LOGINShen Liu Zi hanya menginginkan jenderal Shang! Dicampakkan dan diacuhkan sepanjang hari oleh jenderal Shang Que tak membuat perasaan cinta Shen Liu Zi padanya memudar. Hingga di hari perburuan tiba .... Jenderal bertanya, “Di mana istriku?” “Jenderal! Istrimu hilang di tengah hutan!” Satu tragedi mengubah segalanya!
View More“Jenderal belum juga terlihat?”
Entah sudah berapa kali Shen Liu Zi menanyakan hal yang sama. Dia gusar, dia gugup. Pagi tadi, dia dan jenderal Shang Que telah menikah. Dan menurut adat, mempelai pria harus menyibak tudung merah pernikahan mempelai wanita. Dengan begitu, kehidupan pernikahan mereka akan berjalan harmonis. Sayangnya hanya Shen Liu Zi yang menunggu! Dengan lilin pernikahan yang belum dinyalakan, dengan arak malam pertama yang masih penuh di cangkirnya dan tentunya dengan keberadaan jenderal Shang yang entah di mana. “Nyonya, sepertinya Jenderal Shang tidak akan datang.” Pelayan Shen Liu Zi menjawab lirih di balik pintu. “Kamu sebaiknya tidur saja.” Tangan Shen Liu Zi di pangkal paha langsung mengepal, tetapi sudut bibir di wajahnya perlahan-lahan terangkat. “Cari tahu situasi di luar, Yu Li,” suruh Shen Liu Zi. Yu Li; pelayan pribadinya segera pergi ke halaman depan. Dimana tempat itu tadinya menjadi lokasi pernikahan jenderal Shang Que dengan Shen Liu Zi, yang berlangsung meriah. Dihadiri banyak tamu penting, termasuk Kaisar serta Ratu kesayangannya. Kini tempat itu telah kosong. Meja-meja tidak lagi berada di tempatnya secara rapi. Kendi arak tergeletak di mana-mana, makanan khas pernikahan telah habis dikeroyok para tamu. Dan yang paling utama, jenderal Shang Que tidak ada di sana. Yu Li akhirnya kembali menghadapi Shen Liu Zi. Dengan suara merendah dia melapor, “Nyonya, Jenderal Shang Que tidak ada di halaman depan.” Shen Liu Zi tak bisa lagi menunggu! Wanita itu menyibak tudung merahnya sendiri, melemparkannya ke tempat tidur dengan dada naik turun berselimut kemarahan. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa, dia meninggalkan kamar, mengayunkan langkahnya ke arah halaman belakang kediaman. “Nyonya—” Yu Li memanggilnya khawatir. Shen Liu Zi melangkah mantap. Dia tahu persis kemana dia harus pergi untuk menemukan jenderal Shang. Dan begitu dia sampai …. Dugaannya tidak salah. Pria yang seharusnya melewati malam pertama bersamanya, kini malah berlutut di depan papan arwah. Tepatnya papan arwah Chu Qiao! Dada Shen Liu Zi bergemuruh hebat. Antara ingin menjerit, atau sekadar membiarkan air mata tumpah. Namun, tidak satu pun yang keluar. Yang ada hanya desiran amarah yang merayap naik dari perut, menyesakkan hingga tenggorokan. Jari-jarinya yang halus perlahan menggenggam sisi gaun, meremas kain halus itu hingga kusut. Kuku-kukunya nyaris menembus lapisan sutra, tetapi tubuhnya tetap tegak. Api kecil di lentera halaman berkedip-kedip di matanya, seolah menyalin amukan yang membara di dalam dada. Dia menatap punggung jenderal Shang Que lama, begitu lama sampai udara di sekitarnya ikut bergetar oleh panas yang tak kasat mata dari kecemburuan serta kehinaan yang sulit dibedakan. Lalu, perlahan tapi tegas, Shen Liu Zi berbalik. Langkahnya berat tapi berirama pasti. Setiap hentakan kakinya memantul di lantai batu, memecah keheningan malam dengan ketukan marah yang teratur. Pintu kamarnya terbuka keras ketika dia masuk. Cahaya dari lentera berayun kencang, menebarkan bayangan panjang di dinding. Tanpa ragu, Shen Liu Zi menarik pedang jenderal Shang yang terpajang di sisi kamar. Logamnya berkilau di bawah cahaya oranye, pantulan tajamnya mengenai mata Shen Liu Zi yang kini basah. Saat itulah tubuhnya mulai bergerak! Gerakan pedangnya cepat, berirama, seperti tarian yang dihafalnya sejak lama. Ujung bilah menebas udara, menimbulkan suara mendesing, memecah diam yang menyesakkan. Setiap ayunan disertai amukan yang tak terucap, amarah pada suaminya, pada arwah wanita itu, pada dirinya sendiri. Gaun pengantinnya yang merah berkibar, tersapu angin. Rambutnya terurai, menampar wajahnya sendiri saat dia berputar cepat, mengayunkan pedang sekali lagi dengan kekuatan penuh. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya pecah. Menetes tanpa suara, menyatu dengan keringat dan napas beratnya. Dan di tengah semua itu, hanya satu yang tertinggal di udara, yakni rasa hampa yang menggema, seperti luka yang tak bisa disembuhkan bahkan oleh ribuan tebasan pedang. “Nyonya.” Yu Li coba memanggil dari balik pintu. Tidak ada jawaban. Pedang di tangan Shen Liu Zi berputar sekali lagi. Tajam, cepat, dan berbahaya. Namun, di antara gerakan yang begitu terlatih, bilah itu tiba-tiba menukik terlalu dekat ke tubuhnya. Tangannya tergores! Sekejap kemudian, darah merah mengalir dari pergelangan tangannya, menetes ke lantai, membentuk garis kecil di atas ubin batu. Gerakannya berhenti seketika. Pedang itu masih tergenggam di tangannya, tapi bilahnya bergetar pelan, memantulkan cahaya lentera yang goyah. Beberapa helai rambutnya menempel di wajah, matanya menatap kosong ke depan, tanpa jeritan, tanpa gerak. Tidak ada reaksi sakit. Tidak ada keluhan. Hanya tatapan yang kosong dan dingin, seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah di tengah gelap. Darah di tangannya terus mengalir, membasahi gagang pedang hingga menetes ke ujung bilah, menciptakan suara kecil ketika jatuh ke lantai. “Demi membersamaimu, aku telah melatih diri berhari-hari, tapi kamu masih sama .... menjangkaumu sesulit menjangkau bulan.”Langit perlahan gelap. Jenderal Shang tiba di kediaman usai bertugas. Kuda hitamnya baru saja dibawa ke belakang oleh pengurus kuda, dan sekarang kepala Xun menyambutnya dengan kepala menunduk penuh hormat, lalu mengambil alih mantel yang jenderal Shang tanggalkan tanpa berkata apapun. Jenderal Shang melebarkan langkah melewati halaman depan. Kepala Xun mengikuti sambil melaporkan, “Hari ini Nyonya Shen menghabiskan waktunya di kediaman. Paginya sarapan, lanjut melihat-lihat ikan, santai-santai di bawah pohon prem, dan terakhir tidur sampai sekarang tidak lagi terlihat.” Jenderal Shang tidak mengatakan apapun, kecuali bergumam singkat, sekaligus mengisyaratkan kepala Xun meninggalkannya. Kepala Xun sangat mematuhi pria itu. Langkahnya terhenti, tubuhnya sedikit membungkuk, dan dia baru menegakkan punggung tatkala langkah jenderal Shang sudah jauh. Jenderal Shang tidak berjalan ke arah kamar sendiri! Dia menuju kamar Shen Liu Zi, tapi yang sekarang tengah berbaring di san
Satu dupa berlalu. Gang sempit itu tak lagi riuh. Yang tersisa hanyalah bau arak tumpah, kayu meja yang patah, dan tubuh-tubuh pria dewasa yang tergeletak tak beraturan, seperti sampah yang diseret lalu dibuang sembarangan. Ada yang setengah badannya terjulur ke tanah, sementara kedua kakinya masih menggantung di atas meja judi yang kini terbelah dua. Pria itu meringis, wajahnya merah kebiruan, napasnya putus-putus. Setiap tarikan udara terasa seperti siksaan. Tak jauh darinya, satu lagi tengkurap dengan mata terpejam. Mulutnya menganga, liur bercampur darah segar menetes di sudut bibirnya. Dadanya nyaris tak bergerak, entah pingsan atau sekadar tak sanggup membuka mata. Yang lain terlentang kaku, matanya terpejam rapat, napasnya tersengal pendek-pendek. Tangannya mencengkeram udara kosong, seolah masih mencoba meraih sesuatu. Dan tepat di tengah kekacauan itu— Brak! Satu tubuh lagi menghantam tanah dengan bunyi berat. Shen Liu Zi berdiri di atasnya. Satu kakinya menap
“Maaf, aku sudah bersuami.”Kalimat itu jatuh seperti pedang yang tak bersuara, tapi menghantam tepat ke dada pemuda di hadapan Shen Liu Zi.Atmosfer sekeliling seketika berubah.Hening.Telinga pemuda tadi mendadak berdenging, seolah semua suara pasar lenyap sekaligus. Teriakan pedagang, tawa anak-anak, bahkan derap langkah orang lalu-lalang, semuanya menguap begitu saja.Pemuda itu membeku.Wajahnya menggelap, bukan karena marah, melainkan karena sesuatu yang jauh lebih sunyi—kehilangan harapan. Cahaya di matanya yang barusan menyala penuh keberanian, padam tanpa sisa. Senyum semangat yang tadi tergurat samar di sudut bibirnya, entah sejak kapan sudah menghilang.Tangannya yang mengulurkan setangkai mawar merah beserta kantong wewangian bersulam halus perlahan turun.Turun begitu saja! Seolah-olah bunga itu ikut layu, berat oleh kenyataan yang baru saja menghantamnya.“Oh,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.Dia menunduk, memberi hormat dengan gerakan kaku. “Maafkan kelancangan
Hari berikutnya, di kediaman jenderal Shang.Sejak pagi, Shen Liu Zi sudah mencium firasat buruk.Dan firasat itu terbukti begitu dia melangkah ke luar dari kamarnya.“Nyonya Shen, silakan duduk.”Kepala Xun berdiri tegak di samping meja bundar rendah, sikapnya terlalu sopan untuk ukuran seseorang yang akan menyiksa orang lain dengan aturan.Di atas meja tersaji bubur lembut, sup bening, lauk kecil berwarna cerah, dan kue-kue mungil yang terlihat sangat tidak berdosa.Shen Liu Zi menatapnya berbinar. Dia sudah hendak duduk santai, menyingsingkan sedikit lengan bajunya.“Ehem, Nyonya.” Kepala Xun berdehem. “Punggung tegak. Bahu lurus. Duduklah seperti ini.”Shen Liu Zi menurut, meski punggungnya terasa pegal, tapi dia telah menguasai cara dudul ala bangsawan.“Sekarang, sumpit.”Begitu sumpit menyentuh jari Shen Liu Zi, naluri lamanya langsung bekerja. Tangannya bergerak cepat, hendak menyumpit lauk terdekat.Tok! Kepala Xun menahan sumpitnya dengan sumpit lain.“Tidak.”Shen Liu Zi












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore