LOGIN“Kalau aku booking satu minggu berapa tarifmu?” Ivanka Katleya terkejut saat tahu pria yang memesannya hari ini adalah Alvan Abbiya, salah satu dosen yang terkenal killer di kampusnya. Thea menolak dan berpikir jika Alvan sengaja memesan untuk menjebaknya kemudian melaporkan pekerjaan sambilannya sebagai call girl ke pihak kampus. Alhasil dia akan dikeluarkan dari kampus karena mencemarkan nama baik kampus. Namun, ternyata dugaan Thea salah. Alvan menyewa jasanya untuk menyamar sebagai kekasihnya. Keluarga Alvan percaya dan parahnya lagi, hari itu juga mereka langsung dinikahkan. _________________________________________ Cerita ini sekuel dari kisah Widuri dan Emran, ya. Tapi sebagai tokoh utamanya adalah putra ketiga mereka. Cus.. yang mau reunian, mampir di sini.
View More“Ivanka Katleya!!! Untuk apa kamu di sini?” seru seorang pria tampan.
Gadis cantik dengan rambut berombak itu membeku di tempat, mata bulatnya mengerjap sambil menatap bingung pria tampan yang berdiri tegak di depannya. Ia tahu dan sangat mengenal pria di depannya ini.
Pria tampan itu tak lain Alvan Abbiya. Dia adalah salah satu dosen di kampus tempatnya kuliah bahkan bisa dibilang termasuk dosen killer di sana.
“Pak Alvan. Kok Bapak di sini?” Alih-alih menjawab pertanyaan dosen ganteng itu, Thea malah balik bertanya.
“Harusnya kamu yang menjawab pertanyaanku, bukan balik bertanya.”
Thea mendengkus sambil menatapnya kesal. Dosen satu ini memang visualnya menawan. Tubuhnya tinggi tegap, dengan tampang seperti gege China, mata setajam elang dan rambut belah tengah yang selalu tampil rapi. Namun, bibirnya masih saja sama pedasnya ketika mengajar di kelas.
“Saya … saya hanya sedang menemui orang, Pak.”
Alvan mengernyitkan alis sambil melihatnya tajam. Sementara Thea terdiam menatap tanpa kedip makhluk indah di depannya.
Kalau dilihat sedekat ini Alvan sangat tampan. Kenapa dia tidak ikutan casting film saja, malah nyasar menjadi tenaga pengajar di kampus?
“Orang siapa yang kamu maksud? Kamu itu sudah salah masuk kamar!!”
Thea terdiam sambil membaca pesan di ponselnya. Ia tidak salah kamar dan membaca dengan jelas. Jika kamar hotel yang ia tuju kali ini adalah tempat kliennya minta bertemu.
Selain sebagai mahasiswi, Thea punya kerja sambilan. Memang profesinya sedikit bersifat konotatif, tapi sebenarnya tidak seburuk itu.
“Kalau begitu, saya telepon dulu untuk memastikan, Pak.”
Alvan berdecak. Mereka masih berdiri di depan pintu kamar hotel dan sepertinya Alvan enggan untuk mengajaknya masuk.
Sementara itu Thea sudah melakukan panggilan. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi dering ponsel Alvan. Thea menoleh. Alvan segera melirik ponsel di sakunya.
Ia merogoh, mengambil ponsel kemudian terdiam lama. Sementara Thea meneruskan panggilannya hingga akhirnya ia sadar jika nomor yang ia hubungi adalah nomor ponsel Alvan.
“Jadi beneran Bapak yang pesan saya?”
Alvan tercengang kaget, kemudian dengan gerak cepat menarik tangan Thea mengajaknya masuk kamar.
Thea mengulum senyum sambil melirik Alvan. Sedangkan Alvan memilih memalingkan wajah dan berjalan menjauh menghindar dari Thea.
“Hmm … saya pikir Bapak gak tertarik sama perempuan, ternyata Bapak juga suka menggunakan jasa seperti ini.”
Alvan terkejut mendengar ucapan Thea. Ia menoleh cepat sambil memberikan tatapan sinis ke Thea. Thea pura-pura tak peduli.
Ia sudah melenggang santai, meletakkan tas, melepas blazer dan menyisakan tanktop hitam nan ketat dengan celana kain yang membalut tubuhnya. Dadanya terlihat penuh dan membentuk bulatan nan indah sangat serasi dengan pinggangnya yang ramping.
“Jadi, Bapak ingin apa?” Thea duduk dengan santai di atas kasur sambil menyilangkan kaki.
Alvan terdiam sambil mengamati. Matanya seolah menembus sampai ke tubuh Thea. Thea sudah biasa menghadapi tatapan pria seperti ini. Namun, entah mengapa ia jadi deg degan saat mata indah itu terus memandangnya.
“Jadi benar rumor di kampus. Kamu … wanita panggilan?”
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Alvan bersuara. Thea berdecak sambil menyugar rambut coklatnya.
“Iya, benar.”
Thea sudah lelah menghadapi rumor tentang dirinya di kampus. Untung saja sampai sekarang belum ada yang mempunyai bukti tentang kebenarannya. Padahal, ia punya alasan sendiri hingga melakukan hal ini.
“Layanan apa yang Bapak inginkan? Mau short time atau long time? Semua ada tarifnya, tapi karena saya kenal Bapak. Saya akan kasih spesial price, deh.”
Thea berkata sambil mengedipkan sebelah matanya ke Alvan.
Alvan berdecak, menggelengkan kepala lalu berjalan mendekat ke arahnya.
Thea tersenyum, menggeser duduknya saat pria itu sudah duduk di sampingnya.
“Kalau aku booking satu minggu berapa tarifnya?”
Mata Thea membola saat mendengar pertanyaan Alvan. Ia tersenyum, menggerakkan tubuhnya dengan gemulai sambil menatap penuh menggoda.
“Bapak beneran butuh banget, ya? Apa gak pengen dicoba dulu, Pak?”
Thea bertanya sambil mengelus paha Alvan yang berada dekat di sampingnya. Mata Alvan sontak turun melihat tangan Thea. Merasa ditatap dengan dingin, serta merta Thea menarik kembali tangannya.
“Eng … terserah Bapak, deh. Gak dicoba juga gak papa, yang penting Bapak suka.”
“Kalau satu minggu tinggal dikali saja, Pak. Bapak minta yang bagaimana?”
Alvan terdiam sejenak, kemudian kembali menatap Thea dengan tajam.
“Ya sudah, aku kasih 100 juta untuk satu minggu.”
Seketika Thea terperangah kaget. Mulutnya terbuka dengan mata melebar menatap Alvan tanpa kedip. Ia tidak pernah mendapat uang sebanyak itu untuk satu kali transaksi. Kenapa juga malah yang menjadi kliennya adalah dosennya sendiri?
“Berapa nomor rekeningmu? Aku transfer sekarang!!”
“Heh!! Be—beneran Bapak mau booking saya satu minggu?” Thea masih belum percaya. Ia yakin dosennya hanya sekedar bercanda.
Bisa jadi Alvan sedang menjebaknya untuk kemudian dilaporkan ke kampus. Lalu kalau sudah begitu, ia akan kehilangan beasiswa dan dikeluarkan dari kampus dengan mudah. Selama ini Thea kuliah di kampus ini melalui jalur prestasi untuk mahasiswa tidak mampu. Tanpa itu, mana mungkin ia bisa kuliah di kampus elit ini.
Alvan mendongak dan membuat mata mereka bertemu.
“Aku serius. Mana nomor rekeningmu?”
Thea tidak menjawab, hanya beberapa kali menelan saliva sambil menggelengkan kepala.
“Eng … gak usah deh, Pak. Saya … saya pulang saja. Kita cancel.”
Thea sudah bangkit, mengambil blazer dan tasnya sambil berjalan menuju pintu. Ia takut ini jebakan. Tanpa menunggu jawaban Alvan, Thea tergesa pergi.
Namun, tangan Alvan lebih cepat mencekal lengannya membuat tubuh Thea berputar dan mendarat di pelukan Alvan. Mereka berdiri saling berimpitan dengan tangan Thea menempel di dada bidang Alvan.
Mata mereka bertemu dan untuk beberapa detik terdiam. Hingga Alvan yang lebih dulu membuka suara.
“Kalau kamu menolakku, aku akan melaporkan aktivitasmu ini ke kampus dan aku rasa kamu tahu akibatnya.”
“Kamu dapat info dari mana?” tanya Erwin.Ia sangat terkejut begitu mendengar ucapan Erika. Mengapa juga wanita satu ini sangat ambisius mencari tempat tinggal Alvan. Ia tidak pantang menyerah dan berani melakukan segala cara.“Sudah, gak perlu kamu tanya aku dapat dari mana. Yang pasti infonya sangat akurat.”“Katanya Alvan sedang sibuk menyelesaikan lukisannya. Itu sebabnya ia sengaja pindah ke studio lukis dekat kampusnya.”“Sayang, aku belum kenal daerah sini. Itu sebabnya aku mengajak kamu, biar gak kesasar.”Erwin belum menjawab, tapi jakunnya naik turun sambil sesekali melirik Alvan yang duduk di depannya.“Eng … kalau sekarang aku gak bisa, Erika. Aku sedang menemui klien.”Erika berdecak keras sambil menggelengkan kepala.“Astaga, Win. Ini akhir pekan, kenapa juga kamu masih ngurusin kerjaan?”Erwin terkekeh sambil menggaruk kepalanya
“Bahkan ayahnya saja tidak mengakui, mengapa aku harus mengurusnya?”Suara parau dan sedikit bergetar terdengar keluar dari mulut sang Pria tua di depan jendela. Pria paruh baya yang berdiri di sampingnya terdiam. Bergeming di tempatnya sambil menundukkan kepala. Kemudian tanpa suara meninggalkan ruangan tersebut.Wajah pria tua yang tadinya menegang, perlahan melunak. Lalu dengan gerak slow motion, buliran bening dari sudut matanya luruh membasahi pipi. Ia menangis tanpa isak, merasakan kesedihan dan kesepian yang ia cipta sendiri atas nama sebuah ego.Pukul delapan pagi keesokan harinya, Thea sudah bersiap dan berdandan rapi. Ia tampak sibuk menatap lukisan buatannya. Hari ini ia akan bertemu dengan Erwin untuk melanjutkan pembahasan tempo hari.Alvan mengulum senyum melihat Thea yang bersemangat. Ini berbanding terbalik dengan sikapnya kemarin.“Babe, lukisanku gak jelek, kan?” tanya Thea.Alvan mendekat menatap lu
Erika terdiam, alisnya mengernyit dengan mata bertanya. Sementara Ina tergesa mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam tasnya dan menyodorkan ke Erika.“Apa benar yang sedang kamu bicarakan Pak Alvan Abiyya? Yang punya kartu nama ini?”Belum ada jawaban dari Erika, tapi tangannya terulur menerima kartu nama dari Ina. Mata Erika mengerjap beberapa kali sambil membaca kartu nama itu.“Dari mana kamu dapat kartu nama ini?”Erika mengabaikan suara di telepon dan kini malah sibuk bertanya ke Ina. Ina tersenyum lebar dengan mata berbinar.“Tentu saja dari Pak Alvan. Dia yang memberiku kartu namanya.”Erika terperanjat kaget. Ia tergesa mengakhiri panggilannya lalu menyimpan ponsel ke dalam tas. Harusnya ia meneruskan makannya, tapi Erika malah melipat tangan di atas meja dan menatap Ina dengan tajam.“Alvan yang memberimu kartu nama itu?”Ina tersenyum lebar. “Iya. Kami punya hub
“ALVAN!!!” seru Erika.Sayangnya suara Erika ditelan oleh hiruk pikuk ramainya suasana kafe, ditambah saat bersamaan live musik mulai mengudara.Alvan terus berjalan melangkah keluar dengan Thea dalam genggamannya. Erika mengikuti. Ia penasaran siapa yang bersama Alvan. Saat berjalan tadi, Alvan sengaja menempatkan posisi Thea di depannya. Sehingga tidak terlihat oleh Erika.BRAK!!!Karena tidak melihat jalan, Erika menabrak seorang pramusaji yang membawa baki berisi makanan dan minuman.“Maaf … saya minta maaf,” gugup Erika.Pramusaji pria itu hanya diam sambil menatap Erika dengan marah.“Anda pikir dengan minta maaf akan selesai masalahnya.”Erika terdiam sesaat, menelan saliva beberapa kali sambil mengangguk. Dia yang salah dalam hal ini. Karena tidak mau kehilangan Alvan, ia tidak memperhatikan jalan dan menabrak.“Saya akan ganti kerugiannya. Mana bosmu?”






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore