"Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"
Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit. "Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?" Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai. Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di wajahnya, namun tidak sepenuhnya lunak. "Lo gak main-main, kan, sama gue?" tanya Claudia, suaranya sedikit melembut, meski tetap tak percaya penuh. “Enggak, kak. Gue udah ada cowok yang gue incer dari dulu, dan itu bukan Keenan," jawab Clara dengan suara lebih rendah, kali ini tulus. Rasa frustrasi di dadanya mulai memudar, tergantikan oleh rasa lelah menghadapi drama yang tak pernah benar-benar ia inginkan. Claudia menatap Clara, mencoba mencari kejujuran di wajahnya. "Terus, apa lo tahu Keenan deket sama siapa sekarang?" tanyanya, suaranya datar tapi penuh rasa penasaran. Clara menggeleng pelan. "Kita baru ketemu dua hari lalu," jawabnya. "Tapi, kalau nggak salah denger, dia cuma deket sama satu cewek di sekolah ini." Tatapan Claudia berubah tajam. "Siapa?" desaknya, nadanya menandakan kegelisahan yang semakin besar. Clara mengangkat bahu, tampak tidak terlalu peduli. "Gue gak inget namanya, tapi kalau kakak penasaran, kita bisa ke kelasnya sekarang." Claudia mengangguk singkat. Tanpa banyak bicara, mereka berdua keluar dari kelas, berjalan di lorong menuju kelas XI IPA 2. Langkah-langkah mereka bergema di lantai yang sepi, namun sebelum mereka sampai, bel tanda istirahat berakhir berbunyi, memecah kesunyian. Seketika, lorong sekolah dipenuhi oleh siswa-siswi yang bergegas kembali ke kelas masing-masing, menciptakan kerumunan yang sibuk. Di antara kerumunan itu, Clara dan Claudia melihat sosok yang sedang mereka bicarakan. Alsha, seorang gadis dengan rambut terikat rapi, sedang berdiri di depan pintu kelas XI IPA 2, asyik berbicara dengan Ghisel sambil memegang buku. Tawa kecil sesekali terdengar dari mereka, membuat suasana terasa ringan dan akrab. Namun, perhatian Clara tertuju ke arah lain. Keenan dan Kafka baru saja muncul dari arah tangga. Mata Keenan langsung mengarah ke Alsha, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang tak bisa disembunyikan. Ada sesuatu dalam tatapan itu, sesuatu yang membuat Clara sedikit tersenyum sinis. "Udah jelas, kan?" gumam Clara sambil menunjuk halus ke arah Keenan. "Katanya mereka temenan dari SMP, tapi keliatannya Keenan…" Kalimat itu terputus ketika Claudia, yang sedari tadi memperhatikan, tiba-tiba mengepalkan tangannya. Amarah jelas terpancar dari wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, dia berbalik dengan cepat, berjalan pergi, meninggalkan Clara berdiri sendirian di tengah kerumunan. Clara, tak terpengaruh oleh drama yang baru saja terjadi, hanya menghela napas panjang. Baginya, apa yang terjadi dengan Keenan dan Claudia bukanlah urusannya. Selama itu tidak menghalangi tujuannya mendekati cowok yang ia incar sejak lama, semua masalah ini hanyalah angin lalu. Di sudut lorong, Davin yang diam-diam memperhatikan semua kejadian ini tersenyum tipis. Matanya tertuju pada Claudia yang sedang bergegas pergi. Dalam pikirannya, satu hal menjadi semakin jelas, badai besar sedang mendekat. Tapi dia bukan satu-satunya yang melihat itu. Di ujung lorong, dua pasang mata lain mengintai dengan tujuan yang sama, namun dari sudut berbeda. Dari balik jendela kelas, tatapan tajam seseorang tertuju pada Claudia, matanya penuh perhitungan, seolah mengukur tiap langkah dengan hati-hati. Sementara di dekat tangga, bayangan lain berdiri dengan sikap gelisah, siap melangkah kapan saja. Meski posisi mereka berjauhan, kedua pasang mata itu terhubung oleh satu kesamaan. Mereka tahu, sesuatu yang besar akan terjadi, dan mereka tak bisa diam saja. Dengan gerakan halus namun mantap, mereka mengepalkan tangan. Keadaan di lorong sekolah yang semula hanya diwarnai keriuhan para siswa, kini terasa seolah dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mereka bersiap, bukan hanya untuk melihat, tapi untuk bertindak. Karena ketika badai menghantam, ada satu sosok yang harus dilindungi, dan mereka tahu waktunya semakin dekat. BERSAMBUNGKetika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba