Asfha terus mengikuti dari belakang banyak yang menatapnya heran karena melihat wajah Asfha yang terseyum sepanjang perjalanan. Jalannya pun elegan tak ada sikap bar-bar.
Pak Alzam masuk dan langsung duduk ditempatnya sambil mempersilahkan Asfha duduk. Yang dipersilahkan menurut sambil tersenyum.
"Kamu tau? Alasan saya membawa kamu ke kantor?" tanya Pak Alzam memulai, dia juga bersikap tegas duduknya pun tegap.
Asfha menggelengkan kepala sebagai jawaban bahwa dirinya tidak tahu dan masih tetap tersenyum.
Pak Alzam mengerutkan keningnya, dia berpikir kenapa dengan Asfha? Bukankah dirinya selalu bar-bar? Lantas kenapa dia mendadak bersikap elegan seperti itu? Namun Pak Alzam tetap biasa dan menatap sambil mengelus-ngelus rahangnya.
Lah ko dia jadi ngerutin keningnya terus itu matanya natap dalem banget. Nggak takut kesima apa?, batin Asfha.
Asfha tak mau kalah, dia juga menatap Pak Alzam dengan tangannya dilipat diatas meja beberapa menit kemudian sebelah mata Asfha berkedip berniat untuk mencairkan suasana.
Pak Alzam menjadi ngeri melihat kenapa dengan manusia yang berada didepannya?
Asfha kenapa ya? Masa iya cacingan, batin Pak Alzam.
"Pak Alzam," ucapnya pelan.
Ucapan Asfha masing bisa didengar oleh Pak Alzam, dia menaikkan sebelah alis sebagai bertanya 'apa?'.
Asfha menggelengkan kepala, dia juga menjawab dengan bahasa isyarat membuat Pak Alzam menghela nafas kasar.
"Kamu sakit?" tanya Pak Alzam berharap Asfha berbicara menggunakan mulut.
Asfha menganggukan kepala tak lupa terbitan senyuman yang selalu menambah kecantikannya, tapi dia tetap menjawab menggunakan isyarat. Pak Alzam kembali menghela nafas dan kini dia risih melihat muridnya seperti itu.
"Sakit apa Asfha? Tolong bicara menggunakan mulut bukan isyarat!" ucapnya tegas, rahangnya mengeras.
Asfha tersenyum, dia bahagia bisa melihat kejengkelan Pak Alzam apalagi melihat tampang seperti itu sangatlah lucu. Asfha menjadi semangat untuk selalu mengerjai Pak Alzam.
"Ekhem, aku sakit karena gila, Pak," ucapnya pelan.
"Gila kenapa Asfha? Daritadi itu kamu baik-baik saja," ucap Pak Alzam sudah tak mau lagi mendengar omong kosong muridnya itu.
"Aku … gila karena melihat ketampanan,Bapak. Mataku jadi terganggu makanya menjadi gila," ucapnya dramatis.
Sedetik Pak Alzam terdiam memikirkan ucapan yang baru saja Asfha lontarkan, setelahnya menganggakatkan sebelah alis menandakan bahwa, dia tidak percaya.
"Saya tidak percaya, Asfha!"
Asfha sedikit kaget dengan nada suara yang lumayan cukup tinggi.
"Lah bentar? Emang aku nyuruh buat percaya? Kayaknya nggak deh atau jangan-jangan, Bapak percaya apa kata-kata aku. Benerkan?" godanya sambil menunjuk-nujuk Pak Alzam dengan tangan telunjuk.
Pak Alzam dibuat melongo tak percaya, dia mengira Asfha itu memang gila karena ketampanannya tapi dia salah besar. Dia telah tertipu dan kenapa juga dirinya harus sebodoh itu? Pak Alzam menjadi malu karena telah percaya begitu saja.
"Gak! Tadi itu belum selesai ngomongnya. Maksudnya tidak percaya kamu gila karena ketampanan saya," ucapnya berbohong untuk menutupi rasa malunya.
Asfha merasa, Pak Alzam itu berbohong.
"Aaaaaa bohong ya?" godanya lagi.
"Tidak!"
"Emm yang bohong ketahuan kali, Pak. Jadi ngaku aja," ucapnya so' tahu.
"Tidak!"
"Masa sih?" tanyanya tak mau kalah sambil tersenyum menggoda.
"Harus diucapkan seberapa kali? Saya bilang tidak! Ya tidak! Baik Asfha Ziara!!!" panggilnya serius.
"I-ya, Pak Alzam ganteng," ucapnya menderetkan gigi.
"Saya sedang serius jadi tolong kamu serius juga!"
"Jangan serius-serius ah, Pak. Nanti diseriusin beneran lagi."
"Asfha!!!"
"Iya, Pak Alzam ganteng sampe mencakar langit, aku didepan mata. Manggil-manggil mulu heran deh kapan dimulai keseriusannya sih?" gerutu Asfha.
"Saya heran. Kenapa sikap kamu tidak bisa serius saat belajar?" tanyanya.
"Males! Lebih baik bikin ruangan berisik jadi asik daripada hening kayak kuburan, benerkan Pak? Ya benerlah masa enggak," ucapnya polos sambil ketawa.
"Asfha!" bentaknya.
Asfha yang sedang tertawa mendadak menjadi diam, dia menatap Pak Alzam.
"Saya ini sedang serius. Jadi tolong hilangkan dulu sikap konyol seperti itu!" lanjutnya tegas. Tatapan beda tertuju pada Asfha tanpa berkedip.
Hati Asfha tercubit mendengar bentakan Pak Alzam, tak disadari matanya mulai berkaca bisa dibilang dia cengeng. Asfha akan lemah jika ada orang yang membentak dirinya karena tak ada satupun yang berani.
Pak Alzam yang melihat Asfha seperti itu merasa bersalah, gadis yang selalu ceria dan bar-bar kini menangis karena dirinya.
Apakah tindakan salah? Sampai gadis itu cengeng? batin Pak Alzam.
"Maaf," pinta maaf Pak Alzam.
Satu kata yang dia ucapkan tak dapat mengubah hati Asfha, dia masih menatap Pak Alzam, hidung memerah setetes demi tetes air matanya terus keluar.
"Asfha maaf saya tak sengaja," pintanya lagi dan Asfha tak mengeluarkan suara sama sekali.
Sudah dua kali Pak Alzam meminta maaf tapi diabaikan akhirnya pasrah.
"Saya sudah meminta maaf tapi kamu diabaikan, sekarang terserah mau memaafkan atau tidak," pasrahnya.
Asfha tak menjawab lagi dan Pak Alzam menghela nafas.
Fika tersenyum bahagia, dia juga memeluknya kembali."Oke. Gue minta maaf, Fha. Gue udah salah paham sama lo, harusnya gue lebih sadar dan berpikir dulu sebelum dimasukin ke hati.""Gak usah minta maaf. Harusnya yang minta maaf itu gue, karena lo korban dari bentakan nada bicara gue dari kesekian orang. Hahaha, lagian salah lo juga sih apa-apa dimasukin ke hati.""Haha iya-iya. Tapi, sekarang gue lebih bersyukur punya sahabat seperti lo.""Jadi sebelumnya lo gak pernah bersyukur?" tanya menguraikan pelukan dan langsung menatap lekat sahabatnya."Hilih kebalikan nih, jadi lo yang dimasukin kehati."
Jam 8 pagi matahari sudah nampak diatas nabastala memancarkan cahaya menerangi alam semesta. Indahnya pancaran itu memberi kesejukan bagi penghuni makhluk yang berada di bumi dan langit.Dilangit Kicauan burung berbondong-bondong mengelilingi angkasa. Dibumi pohon bersemi kembali, lantas nikmat mana yang kami dustakan?"Satu dua satu dua.""Fha mau gak?" tawar Fika membawa kantung kresek hitam yang berisi makanan.Asfha menoleh lalu menghampirinya.Dua makhluk itu sedang berolahraga dibelakang rumah Asfha mengisi waktu libur dihari minggu. Sudah hampir 2 jam mereka melakukan runititas itu.
Lelaki itu memangutkan kepala. "Ya gapapa. Katanya belum beres belanjanya? Dilanjut!"Asfha menyengir kuda, sebenarnya bukan belum selesai belanja tapi karena dia ingin berlama-lama dengan lelaki itu."Ah nggak udah ko," alibinya."Oh udah? Pulang gih! Nanti orang tua lo marah. Gak baik anak gadis keluyuran lama-lama diluar tengah malem!"Asfha mendengus kesal mencibirkan bibirnya. Lelaki itu tak mengerti apa yang diinginkan Asfha. Dengan seperti itu keinginannya harus musnah tertelan sebelum waktunya, dia tak bisa mencari alasan lagi hanya pasrah.Bingung jika harus saling diam akhirnya Asfha izin untuk pamit pulang terlebih dahulu.
Tit Tit TitAsfha memalingkan wajahnya melihat kedepan ternyata benar suara mobil itu berhenti tepat didepan rumahnya."Tuh kayaknya udah dateng. Izinin yah? Bentar doang … hmm yah bener deh bentar doang. Kesian Fika udah kesini kalo aku gak diizinin," pintanya memelas."Ya udah, Pah. Izinin ajah, mereka cuma belanja," ucap Mamahnya membantu meminta izin.Papahnya dia sejenak, berpaling melirik Asfha. "Ya udah sana. Tapi hati-hati jangan ngebut apalagi sambil bercanda!""Yey oke siap, Pah," jawabnya antusias sambil hormat.Asfha berdiri dan menyalami orang tuanya. Dia juga diantar oleh
"Haduh. Huft hah huft hah."Asfha mencoba menormalkan pernapasannya. Dia berjalan kembali menghampiri meja lalu menengok kearah bawah, dia penasaran siapa yang telah bersikap tidak sopan."Keluar!" titahnya sambil menggebrakkan meja.Orang yang berada dibawah itu menoleh. "Ada apa, Neng?" tanyanya sambil keluar tanpa berdosa."Oh kamu, Mang. Cepet-cepet keluar!"Semua orang ikut keluar dan menunggu apa yang akan terjadi."Amang kentut ya?" tanya Asfha to the point.Mang Udin menyengir. "Iya hehe, tapi tadi loh kentutnya."
Deras hujan mengguyur rumah disertai gemerlapan petir, jalan basah kuyup, pepohonan ikut bergoyang karena tiupan angin.Tang kolentrang tangSuara rintikan hujan menggema berirama diatap rumah, apalagi atap rumah itu terbuat dari Asbes.Ruangan cukup redup hanya pancaran cahaya remang-remang terdapat seorang gadis sedang belajar, ralat bukan belajar melainkan melukis. Gadis itu mencoreng-coreng tinta diatas kertas putih. Lukisan itu menampakkan kepala seseorang, entah laki-laki atau perempuan yang jelas lukisan itu baru separuh.Namun ditengah kepokusan melukis, dia merasa terganggu dengan adanya suara kebisikan tang kolentrang yang terdengar keras dan semakin keras.