Lo mesti percaya sama gue. Gue gak akan kenapa-napa. Gue udah biasa hadapin yang kayak gitu." Suaraku pelan tapi tegas, mencoba menenangkan.

"Lagipula, kapan lagi gue bisa dapat apartemen mewah dengan harga murah banget? Lo tau sendiri gimana keuangan gue sekarang. Gue harus ngumpulin uang buat operasi mata ke luar negeri."

Aku terdiam sejenak, lalu melanjutkan lebih lirih, "Gue pengen jadi gadis normal, kayak orang lain di luar sana. Gadis yang enggak harus lihat makhluk-makhluk aneh ini setiap hari. Hidup kayak gue itu gak enak, Nala... beda banget sama orang-orang biasa." Tatapanku beralih padanya, berharap dia mengerti.

Meskipun dia mungkin enggak akan pernah sepenuhnya paham, aku butuh dia tahu bahwa aku enggak takut. Aku cuma ingin kesempatan untuk berubah, untuk merasa normal.

"Yaudah gue percaya. Tapi gue cuma bisa antar lo sampai sini aja. Sumpah, gue takut banget!" kata Nala sambil meletakkan koperku di depan apartemen nomor 14, tempat yang akan aku tinggali. Setelah itu, dia langsung berlari terbirit-birit seperti dikejar sesuatu, tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Aku hanya bisa tersenyum kecil, geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabat terdekatku itu.

Aku menarik napas panjang dan berdiri di depan pintu apartemen ini. Ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini, sebuah hawa yang berbeda dan menyeruak di sekelilingku. Entah kenapa, aku merasa seperti ada energi lama yang terperangkap di dalam ruangan di balik pintu ini. Nala mungkin terlalu berlebihan dengan ceritanya tentang si "perjaka tua", tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. "Ah, sudahlah. Aku nggak boleh takut," batinku menguatkan diri.

Rasa takut adalah senjata mereka, kan? Aku nggak boleh membiarkan ketakutan menguasai pikiranku. Dengan tangan sedikit bergetar, aku mulai meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Dan di saat pintu itu terbuka, mataku terbelalak. Sesaat aku tidak bisa berpikir. Sebuah tongkat golf melesat ke arahku dari dalam, cukup cepat untuk membuatku nyaris kehilangan keseimbangan. Untung saja refleksku sigap, tubuhku dengan cepat menghindar sebelum tongkat itu mendarat tepat di kepalaku.

"Apa-apaan ini?" gumamku dengan suara tertahan.

Aku memandang ke sekeliling ruangan. Sepi. Tak ada tanda-tanda seseorang—atau apapun yang bisa melempar tongkat itu kepadaku. Tapi hawa itu, hawa yang mengganggu tadi, makin terasa kuat di sini.

"Apakah benar ada sesuatu di tempat ini?" pikirku, sambil mencoba menenangkan debaran jantungku.

Nala mungkin nggak sepenuhnya salah. Tapi siapa atau apa si "perjaka tua" yang katanya mendiami tempat ini? Aku belum tahu jawabannya, tapi satu hal yang pasti—aku nggak boleh menunjukkan ketakutan. Tempat ini, bagaimanapun caranya, akan menjadi rumahku. Setidaknya untuk sekarang.

"Ternyata ada yang mau main-main cantik dengan saya!" Ucapku tersenyum semangat.

"Kalau mau aman, kamu hanya perlu tinggal diam dan jangan ganggu saya. Atau kamu mau langsung aku kirim ke alam baka?" Tanyaku dengan lantang, suaraku menggema di sudut-sudut ruangan yang sunyi.

Tanganku mengeluarkan tongkat dari dalam tas ranselku, siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Namun, bukannya mundur atau berhenti, makhluk menyebalkan itu justru semakin mempermainkan kesabaranku. Dia terus melempar barang tak tentu arah—lemari bergoyang, kursi bergerak, buku-buku berserakan—tetapi tetap tak memperlihatkan wujudnya. Aku tahu dia sengaja bermain petak umpet denganku.

Kesabaranku yang serasa hanya setipis tisu ini hampir habis. Amarah yang semula hanya berdesis kini mulai menyala seperti api kecil yang dipantik bensin. Mataku liar mengitari ruangan. Berantakan di mana-mana, setiap sudut tampak kacau seperti medan perang, kecuali satu benda—sebuah piano besar berwarna putih, berdiri kokoh tanpa goresan sedikit pun. Tidak ada debu yang berani hinggap di permukaannya, seolah benda itu dilindungi oleh semacam aura magis. Aku tersenyum sinis.

"Ah, jadi ini yang paling kau sayangi, ya?" gumamku, akhirnya menangkap kelemahannya.

Sudut bibirku terangkat, penuh dengan rasa puas akan rencanaku berikutnya. Dengan langkah tegas, aku berjalan menghampiri piano itu, tangan mengangkat tongkatku tinggi-tinggi, siap menghantamkan kekesalanku pada benda itu. Jika dia tidak mau berhenti, aku akan memastikan ini menjadi tamparan keras baginya—baik secara fisik maupun emosional.

"Mau terus bermain? Lihat saja apa yang akan terjadi pada benda kesayanganmu." Aku menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gemuruh di dadaku sebelum tongkatku bergerak.

"Kalau kamu tidak menampakkan wujudmu juga, aku jamin benda kesayanganmu ini akan kuhancurkan berkeping-keping!" Aku mengucapkan ancamanku dengan tegas, meski di dalam hati sebenarnya aku mulai ragu apakah ini cara yang benar.

Tiba-tiba, suara yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. “Jangan...!!” teriaknya memohon.

Lalu, sosok yang sudah menguras habis kesabaranku akhirnya muncul dari bayang-bayang di depanku. Aku menatapnya dengan mata membelalak.

“Jangan hancurkan piano ini! Aku mohon!” Suaranya gemetar penuh emosi. Wajahnya terlihat begitu jelas—tidak seperti yang aku bayangkan sama sekali. Aku terpaku.

"Wow... tampannya?" gumamku dalam hati, tercengang.

Jadi ini hantu perjaka tua yang disebut Nala? Mana ada kesan tua di wajah itu? Yang kulihat justru sesosok pria tampan nan menawan, meskipun sorot matanya sedikit menyebalkan. Sejenak, aku bingung harus berkata apa.

“Kamu… bisa melihatku?” tanyanya, ekspresinya campuran antara rasa heran dan ketidakpercayaan. Tatapannya tertuju langsung kepadaku, dan aku tidak bisa berpaling. Napasku memburu, bukan karena ketakutan, tapi karena penasaran yang mendadak muncul.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
6 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status