“Salma, sebenarnya kita mau ke taman mana? Taman di Bandung itu banyak. Masih jauh, ya?”
“Udah deket, Arka,” ujarnya sembari mengipas lehernya dengan tangan.Cuaca pagi menuju siang ini memang membara, padahal baru jam sepuluh lewat. Aku segera menggeser kaca jendela angkot. “Wah, jadi adem.”“Kalau panas bilang, Salma.”“Terima kasih udah bukain kacanya, dari dulu aku nggak bisa kalau mau buka kaca angkot.” Dia tersenyum.“Iya, sama-sama. Masa nggak bisa? Padahal ini nggak sulit, kamu harus tau tekniknya. Namanya, Teknik Membuka Kaca Angkot. Disingkat, TMKA.”“Gimana tekniknya? Ajarin, dong, Teknik Membuka Kaca Angkot, yang disingkat TMKA itu.”Aku menutup kembali jendela untuk mempraktikkannya. “Pertama, kamu jangan langsung mencet kuncinya sambil digeser. Tapi, kamu tarik dulu ke belakang, terus pencet kuncinya, baru, deh, kamu geser dengan lembut dan elegan. Lalu bukan sulap bukan magic terbuka. Gimana mudah, kan?”“Hahaha. Nanti aku coba, deh. Kita udah mau sampe, nih.”“Okey!”Dia beralih memperhatikan jalan. “Kiri, Pak!”Pak Sopir bergegas menghentikan laju kendaraan.Saat kami akan turun, tak kusangka bapak-bapak yang duduk di sebelahku mempraktikkan Teknik Membuka Kaca Angkot.“Gimana mudah, kan, Pak?”“Teruskan!” Dengan wajah serius bapak itu mengacungkan jempol.Aku mengangguk tegas. Lalu menyusul Salma yang turun lebih dulu.Mobil warna hijau bergaris hitam itu tancap gas setelah kami membayar ongkos.Teras Cikapundung, itu tulisan besar yang terpampang jelas di dinding atas tangga. Walaupun orang Bandung, aku jarang ke daerah sini bahkan tidak tahu kalau ada tempat wisata di pinggiran sungai seperti ini, atau mungkin aku kurang memperhatikan. Tapi tampaknya tidak terlalu banyak orang yang ingin datang ke tempat ini.Kami berdua segera menuruni tangga.“Nggak perlu bayar karcis?”“Ini wisata gratis, Arka.”“Tempat sebagus ini nggak bayar, luar biasa.” Tatapanku lurus ke depan sembari menepuk-nepuk telapak tangan.“Memang luar biasa, tempat asri serta sejuk ini bisa kita nikmati sesuka hati. Udah, ah, mending kita ke jembatan.”“Aku, kan, baru ke sini. Jadi, aku ikutin kamu aja.” Aku tersenyum.Kami sampai di tengah jembatan kayu dengan besi-besi penyangga berwarna merah di setiap sisinya. Dari sana kami bisa melihat anak-anak yang sedang bermain air. Ternyata sungainya dangkal.“Kamu bener nggak tau tempat ini?”“Udah tau, kok.”“Terus kenapa dari tadi so nggak tau?”“Maksudku, aku sekarang udah tau setelah kamu ajak ke sini. Hehehe.”“Ih.” Dia memajukan bibir. “Kamu, kan, orang Bandung masa nggak pernah ke sini?”“Kata siapa aku orang Bandung?” Aku menatap wajahnya. Rasanya ingin selalu seperti ini.Dia berpaling memandang sungai. “Nebak aja. Soalnya aku perhatiin dari awal kamu yang tau daerah Bandung.”“Kalau aku orang Bandung, aku nggak akan tidur di kosan. Mending pulang ke rumah.” Maaf, aku harus bohong lagi.“Iya juga sih.”“Tunggu, aku beli minum dulu, ya.”Dia tersenyum. Aku segera menghampiri penjual yang berada tidak jauh. Kemudian kembali dengan membawa dua botol air mineral. Aku berikan satu padanya. Kami langsung meninggalkan jembatan untuk duduk di tempat teduh.“Ternyata hari ini panas banget. Terus wahana di sini juga nggak ada.”“Ini tempat wisata, kan, kenapa wahananya bisa nggak ada?”“Nggak tau, kata temenku, di sini ada perahu, tapi ternyata nggak ada.”“Terus mau gimana?”“Hm ... diem aja di sini, udah terlanjur ke sini juga.”Dari seberang sungai ada dua pria yang sesekali memperhatikan kami. Sebenarnya, aku ingin mendatangi mereka, tapi ada Salma di sini. Jadi, aku urungkan niat. Namun, tak kusangka tiba-tiba ada tiga orang pria lain di hadapan kami, tetapi pakaian mereka lusuh.“Woi! Maneh yang nonjok urang tadi, kan?” salah satu pria bicara keras. Dua orang lagi membusungkan dada menatap sok jago.Aku beranjak. Salma ikut berdiri.“Eh, Bro-bro. Ada apa, ya?” Aku menggaruk punggung kepala berlagak tak tahu. Kenapa harus ada pengamen ini lagi?“Ah, bener maneh! Hajar!” Kepalan tangannya melayang. Dua temannya bersiap mendekat. Seketika pukulannya terhenti. Salma telah mencengkeram erat tangan pria itu. Teman-temannya tak bergerak. Aku tercengang dia sekarang ada di hadapanku, dan bisa melakukan itu. Tapi, jika dia sampai terluka, aku takkan mengampuni mereka. Dengan wajah marah Salma membuang tangan pria itu. “Kalau kalian laki-laki jangan keroyokan!”Sementara itu, aku segera merogoh tas, mengambil topi hitamku, lalu ku pakai. Dari balik badan Salma, aku melihat mereka sembari tersenyum lebar.“Kalau kalian berani, lawan aku satu-satu.” Dia terus memarahi. Mungkin aura Penguasa Jalanannya muncul.Wajah ketiga pria itu langsung menerka-nerka, lalu ketakutan. Kemudian mereka kabur hingga daun telinga mereka pun tak terlihat lagi.“Wah, Salma hebat, ditantangin duel mereka langsung kabur.”“Cemen mereka, gaya aja pake tato. “ Dia balik badan. Matanya menatap ke arah lain. “Kapan kamu pake topi?”“Pake topi, lah, panas.” Aku memegang paruh topi. “Mungkin tato mereka rambutnya rambut Medusa, tapi mukanya Dora.”“Hahaha. Untung aja aku belajar bela diri waktu SMA.” Ternyata di balik tawa imutnya terdapat mental yang perkasa.“Terima kasih, ya. Aku jadi malu harusnya kamu yang aku lindungin. Tapi, kamu hebat!” Aku mengacungkan dua jempol.“Laki-laki juga perlu dilindungin kali.” Dia tersenyum sembari memiringkan kepala, pipinya memerah. Hatiku kembali berdetak tak karuan. Aku melepas Topi, lalu ku pakaikan kepadanya. “Kita ke tempat wisata lain.” Tanganku kali ini sadar telah menggenggam tangannya. Sama seperti sebelumnya, dia tidak melepasnya.“Di mana itu?” tanyanya merdu.“Deket, kok, dari sini.”“Ayo, kita ke sana!” Dia langsung antusias.Kami bergandengan melangkah dari sana, menaiki tangga.“Berarti kita naik angkot lagi.”“Katanya deket, tapi kenapa harus pake angkot?”“Di Kota Bandung deket itu bukan berarti lima langkah, Salma.”“Kok, aku jadi kebayang lagu, ya?”“Mau ke sana? Ya udah, kalau nggak mau. Kita duduk aja di tangga.”“Mau nggak? Mau nggak, ya? Mau, deh.”“Okey, go!”Aku dan Salma sudah kembali duduk berhadapan di kursi angkot. Setelah sekian lama aku tidak dapat menatap mata perempuan secara langsung, sejak hari ini aku merasa sudah sembuh dari hal itu. Sejak hari di mana kami duduk berdua di kantin, saat itu aku tahu, jika setiap perempuan berbeda.-Bersambung-“Udah mau sampai, tuh.”Salma menyelidik ke depan. “Mana?”“Kiri, Mang!” seruku pada sopir angkot yang sedang melirik-lirik mencari penumpang. Angkot perlahan mengerem.Kami telah berdiri di hadapan gerbang besi cukup besar yang telah lebar menganga, banyak orang yang sudah masuk beriringan melewati kami.Salma menengadah. “Kebun Binatang Bandung, serius kamu bawa aku ke sini?”“Emang kenapa kalau aku bawa kamu ke sini? Takut buaya, ya?”“Nggak, sih, tampol aja buayanya.” Dia memajukan bibir.“Terus kenapa, sih?” ledekku sembari tersenyum.“Ya, aneh aja kaya anak kecil aja gitu.”“Mending kita liat aja, apa di dalem lebih banyak anak kecil atau orang dewasa.”“Ayo!” Dia bergegas melangkah mendahului. Aku mengimbangi.Salma berdiri di depanku, kami telah mengantri di antara orang-orang yang ingin masuk ke
“Hei, Mas! Jangan berhenti sembarangan!” dengus supir dengan logat khas daerahnya. Kemungkinan supir itu bukan orang Bandung asli. Tapi kenapa aku jadi memikirkan hal itu? Yang harus ku pikirkan sekarang adalah masalah yang baru datang.Pria yang dibonceng turun, sementara temannya telah meminggirkan macan besinya. Mereka segera merangsek mendekat. Jaket yang mereka kenakan serupa, warna abu, ada logo di dada kirinya, tapi tidak terlalu jelas, jika dilihat dari sini. Yang pasti mereka bukan dua orang yang salah satunya pernah aku ringkus tempo hari.“Siapa mereka, kamu tau?” Salma bicara, masih melirik ke depan.Aku tidak segera menjawabnya, berpikir seje
Gawai zaman nenek moyangku berdentang nyaring nada khas telepon merk Nusia. Sembari melangkah siput di gang sempit tanganku segera merogohnya ke dalam saku celana PDL hitam yang sekarang aku pakai serasi dengan kaos warna gelap. Kupikir notif dari Salma, tapi nyatanya bukan, ini pesan dari .... Aku sipitkan mata mencerna lebih dekat tulisan di layar ponsel. Tidak ada nama hanya nomor. Males, aku semayamkan kembali teleponku ke kantong.Setibanya di tempat tujuan-kedai Mang Kurnia-sang Kemilau tepat menggapai ufuk. Telah ada Bidadari tak melayang menyambut di ambang pintu, dia melambai sambil tersenyum syahdu. Tatapanku masih tak be
“Kalau Mamang jadi kamu, Mamang ikutin si Neng,” cetus Mang Kurnia dengan sedikit berbisik dari belakang. Ternyata Mang Kurnia juga sudah mencurigai gelagat tiga orang itu.Mang Kurnia ada benarnya. Tanpa menoleh, langkahku telah mengimbangi, membuntuti Salma sambil menenteng tiga gelas air teh yang sudah tersedia-sebagai pengalihan.Dia menyimpan satu demi satu piring ke meja. Pandangan mereka tak berubah. Aku datang, lalu juga menyodorkan satu persatu gelas.“Ih, Arka, sekarang, kan, giliran aku,” bisiknya.
“Bener si Botak itu orangnya?” Satu alisku terangkat ketika salah seorang dari tiga orang itu bertanya pada temannya. Jalanan Gang disorot dua-tiga lampu remang, dari jarak sedikit jauh tampang mereka belum terlalu jelas. Tapi setelah cukup dekat, pikirku tidak salah, mereka tiga ‘Aligator’ yang tadi makan di kedai. Layangan kakiku berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Beneran dia orangnya?” Suara pertanyaan dengan logat Ibukota itu tertuju lagi. Ternyata pemiliknya ada di balik punggung ketiga orang itu. Saat di kedai, aku tak sempat menyelidik jaket hitam yang mereka pakai, setelah diperhatikan ada logo pisau belati berdiri dibagian dada kiri jaket mereka. Aku sangat familiar dengan gambar logo itu, tak seperti ‘logo’ kedua orang yang tadi sore meleburkan suasana bahagiaku dan Salma. Tunggu dulu, kenap
“kumaha malem ngedate sama si Sela?” Tanganku meraih kopi susu, kemudian menyeruputnya. Aku dan Ardo duduk berhadapan di bangku kantin fakultas, tapi dia tidak memesan apa pun.“Ahh, biasa aja.” Ardo menahan seyumanannya, mungkin dia sedang terbayang wajah kekasihnya. Ya, tadi di kos-kosan dia bilang, kalau dia telah menyatakan cinta pada Sekretarisnya itu, dan tanpa dipersulit dia diterima.“Urang nggak percaya kalo biasa aja,” godaku sambil menyeringai. Dia malah memeriksa HP-nya yang berdentang, lalu beranjak dari bangku. “Ka, si Sayang ngajak ketemuan, nih.”“Wadaw, okeylah.”
Dengan langkah penuh api menyala-nyala, aku kembali ke arah Fakultas Indonesia. Salma membuntuti dari belakang sembari memintaku untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan; kekerasan. Sampai di depan fakultas, kebetulan pria itu sedang mengobrol, cengar-cengir bagai kuda bersama dua temannya, setelah melakukan hal kotor dia masih bisa ketawa-ketiwi? Ini pasti bukan hari keberuntungannya. “Arka, ada telepon dari ... Ardo,” panggil Salma dari belakang. Ardo urusan nomor dua yang pertama sekarang pria yang telah membuatmu menangis. “Woi! Kakak Klimis!” seruku dengan intonasi tinggi. Walau sedang emosi, jika memanggil orang yang lebih tua harus tetap sopan. Sejenak semua mahasiswa yang berada di teras fakultas melirik. Namun karena tak penting mereka kembali melanju
“Pak!” Aku menggulir langkah menuju ambang pintu belakang gedung bertingkat sembari menyapa satpam yang mungkin kebetulan sedang ada di sana. Dengan raut wajah menerka, satpam itu menganggukkan kepala, sedikit tersenyum. Tanpa pertimbangan, aku bergegas menggeser daun pintu. Setibanya di atap sudah ada tiga pria menyambut. Salah satu dari mereka adalah teman SMA-ku dulu, Reki. Dia pria di tengah yang sedang bersandar di tembok pinggir. Gayanya tidak berubah dengan rambut mohawk pendek, dan berpakaian ala anak kota. Dua pria di sebelahnya, aku belum tahu siapa mereka, tapi jelas mereka memakai jaket sama, warna hitam berlogo pisau belati. “Yow, ke ... maksud urang, Arka.” Reki melangkah dari tempatnya, lalu menyalakan sebatang petasan asap yang sempat dia ambil dari saku, ke