"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara
.
. .Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.
Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.
Keenan bergerak dengan cepat, tanpa peringatan menggenggam tangan Clara. Sentuhan tiba-tiba itu membuat tubuh Clara sedikit tersentak, tapi bibirnya menahan senyum kecil yang mulai merekah. Dia bisa merasakan degup jantungnya yang mendadak tak beraturan.
"Kita pacaran," ucap Keenan dengan suara rendah namun mantap, "jadi wajar kalau berduaan."
Kata-kata itu, meski terdengar santai, memiliki beban yang terasa kuat di udara. Clara melirik Keenan dari samping, jelas terkejut, tapi ada kilatan kegembiraan yang tersirat di matanya. Benarkah dia baru saja mengatakan itu? Dalam hatinya, dia berusaha mengatur luapan perasaan yang mendadak meletup-letup.
Claudia, dengan raut wajah yang kian mengerut, melontarkan tanya tanpa bisa menyembunyikan nada kesal di suaranya, "Sejak kapan?"
Keenan menghela napas pendek, lalu dengan sebuah anggukan kecil, dia menjawabnya, alisnya terangkat dengan sikap tak acuh yang membuat Clara semakin terpesona, "Harus banget lo tau kapan tanggal jadian kita?"
Nada bicaranya terdengar begitu santai, namun tetap tajam. Seolah dia tidak mau memberi Claudia sedikitpun celah untuk terus mengusiknya. Claudia mendengus, raut wajahnya semakin kesal, sebelum akhirnya dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan mereka di tengah hiruk-pikuk malam itu.
Clara menatap punggung Claudia yang semakin menjauh. Ada semacam kelegaan yang menyinggahi hatinya, tapi juga rasa penasaran yang menggelitik. Keenan... Kenapa dia melakukan itu? Perasaannya bercampur aduk antara senang dan bingung. Namun, sebelum Clara sempat berpikir lebih jauh, Keenan melepas genggaman tangannya.
"Ngapain lo bohong ke dia?" tanya Clara pelan, suaranya bergetar sedikit, mencoba memahami maksud dari tindakan Keenan tadi.
Keenan menatapnya sejenak, lalu menghela napas, "Sorry, gue tadi cuma gak suka dikejar-kejar terus sama senior itu." Ucapannya ringan, namun terdengar sedikit jengah, seolah masalah itu sudah membuatnya lelah.
Clara mengangguk pelan, meski dalam pikirannya kini berkecamuk berbagai pertanyaan. 'Ternyata anak ini populer juga di SMANDA,' batinnya. 'Sampai senior secantik itu ngejar-ngejar dia.' Ada rasa penasaran yang mendalam, perasaan yang muncul tiba-tiba tanpa disadarinya.
Keenan menoleh kembali, sorot matanya lembut namun tetap menyimpan jarak. "Lo masih betah di sini?"
Clara tersadar dari lamunannya. "Eh, iya. Kita belum ngapa-ngapain dari tadi, cuma keliling doang," jawabnya, meski dia tahu dalam hatinya, tempat ini bukan yang paling nyaman. Tapi, ada sesuatu tentang Keenan yang membuatnya ingin tetap tinggal. Bersamanya. Mencoba lebih dekat, mengenal sosok yang selama ini terasa jauh.
Clara menunjuk ke arah stand yang ramai. "Kita ke sana yuk! Kayaknya menarik."
Tanpa banyak kata, Keenan mengangguk. Mereka berjalan bersama, langkah mereka teriring oleh riuh rendah suara pasar malam. Ketika mereka tiba, seorang penjaga stand berseru semangat, "Ayo, siapa yang bisa menangin ini? Hadiahnya boneka dan buku best-seller!"
Clara menatap boneka besar yang dipajang. "Keenan, Lo bisa kan menangin itu buat gue?" Pintanya, setengah bercanda namun dalam hatinya berharap.
Keenan, tanpa bicara panjang, melangkah maju. "Gue mau coba," ucapnya singkat.
Penjaga stand itu tersenyum tipis, sedikit meremehkan. "Silakan, mas. Susah, lho. Daritadi belum ada yang berhasil."
Keenan diam, matanya fokus. Dia memegang tiga bola kecil di tangannya, matanya mengamati kaleng di kejauhan. Clara berdiri di belakangnya, penuh harap, "Lo pasti bisa!" serunya, senyum cerah menghiasi wajahnya.
Penjaga stand memberi aba-aba, "Satu... Dua... Tiga!"
Keenan, dengan gerakan cepat dan tepat, melempar bola-bola itu. Ketiganya masuk sempurna ke dalam kaleng. Orang-orang di sekitar bertepuk tangan, bersorak. Clara hampir melompat kegirangan, hatinya meledak dengan kebahagiaan kecil yang tulus.
"Mas, keren banget! Gak nyangka bisa berhasil," ucap penjaga stand, terkesan.
Keenan hanya tersenyum samar. Pandangannya beralih ke Clara. "Hadiahnya kasihkan ke dia," katanya lembut, suaranya datar tapi penuh makna.
Penjaga stand itu menyerahkan boneka besar berwarna pink dan buku bersampul biru muda. Clara menerima dengan senyum lebar, "Makasih!"
Clara menatap Keenan, senyum masih di wajahnya. "Nih, gue ambil bonekanya aja," katanya, sambil menyerahkan buku itu padanya.
Keenan mengangkat alis, sedikit heran, tapi menerima buku itu tanpa banyak berkata, membiarkan kehangatan kecil melintasi hatinya.
Clara melihat ke sekeliling, pandangannya tertuju pada bianglala yang berputar lambat di kejauhan. "Eh, naik itu yuk," ajaknya ringan, matanya berkilat.
Keenan menarik napas panjang, lalu mengangguk. Mereka melangkah ke wahana itu bersama, tanpa banyak kata.
"Mas sama mbaknya mau naik? Dua puluh ribu per orang," kata petugas di depan bianglala.
Clara melirik Keenan, yang tanpa bicara merogoh saku jaket jeans-nya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu. Dia menyerahkannya tanpa ragu.
"Ini kembalian, Mas," ucap petugas itu, tetapi Keenan menggeleng pelan.
"Enggak usah, ambil aja sisanya," jawabnya sederhana.
Petugas itu terkejut, tapi senyumnya mengembang. "Wah, seriusan? Makasih, Mas. Semoga kalian berdua langgeng, ya."
Keenan tak banyak merespons, hanya sedikit mengerutkan kening sebelum beralih menatap Clara. Gadis itu tampak sibuk mengamati sesuatu yang baru saja jatuh dari jaket Keenan.
Clara mendekat, matanya tertuju pada benda kecil itu. "Kalung ini milik siapa?" tanyanya pelan, suaranya terdengar ragu, hampir seperti bisikan.
Keenan melirik sekilas. "Oh, itu. Gue nemu di sekolah tadi," jawabnya singkat, nada suaranya tak berubah, seolah itu bukan hal yang penting.
Jari-jemari Clara memainkan bandul kalung itu, matanya mengamati setiap detail. "Ini huruf C, kan, ya? C untuk Clara. Pas banget." Ia tertawa kecil, meski dalam hati tahu, itu bukan huruf C. Bandul kalung itu sebenarnya bulan sabit, ditemani sebuah liontin kecil berbentuk bintang yang berkilauan di bawah cahaya lampu pasar malam. "Dan ini kayaknya emas, lho," lanjutnya, suaranya kini lebih lembut, seperti terpesona.
Keenan hanya memperhatikan sebentar. "Lo suka? Ambil aja," ucapnya, begitu saja, tanpa berpikir dua kali.
Clara terdiam, matanya membelalak sedikit, tak percaya. "Serius?" tanyanya pelan, seolah memastikan dirinya tak salah dengar.
Keenan mengangguk, tak ada yang berubah dari raut wajahnya. Pandangannya lalu beralih ke bianglala yang berputar pelan di kejauhan, siap untuk mereka naiki. Tanpa banyak bicara, mereka melangkah bersama menuju wahana itu, diiringi suasana malam yang hangat dan sunyi.
Setelah mereka duduk di kursi bianglala, dunia terasa melambat. Angin malam menyentuh lembut kulit mereka, sementara lampu-lampu pasar malam mulai tampak kecil dari ketinggian.
Sementara itu, di sebuah rumah bercat biru muda, seorang gadis mondar-mandir di kamarnya, gelisah. Sejak tadi sore, ia tak henti-hentinya mencari sesuatu yang hilang. Langkah-langkahnya semakin cepat seiring waktu yang berlalu, sementara rasa khawatir mulai merayapi hatinya.
"Gimana, Al? Udah ketemu?" suara Aline, teman baiknya, terdengar dari sudut ruangan, mencoba menenangkan.
Gadis itu menggeleng pelan. Sejak pulang dari toko buku, dia langsung mencari kalung kesayangannya, tapi hasilnya nihil. Semua sudut kamar, setiap laci dan lemari, sudah ia bongkar. Namun, kalung itu seolah menghilang tanpa jejak.
"Duh, Aline... kalungku jatuh di mana, ya?" ucap gadis itu sambil terduduk lemas di kursi panjang dekat jendela, tatapannya kosong.
"Coba diingat-ingat lagi, Al. Terakhir kali kamu pakai kalung itu di mana?" tanya Aline lembut, berusaha memberi harapan.
Gadis itu menghela napas panjang, frustrasi. "Aku nggak inget sama sekali, Lin. Tapi kamu yakin tadi waktu penjas, kamu masih lihat aku pakai kalung itu?" tanyanya, berusaha mengais-ngais memori yang terasa buram.
Aline mengangguk, yakin. "Iya, aku masih lihat kalung itu ada di lehermu," ucapnya.
Rasa cemas di hati gadis itu semakin dalam. Dia tak bisa mengingat kejadian selama pelajaran olahraga tadi, seolah semuanya kabur begitu saja.
"Tapi kamu udah coba cari di lapangan tadi?" tanya Aline lagi, suaranya pelan.
Gadis itu menggeleng pelan, tanda tak ada kesempatan untuk mencarinya saat itu. Aline menghela napas panjang, mengingat kembali kejadian tak terduga yang mereka alami tadi.
"Ya sudah, besok kita cari lagi di lapangan, ya," ucap Aline menenangkan, matanya penuh keyakinan.
"Aku bantu cari," tambahnya sambil tersenyum lembut, mendekat dan memegang pundak gadis itu dengan penuh dukungan.
Gadis itu mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. Bersama Aline, ia mulai membereskan barang-barang yang sempat ia bongkar, berusaha menata kembali kekacauan kecil di kamarnya.
Di sisi lain, Keenan sama sekali tidak sadar. Kalung itu, benda kecil yang dianggapnya sepele, sebenarnya adalah milik seseorang yang diam-diam dia cintai. Tanpa berpikir panjang, Keenan memberikannya kepada orang lain, tidak tahu bahwa keputusan sederhana itu akan mengguncang hidupnya suatu hari nanti.
Sering kali, hal-hal kecil membawa dampak yang besar, tanpa kita sadari, bukan?"Lo suka baca buku?" tanya Clara, mencoba memecah kesunyian di antara mereka. Ia memperhatikan bagaimana sejak tadi Keenan lebih tertarik pada buku yang dipegangnya daripada pada dirinya, padahal mereka tengah menikmati wahana bianglala bersama.
"Seperti yang lo liat," sahut Keenan, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku itu. Matanya terpaku pada halaman demi halaman, tenggelam dalam dunia kata-kata yang tak terlihat oleh Clara.
Clara tersenyum tipis, sedikit geli. "Gak nyangka, ternyata cowok sekeren lo juga suka baca." Meskipun ini bukan pertama kalinya ia menemukan cowok keren yang hobi membaca—di kelasnya, cowok yang ia taksir juga pecinta buku—ucapan itu hanya basa-basi. Ia hanya ingin menarik perhatian Keenan, berharap ada percakapan yang lebih mendalam.
Namun, Keenan tak menghiraukan perkataan Clara. Jari-jarinya dengan lincah membolak-balik halaman buku yang berhasil ia dapatkan dari permainan di pasar malam tadi. Pikirannya sibuk mencerna setiap kata, setiap kalimat.
'Buku ini...' batin Keenan. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dari sekadar cerita. Ia membalikkan cover buku itu, matanya menelusuri sinopsis singkat yang tertera di belakang. Buku itu mengisahkan tentang perasaan seorang laki-laki terhadap gadis yang telah lama ia kagumi—gadis yang selalu ada di sisinya, tapi dia belum cukup berani untuk menyampaikan isi hatinya. Melalui buku itu, si laki-laki berharap bisa memberi tanda, sebuah isyarat, agar gadis itu sadar akan perasaannya yang mendalam.
Keenan tersenyum tipis, namun bukan untuk Clara.
'Buku ini cocok buat Sheena,' batinnya. Ia tahu, buku ini akan menjadi jembatan yang membantunya menyampaikan perasaan yang telah lama ia simpan. Tanpa perlu banyak kata, tanpa harus berhadapan langsung dengan kegugupan yang kerap menghantuinya tiap kali melihat gadis yang ia dambakan.Clara tetap menunggu jawaban atau setidaknya perhatian dari Keenan, tapi malam itu, pikiran Keenan berada di tempat lain—pada seseorang yang bukan Clara.
BERSAMBUNG
Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba