"Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."
••• Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung. "Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada. Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikirannya. "Gue capek, Lys. Lo tau nggak sih, sia-sia banget gue maksain baca buku, capek-capek ngerti apa yang dia suka, biar bisa nyambung sama dia. Tapi apa? Dari tadi gue duduk di sebelah dia, dia bahkan nggak ngelirik sedikit pun. Asik sama bukunya sendiri!" ucap Clara dengan nada frustrasi, suaranya semakin meninggi di akhir kalimat. Elysia menatap sahabatnya itu dengan ekspresi penuh pengertian, menghela napas panjang. Dia tahu benar siapa 'dia' yang dimaksud oleh Clara. Sudah lama Clara jatuh hati pada seseorang yang, menurutnya, tak pernah melihat keberadaannya, sejak mereka duduk di kelas satu. Clara merosot ke kursinya dengan kasar, membiarkan tasnya terjatuh ke lantai tanpa peduli. Wajahnya semakin muram, mata berkilat marah namun juga putus asa. "Kapan sih dia bisa ngelirik gue! Dari kelas satu, Lys! Bayangin aja!" keluhnya dengan nada getir. Elysia baru saja hendak menenangkan Clara, tiba-tiba suara langkah-langkah mendekat membuat mereka menoleh. Tiga siswi dari kelas sebelah berjalan masuk ke XI IPA 1, langkah mereka mantap, seperti sedang mencari sesuatu. Clara dan Elysia saling bertukar pandang, bingung dan penasaran dengan kehadiran mereka. "Mana yang namanya Clara?" tanya salah satu dari mereka, suaranya datar tapi tegas. Clara mengangkat dagunya, meski wajahnya menunjukkan tanda ketidaksukaan. "Gue. Kenapa kak?" jawabnya, nadanya penuh tantangan. "Ikut kita," ucap salah satu siswi itu tanpa basa-basi. Clara menatap mereka dengan alis terangkat, jelas-jelas kesal. "Mau kemana kak?" tanya Elysia, yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Kita cuma punya urusan sama Clara," jawabnya singkat, tanpa memedulikan Elysia. Clara mendengus, mengambil tasnya yang terjatuh, dan dengan berat hati mengikuti langkah mereka. Elysia hanya bisa menatap punggung sahabatnya, merasa khawatir tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka membimbing Clara keluar kelas, melewati lorong-lorong sekolah yang tampak sepi di jam istirahat ini, hingga akhirnya mereka berhenti di depan kelas XII IPA 1. Di dalam, duduk seorang siswi dengan postur anggun, rambut hitam tebalnya dibiarkan terurai, dan tatapan matanya tajam, seakan menunggu sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang. Clara terdiam sesaat, menelan ludah ketika matanya bertemu dengan Claudia, siswi yang terkenal tak hanya karena kecantikannya, tapi juga karena kekuatannya mengendalikan segala sesuatu di sekolah ini. Meskipun hanya sekretaris OSIS, tapi Clara tahu betul bagaimana sikap seniornya itu. Claudia menatap Clara dengan dingin. Matanya mengisyaratkan ketegasan yang tak terbantahkan, seolah setiap gerakan dan kata-katanya direncanakan dengan hati-hati. "Duduk," ucapnya sambil melirik kursi kosong di sebelahnya. Suaranya rendah, tapi penuh otoritas. Clara, meski sering kali terlihat berani dan keras kepala, tak punya pilihan lain selain menurut. Ia melangkah perlahan menuju kursi itu, duduk dengan postur tegang. Ketiga siswi yang sebelumnya mengantarnya hanya memberikan tatapan sekilas sebelum meninggalkan kelas, membiarkan suasana canggung memenuhi ruangan. Kini hanya ada mereka berdua. Keheningan terasa berat, seperti kabut yang melingkupi setiap inci kelas XII IPA 1. Clara tahu pasti apa yang akan terjadi. Claudia selalu punya alasan, dan hari ini, alasan itu jelas. Keenan. BERSAMBUNGKetika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba