Share

#9 Itu Dia

Author: Tadi hujan
last update Last Updated: 2021-08-02 18:29:05

Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.

Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.

“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.

“Udah, Arka, biarin aja.”

“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”

“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”

“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.

“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”

Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja amarahku mereda. Kami kembali melangkah.

Ratu Cahaya telah menerpa wajah kami. Kakiku berhenti melangkah saat Salma tertinggal di belakang, aku menengok ke arahnya.

“Tunggu bentar,” ujarnya sambil menaruh kantong yang ditentengnya.

“Ada apa?”

Tanpa menjawab dia langsung mengkucir rambutnya ke belakang dengan kedua tangannya memakai jepit rambut karet. Namun, dari dulu aku bertanya-tanya, mungkin pertanyaan ini pernah dipikirkan oleh setiap laki-laki, kenapa perempuan selalu terlihat lebih cantik saat sedang mengikat rambutnya ke belakang? Tapi ada kemungkinan pertanyaan tersebut adalah rahasia perempuan yang tidak perlu untuk ditanyakan.

Kini dia menghela dahinya, napasnya sedikit terengah. Wajahnya merah pudar tampak seperti permen gulali. Dia pasti kehausan, walau mungkin dia gengsi mengakuinya.

“Salma, biar aku aja yang bawa, ya.”

“Nggak usah, sama aku aja, Arka. Ayo!” Dia kembali membawa kantongnya, melangkah.

“Kalau gitu, kita beli jus dulu, yuk. Kebetulan ada kedai jus, tuh, di depan.”

“Hmm ... boleh, deh.”

Kami segera menghampiri bangunan cukup luas yang di depannya tersusun rapi berbagai macam buah-buahan matang dalam lemari kaca. Kami segera ke dalam kedai, lalu duduk di bangku kayu, bersebelahan.

Salah satu pelayan wanita datang. “Mau pesan apa, Kak?”

“Saya pesan jus alpukat. Salma mau apa?”

“Aku mau jus stroberi.”

“Okey, makanannya mau pesan apa?”

Aku baru tahu ternyata di sini tempat makan juga, kataku dalam hati. Apa mereka menyediakan nasi goreng semangka? Aku memegang dagu.

“Salma mau makan?”

“Nggak, ah, nanti aja.”

“Kami pesan jus aja. Dibungkus, ya, Teh, biar bisa dibawa.”

“Baik, ditunggu, ya, Kak.” Pelayan itu pergi ke pintu dapur.

Sembari menunggu pelayan membawa pesanan kami, aku memeriksa kembali belanjaan. Ini sudah lengkap, mungkin. Aku belum sempat melihat semua karena jus yang kami pesan sudah datang.

“Ini dua jusnya, Kak. Bayarnya di kasir, ya.”

“Terima kasih.” Salma yang mewakili.

Langkah kami sudah menjauh dari kedai itu. Kami mulai melewati jalanan sepi yang di dua sisinya berhiaskan taman rumput berselang-seling pohon. Aku tidak tahu berapa luas kedua taman hingga ke ujungnya. Nanti bila ada waktu akan aku ajak Salma menyusuri salah satu taman.

“Kita ke sana dulu, yu,” katanya meminta sembari menunjuk.

“Terserah kamu aja, aku ikut. Hehehe.”

Langkah kaki Salma menuju pinggiran taman. Aku mengimbangi sembari menatap rumput hijau indah yang seakan mengalah karena kedatangan yang lebih indah darinya.

“Kalau aku mau ke jurang, kamu mau ikut?”

“Emangnya kamu berani masuk jurang?”

“Nggak. Hahaha,” dia terkekeh.

“Ya udah, kalau gitu sekarang mending duduk di bangku ini, terus melihat pemandangan sambil menghabiskan jus. Silahkan, Tuan Putri.” Aku mempersilahkan sembari tersenyum.

“Gombalnya nambah, nih,” ujarnya sambil langsung menyelonjorkan kaki.

Belum lama kami menghela napas di taman ini, seorang pria bertato di kedua lengannya serta membawa gitar menghampiri kami. Orang itu sepertinya sedang dalam pengaruh minuman keras, terlihat dari cara jalannya yang seperti Kapten Jack Separo. Sesampainya di hadapan kami, dia menyanyi sebentar, itu pun dengan suara yang tidak jelas, kemudian menjulurkan tangan.

“Maaf, nggak ada, Bang.”

“Masa gak ada duit! Urang udah nyanyi,” ujarnya memaksa. 

“Nggak ada, Bang.”

“Kalau gitu, urang menta jatah dari cewe maneh.”

“Ngomong naon?!” Aku berdiri sambil mengernyitkan dahi.

Salma hanya memandang sembari melipat dahinya.

“Jatah cewe maneh!”

Saat mata preman itu terus memperhatikan Salma, aku menepuk pundaknya. Lalu menyuruhnya mengikutiku. Ketika jarak kami telah satu setengah meter dari bangku taman, jus alpukat yang segar segera mendarat di wajahnya. Kemudian kepalan tanganku melayang. Dia terjungkal, lalu memegang hidungnya meringis kesakitan.

Aku segera bergerak cepat membuang plastik ke tempat sampah warna kuning dan kembali ke tempat duduk. Salma menatapku masih tak percaya.

“Ayo, pergi dari sini! Di sini udah nggak nyaman. Orang kaya gitu pantes mendapatkannya.”

Kami menenteng lagi belanjaan bergegas meninggalkan taman.

“Tadi kamu bisa-bisanya buang sampah dulu. Hahaha.” Tampaknya dia mencoba menenangkan situasi.

“Hahaha. Kan, dalam situasi apa pun kita tetap harus membuang sampah pada tempatnya. Kita harus menjaga Bandung tetap bersih.”

Kami sudah berada di dalam kedai Mang Kurnia, menghela napas lega.

“Kata kamu tadi kita harus mengurangi penggunaan plastik. Tapi tadi jus pake plastik.”

“Ya, kalau pake kertas, kan, nggak mungkin. Hahaha.”

“Iya juga.” Dia terkekeh manis.

Di luar terdengar suara mesin kendaraan berhenti. Aku memandang ke kaca kedai, itu Mang Kurnia yang sedang turun dari motornya. Kemudian beliau masuk tanpa melihat kami.

“Mang, belanjaannya udah di atas rak.”

“Eh, cepet pisan, udah di sini lagi. Biasanya agak lama.”

“Iya, kan, ada aku yang bantuin, Mang.” Salma tersenyum.

“Bagus, si Arka biasanya lelet. Pasti berkat ada cewe dia jadi semangat, tuh.”

“Nggak begitu juga kali, Mang.”

“Kalau gitu Salma boleh, kan, Mang, kerja di sini?”

Mataku terbelalak, kepalaku menggeleng-geleng memberi isyarat pada Mamang.

“Hmm ... gimana jawabnya, ya? Tapi malem kerjanya, gimana?” Mang Kurnia berpikir.

“Nggak apa-apa, Mang. Aku cuman mau ada pengalaman kerja aja. Berapa pun gajinya nggak masalah, Mang.”

“Boleh, deh, Salma bantuin Arka jadi pengantar makanan.”

“Siap, Mang!” Dia tersenyum antusias.

Sebernarnya aku senang sekali dia bisa terus dekat denganku, jika bekerja di kedai. Tapi, jika begitu pasti akan ada cinta yang akan menerjang lebih cepat ke hati, aku belum layak mendapatkannya karena masih banyak rahasia yang tidak bisa kuungkap kepadanya.

“Arka!”

“Iya, ada apa?” Aku sedikit terperanjat.

“Jangan ngelamun nanti matanya kelilipan truk.” Dia terkekeh.

“Mataku sekarang kelilipan tebu.” Sembari menatap wajahnya.

“Masa?”

“Aduh, sekarang kelilipan truk.”

“Udah nggak lucu, ih.”

“Masih lucu, ih.”

“Mang Kurnia mana?”

“Masa tadi nggak liat masuk rumah. Ngelamun, sih.”

“Oh iya, lupa.”

Aku mamandang jendela, terlihat Mang Kurnia sedang duduk sambil menonton tivi dan sesekali menyeruput kopi di gelasnya. Orang dewasa memang tampak tidak punya masalah, atau mungkin mereka dapat dengan mudah menyembunyikannya.

“Arka, kita ke taman lagi, yu.”

“Ke taman yang tadi?”

“Bukan, yang ini tamannya di pinggir sungai.”

“Jalan kaki?”

“Tempatnya jauh, Arka, kita harus naik angkot. Mau, ya, daripada ngelamun di sini.”

 “Okey, Let’s go!” Tanpa sadar, aku menggenggam telapak tangannya.

-Bersambung-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #44 Soda Kue

    “Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #43 Terkena Bencana Alam

    “Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #42 Kesempatan Dalam Penderitaan

    “Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #41 Gila Karena Cinta

    “Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #40 Mendung

    “Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #39 Otak Bukan Otot

    “Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status