Suasana meledak, semua orang maju. Aku segera bergerak cepat ke arah Salma yang langsung melayangkan kakinya ke selangkangan dua pria yang mengapitnya. Aku meraih tangan Salma. Sesuai arahku Ferdi dan tiga temannya mengikutiku. "Fer, bawa!" Aku melepas lengan Salma. Ferdi bergegas menariknya menjauhiku. "Keluar!" tegasku sambil menunjuk arah belakang yang memang kosong. "Nggak, Arka!" teriak Salma, terus menjulurkan tangan. Aku tersenyum. Salma perlahan hilang. Syukurlah mereka berhasil kabur. Hampir lima belas menit, aku masih bertahan. Banyak dari mereka yang langsung tumbang setelah kuhajar. Tapi beberapa serangan berhasil membuat sekujur badanku babak belur. Kini penglihatanku sudah mulai runyam. Aku segera meraih balok kayu yang tergeletak tak jauh, lalu menodongkannya ke segala arah. Tanpa terduga, ada yang menyerangku dari belakang, kepalaku terasa dihantam keras dengan benda tumpul. Kakiku tak kuat lagi menopang, tak lama tubuhku telah terjengkang. Pandanganku menggelap. Sayup-sayup, aku mendengar bunyi yang tak asing. Namun, seketika hening. (Maaf, ya, jika ada narasi maupun dialog yang memakai Bahasa Sunda. Kalau mau tahu artinya ke Mbah Google aja, ya, biar sambil belajar plus ada kerjaan. Ehehehe. Salam damai dari Author) Ikuti aku di cuiter dan kilogram @tadi_hujan, agar kita bisa saling kenal.
Lihat lebih banyak“Aduh, telat, euy,” kataku.
Aku berlari di jalanan kampus bersama Ardo teman satu kosku. Jam di dinding kantin yang kami lewati telah menunjukkan pukul 06.45.“Hayu, cepat!” desaknya.Saat aku masih memperhatikan jam, tabrakan pun tak terhindarkan. Seseorang di depanku terdiam, dia seorang gadis, buku yang dipegangnya berhamburan. Aku langsung sigap mengambil buku-bukunya.“Maaf, ya, saya buru-buru,” kataku.Dia tidak berbicara, ngambek pun tidak.Aku bergegas mengembalikan buku-buku miliknya. Mataku belum sempat memperhatikan seperti apa wajah gadis itu. Lebih tepatnya aku tidak sanggup kalau harus bertatapan dengan perempuan, kecuali ibuku.“Nggak apa-apa ...,” katanya.Tapi aku tetap menunduk. Lalu kembali berlari menyusul temanku.Lari kami tak sia-sia. Tak berselang lama kami sudah tiba tepat waktu di Gelanggang Kolam Renang, sebuah bangunan stadion yang di tengah-tengahnya terdapat kolam berenang luas.Benar, Mata kuliah pertamaku adalah kelas renang atau yang disebut juga aquatik. Banyak senior bilang kalau kelas ini mata kuliah neraka, karena katanya dosen-dosennya galak dan pembelajarannya sangat menguras adrenalin.Aku sudah memakai celana renang hitamku. Dengan wajah tegang aku keluar dari ruang ganti. Karena selama ini tidak pernah tahu caranya berenang, menyentuh air kolam pun tak pernah, itu satu-satunya yang saat ini membuatku tegang.Sekitar puluhan Mahasiswa termasuk aku sudah duduk di pinggir, membelakangi kolam yang airnya berwarna biru cemerlang. Tiga Dosen berada di depan, salah satu dari mereka sedang menjelaskan.“Teknik dasar meluncur itu gampang, kalian hanya tinggal meluruskan badan, tapi pastikan badan kalian lurus, maka seluruh badan akan otomatis mengambang. Lalu kayuh,” jelas Dosen.Seluruh Mahasiswa berdiri, aku juga.Dosen mengatakan, kalau sekarang adalah pembelajaran meluncur sekaligus memilah Mahasiswa supaya bisa di bagi menjadi tiga kelompok. Kelompok yang bisa, kelompok kurang bisa, dan kelompok tidak bisa. Aku cocok dengan kelompok ketiga.Sekarang bagianku meluncur setelah lima orang di depan berhasil ke seberang. Aku berdoa, ragu-ragu, dan perlahan masuk kolam. Air kolam yang dingin menusuk dari telapak kaki sampai ubun-ubun.“Ayo, cepat!” teriak Dosen.Dengan tangan di depan, aku meluncur. Bulu kudukku merinding saat melihat betapa dalamnya tengah-tengah kolam ini, kiri-kira sedalam tiga meter. Tanpa sadar aku tidak mengayuh. Sedetik kemudian badanku telah tenggelam.“Aduh, euy, aku pasti mati?” celetukku dalam hati.Napasku habis, untung saja kakiku berhasil menyentuh dasar. Seketika dengan kencang aku melompat-lompat ke atas sambil melambai minta tolong. Tapi tidak ada siapa pun yang menolong.Setelah beberapa detik aku melompat dan melambai, Salah satu dosen melemparkan pelampung. Aku segera meraihnya, dan akhirnya aku bisa mengambang. Napasku tertarik panjang, lega rasanya.-Arka-Dua jam pembelajaran renang sudah selesai, sekarang aku telah berada di kantin kampus. Mungkin bagi yang sudah bisa dan kurang bisa renang, mata kuliah itu seperti neraka. Tapi buatku dan teman satu kelompokku tadi pembelajarannya cuman latihan di kolam cetek, tidak menguras adrenalin sama sekali.Kantin kampus belum terlalu ramai, hanya ada satu-dua mahasiswa yang duduk di hadapan meja panjang. Ada beberapa meja dan kursi panjang yang di simpan di luar, mungkin biar makan bisa sambil lihat orang jalan. Baguslah kalau belum banyak orang, karena aku lebih suka suasana damai daripada ramai.Ini kali pertama aku masuk ke kantin kampus, katanya di sini ambil makanannya kayak prasmanan. Ternyata itu benar. “Sikat,” tegas benakku.Tanpa pikir panjang, aku segera mengambil piring yang sudah disediakan, menyendok nasi banyak-banyak, dan menghiasinya dengan lauk-pauk.“Oh, harus langsung bayar,” gumamku melihat satu orang di depan menyodorkan uang ke kasir.Tanganku bergegas merogoh saku kanan celana, tapi tidak ada. Aku coba sebelah kiri, tidak ada juga.“Tenang.”Aku segera melihat saku kemejaku. Ini saatnya panik.“Aduh, duitku hilang,” kataku dalam hati.Seseorang menyerobotku. Gadis berambut panjang terurai itu berbicara sebentar dengan kasir, dia langsung menyodorkan uang, lalu berjalan keluar. Aku ragu-ragu mendekati kasir.“Makanannya udah dibayarin sama pacar kakak,” ungkap kasir.“Pacarku?” cakapku bingung.“Iya, pacar kakak yang duduk di meja itu.” Kasir menunjuk keluar.Kepalaku menoleh. Dia gadis yang tadi menyerobotku.“Ini kembaliannya, Kak. Terima kasih.” Kasir menyodorkan uang.Aku mengambilnya. “I-iya, terima kasih.”“Sama-sama.”Dengan perasaan canggung, aku menghampiri meja gadis itu.Dia menatapku biasa saja.Aku langsung menunduk menatap makananku.“Pe-permisi,” kataku canggung.“Kamu boleh duduk.”Aku duduk di hadapannya. Tapi, Aku ragu bisa mengobrol dengannya.“Kamu juga mahasiswa baru, ya?”“Sebelumnya terima kasih sudah membayar makananku, ini kembaliannya.” Aku menyimpan uangnya di tengah meja dengan tangan bergetar. “Nanti aku ganti.”“Nggak usah. Itu sebenarnya uangmu.”“Maksudmu?”“Itu uangmu yang tadi jatuh saat menabrakku.”“Oh, maaf, tadi aku buru-buru. Terima kasih.”“Nggak apa-apa, aku juga tadi buru-buru. Tapi, kamu nggak sopan, ih, dari tadi bicara sambil nunduk.”“Aku ... lagi menghitung nasi, eh, maksudku, lagi ....”Dia tertawa. Mungkin merasa aneh dengan lelaki sepertiku. Aku hanya menunduk tersenyum.“Oke, kita habiskan dulu makannya,” katanya.Aku mengangguk. Lalu menyantap dengan lahap.Kami berdua selesai menghabiskan makanan di piring masing-masing. Aku masih menunduk, ragu, apa bisa aku memulai percakapan. Tapi, aku harus mencoba. Dia sepertinya menatapku.“Kenapa tadi kamu tahu kalau aku mahasiswa baru?” ujarku memulai percakapan.“Kelihatan,” jawabnya.“Kelihatan apanya?”“Botaknya. Hahaha.” Dia tertawa terkekeh.Tanganku refleks memegang kepala. Benar sekali, aku lupa kalau rambutku telah di cukur gundul dua senti. Tapi tidak ada pilihan lain, karena ini syarat mahasiswa baru laki-laki di fakultasku.“Kamu masih tidak sopan, ih.”Aku terdiam.“Oh, aku punya triknya. Kamu kalau bicara jangan menatap mata, tapi tataplah ke antara kedua mata. Ayo, coba, deh, kamu pasti bisa.”“Maksudmu menatap pangkal hidung?”“Iya, kamu pasti bisa.”Kepalaku perlahan terangkat, entah kenapa aku menuruti permintaannya. Tak lama, aku memandang wajah cantik gadis itu. Dia tersenyum padaku. Matanya lebih cemerlang dari kolam renang. Tak tahu kenapa aku malah tidak menuruti triknya, tapi malah menatapnya.“Itu, kamu bisa.”“Hehehe. Iya. Tapi, aku masih canggung.”Dia kembali tertawa. Aku tersenyum.“Kamu pasti dari Fakultas Olahraga, aku sudah tahu itu.”“Kamu gampang menebakku, tapi aku tidak bisa menebak kamu dari fakultas mana?”“Aku dari Fakultas Bahasa.”Aku tersenyum menatapnya. “Oh iya, kenalkan, namaku Arka.”“Aku Salma,” jawabnya.Hari itu aku tahu nama gadis itu. Salma Larasati. Sesuai dengan namanya yang cantik. Namun, dia lebih cantik serta imut.Aku dan Salma mulai akrab di waktu pertama makan bareng itu. Setelah beberapa menit mengobrol, dia buru-buru pergi, katanya ada kelas. Aku hari ini sadar kalau perempuan tak seegois yang selama ini kupikirkan. Tapi aku masih canggung bisa memulai percakapan atau tidak, jika nanti bertemu dia lagi. Dan, bodohnya tadi aku tidak meminta nomor teleponnya.-Bersambung-
“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen