Home / Young Adult / About Keenan / Bab 9. Sempurna

Share

Bab 9. Sempurna

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-15 21:52:27

"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara

.

.

.

Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas.

"Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.

Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa.

"Gimana? Sudah akrab?" tanya ayah Clara sambil tertawa, memecah keheningan. Suaranya disambut tawa kecil dari orang tua Keenan, namun di antara mereka, hanya Keenan yang tersenyum tipis—senyum yang nyaris tak berarti. Senyum yang jelas-jelas dibuat-buat. Di sebelahnya, Clara terdiam, bibirnya mengerucut kecil, sorot matanya menyiratkan rasa kesal. 

Ayah Clara merangkul pundak putrinya dengan lembut. "Clara, ini sudah malam. Kita pulang, ya? Kalau kalian mau ngobrol lagi, tukeran nomor HP saja nanti."

Clara mengangguk pelan, matanya melirik Keenan yang tetap terdiam, dingin dan tak beranjak. Setelah beberapa saat, mereka berpamitan. Suasana terasa semakin dingin saat mobil ayah Clara mulai menjauh, meninggalkan jejak remang lampu di jalan.

Saat pintu rumah terbuka, ibu Keenan lebih dulu masuk, tapi ayahnya, Rama, masih berdiri di beranda. Tatapannya tak pernah lepas dari putranya, seolah mencari sesuatu yang hilang dalam keheningan malam itu. Keenan mendekat, matanya menatap kosong ke depan.

"Papa puas malam ini?" tanyanya pelan, hampir tanpa emosi. Tak menunggu jawaban, Keenan melangkah masuk ke dalam rumah.

Rama hanya diam, melihat punggung putranya yang semakin jauh. Matanya menyipit sedikit, alisnya terangkat dalam kebingungan. Tapi senyum tipis perlahan menghiasi wajahnya, senyum yang menyimpan sejuta tanya. Tanpa suara, ia ikut masuk.

Saat Keenan melangkah masuk ke kamarnya, suasana hening menyambutnya. Matanya segera mencari sosok adik kecilnya yang biasanya selalu ada di sana. Namun, kosong. Tempat tidur rapi, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Kavin.

"Kavin mana, Ma?" tanyanya kepada sang ibu yang masih sibuk di ruang makan, merapikan sisa hidangan dari malam ini, makanan yang disajikan untuk Clara dan ayahnya.

"Udah tidur, tadi dia ketiduran di kamar kamu, jadi Mama pindahin ke kamar Mama," jawab ibunya, suaranya lembut namun terkesan terburu oleh tugas-tugas yang masih tersisa.

Tanpa berkata lagi, Keenan langsung menuju kamar ibunya. Di sana, dia menemukan Kavin, adik kecilnya, tertidur pulas di atas ranjang. Wajah polos itu begitu damai, tidak terpengaruh oleh kesibukan malam di sekitarnya. Kavin memeluk erat ponsel milik Keenan di dadanya, seolah benda itu adalah harta karunnya.

Senyum tipis muncul di wajah Keenan. Ada sesuatu yang hangat mengalir dalam hatinya saat melihat pemandangan itu. Dengan hati-hati, dia meraih ponselnya dari genggaman Kavin, berhati-hati agar tidak mengganggu tidur nyenyak adiknya. Setelah itu, dia membungkuk sedikit dan mengecup lembut kening Kavin.

"Tidur yang nyenyak ya, adik kesayangan Kakak," bisiknya.

Matanya menatap wajah Kavin yang masih terlelap, begitu damai, begitu jauh dari segala hiruk pikuk yang kini merongrong pikiran Keenan. Sejenak, dia menghela napas panjang, merasakan beban yang berat di dadanya sedikit mereda. Setelah beberapa detik yang terasa abadi, dia bangkit perlahan, menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan adiknya dalam mimpi-mimpi yang tenang.

"Mau ke mana lagi?" Suara ayahnya, Rama, terdengar dari ruang tamu. Sorot matanya tajam menatap punggung Keenan yang buru-buru menuju pintu.

"Keluar bentar," jawab Keenan singkat, tanpa menoleh. Suara pintu yang tertutup disusul deru motor yang menggelegar, melesat cepat menembus malam.

Rama hanya menghela napas, lama. Pandangannya kosong menatap pintu yang baru saja ditutup anaknya. "Anak itu... kapan dia bisa berubah?" ucapnya dengan kesal.

"Namanya juga masih anak-anak. Nanti kalau sudah dewasa, pasti berubah." Istrinya, yang baru saja keluar dari dapur, duduk di sebelahnya. Tangannya penuh dengan kehangatan, namun tak pernah cukup untuk mencairkan suasana dingin yang sering menyelimuti rumah itu.

Rama mengangkat kedua alisnya, tak puas dengan jawaban itu. "Anak-anak apanya? Dia bentar lagi udah mau kelas tiga SMA." ucap Rama, ada nada geram dalam suaranya, ketidakpuasan yang terus menggunung.

Istrinya tersenyum kecil, berusaha menyentuh dengan lembut. "Coba kamu nasihatin dia pelan-pelan, pasti bisa, Sayang."

Rama menggerakkan bahunya, tak sabar. "Kenapa jadi aku? Itu kan tugas kamu sebagai ibu!"

"Aku sudah sering nasihatin dia, tapi nggak mempan. Coba kamu yang bicara. Kadang, anak laki-laki lebih dengar kalau ayahnya yang ngomong," ucap istrinya, kali ini suaranya lebih lirih, penuh harap.

Tanpa diduga, Rama membanting remote televisi yang sedari tadi ia pegang. Suara itu menggema di ruang tamu, membuat istrinya tersentak. "Kok jadi nyuruh aku? Aku ini suami kamu!" bentaknya, penuh amarah yang sudah terlalu lama tertahan.

Istrinya mencoba meraih tangannya, mencoba meredakan suasana. "Sayang, bukan gitu maksud aku..." suaranya bergetar, penuh kelembutan yang hanya dipahami oleh hati yang rapuh.

Tapi Rama menepis tangan itu. Dengan kasar, ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah dengan langkah berat yang meninggalkan jejak kekecewaan. "Sudahlah, aku mau tidur!" Bentakannya menggantung di udara, dingin, menusuk.

Istrinya hanya bisa menatap punggungnya suaminya. Matanya berkaca-kaca, berusaha memahami mengapa setiap kata yang ia ucapkan selalu salah di hadapan Rama.

Begitulah hari-hari mereka. Di hadapan Rama, semuanya serba salah. Terutama istrinya, yang tak pernah bisa berkata dengan benar di matanya. Keenan pun tumbuh di tengah amarah yang sama, membeku. Jauh dari kasih sayang ayah yang seharusnya melindungi, jauh dari kehangatan yang seharusnya mereka bagi.

Keenan tiba di depan markas, matanya menatap gedung sederhana itu. Cahaya dari lampu neon berwarna hangat menyinari jalanan yang sepi, membuat bayangan samar dari sepeda motornya memanjang di lantai aspal. Dia masuk tanpa suara, langkahnya berat, meskipun tak ada yang berubah dari tempat ini. Teman-temannya sudah berkumpul. 

"Panjang umur, baru aja diomongin," Abhi bercanda dengan santai, kedua tangannya sibuk memegang wadah camilan. Tapi Keenan hanya diam. Tanpa sepatah kata pun, ia meraih bola basket yang tergeletak di lantai, seolah menunggu untuk disentuh. Bola itu dilemparnya ke arah ring yang terpasang di dinding, bunyi gesekan bola dengan jaring menggema di ruang yang sunyi.

Satu lemparan masuk, lalu satu lagi, namun setiap kali bola itu melewati ring, tak ada rasa lega yang mengikuti. Seakan-akan setiap lemparan hanya menambah beban di dadanya. Wajahnya tetap kaku, tak menunjukkan ekspresi apa pun, pikirannya terperangkap di dalam ancaman perjodohan yang disampaikan ayahnya. Tekanan yang tak terkatakan menyesakkan ruang antara mereka, mengisi markas dengan keheningan yang tak biasa.

Kafka, Abhi, dan Nevan saling melirik, paham tanpa perlu berbicara. Mereka sudah mengenal Keenan cukup lama untuk tahu bahwa saat dia seperti ini, lebih baik membiarkannya sendiri. Mereka membisu, menunggu badai berlalu, meskipun tak ada yang tahu kapan itu akan terjadi.

Setelah beberapa kali membanting bola ke dalam ring, Keenan akhirnya berhenti. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan fisik, melainkan dari perasaan yang tak kunjung lepas dari benaknya. Dia melempar bola sembarangan, membiarkannya menggelinding tanpa arah. Tanpa melihat ke arah teman-temannya, Keenan keluar dari ruangan itu, kembali melaju dengan motornya, seakan angin malam bisa membantunya menghilangkan kekacauan di pikirannya.

Abhi menghela napas panjang, melemparkan pandangannya ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Keenan. “Kenapa lagi, dah, Pak Ketu...” gumamnya, sedikit cemas namun juga lelah, sambil memandang gorengan yang sejak tadi ditinggalkannya. Nafsu makan Abhi hilang sesaat oleh sikap Keenan yang begitu tegang, seakan ada awan gelap yang menutupi mereka malam ini.

Nevan datang menghampiri, mengambil gorengan itu tanpa basa-basi. "Entah," jawabnya sambil mengunyah dengan tenang, tidak terpengaruh oleh suasana yang menggelayut. Abhi melotot ke arahnya, tapi tak ada kemarahan yang benar-benar muncul. Semua tahu, pada akhirnya Keenan akan kembali, mungkin dengan suasana hati yang lebih baik, mungkin juga tidak.

Kafka menghentikan pukulannya di heavy bag yang baru saja dia pasang di pojok markas. Gerakan tangannya terhenti, matanya mengarah ke pintu yang baru saja dilewati Keenan, kini hanya menyisakan keheningan yang menggantung. Keringat masih menetes dari pelipisnya, mengalir ke dagu, tapi pikirannya tak lagi tertuju pada latihan. Sejak kecil, selain basket, Kafka juga menyukai boxing. Bukan untuk menjadi petinju, hanya untuk mengisi kekosongan yang sering kali ia rasakan. Sebuah pelarian, sebuah cara untuk berdiam dalam kesibukan, meski sesungguhnya, jiwanya selalu merindukan keheningan.

Dia melepas kain yang melilit kedua tangannya dengan cekatan, lalu mengambil botol air mineral di samping Abhi. Tanpa sepatah kata, Kafka berjalan keluar, meninggalkan markas dan teman-temannya yang masih memandang heran.

"Lo juga mau kemana, Kaf?" Nevan bertanya, suaranya sedikit penasaran namun tak terlalu berharap jawaban.

"Nyusul Keenan, kalian di sini aja," sahut Kafka singkat, sambil berlari keluar. Setengah botol air diminumnya dengan cepat, lalu sisa air itu disiramkan ke rambutnya, seolah berusaha menghilangkan sisa-sisa keringat yang masih menempel. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa sedikit rasa segar yang perlahan melarutkan kelelahan yang dirasakannya.

Di dalam, Abhi menghela napas panjang, matanya menatap camilan yang tergeletak di meja. "Berarti ini semua buat kita, dong," katanya sambil tersenyum tipis, nada suaranya seolah berusaha mencairkan suasana yang sempat tegang.

Nevan mengangguk sambil mengambil gorengan lagi, tangannya bergerak dengan malas, namun matanya tetap tertuju pada layar ponselnya. "Gas dah, habisin," ujarnya santai, sementara tubuhnya semakin tenggelam di sofa yang sudah lelah menopang berat malam.

Sementara itu, Keenan melaju pelan, motornya merayap di malam yang gelap saat dia tiba di depan rumah gadis itu. Pemandangan yang sering ia kunjungi selama tiga bulan terakhir ini tetap sama, tak ada perubahan, hanya kesan yang indah. Dengan penuh kehati-hatian, Keenan memarkirkan motornya agak jauh, berusaha menghindari perhatian yang tidak diinginkan.

Dia turun dari motornya dan mendekat ke pagar rumah, sebuah kebiasaan yang tak pernah berubah sejak awal mula dia sering berkunjung ke tempat ini. Setiap malam, dia melakukan hal yang sama, mengamati dari kejauhan, menikmati ketenangan yang hanya bisa dia rasakan di sini. 

Gadis itu, dengan senyum lembut yang tak pernah pudar dari bibirnya, berdiri memandangi langit malam. Rambutnya yang terurai melambai lembut diterpa angin, menciptakan pemandangan yang mampu menyentuh hati setiap yang memandang, meski sederhana namun mampu membuat Keenan terpesona.

"Sempurna," bisik Keenan pada dirinya sendiri. Matanya masih tak bisa lepas dari gadis itu.

Keenan menghela napas panjang. Tiba-tiba ada dorongan dalam dirinya yang semakin menguat. Perasaan yang kian sulit dia pendam. 

Seolah langit malam ini pun turut mendukung keputusannya untuk akhirnya meluapkan semua rasa yang selama ini ia sembunyikan.

Keenan berbalik untuk pergi, mencoba menghindari perasaannya yang kini masih takut ia ungkapkan, namun langkahnya terhenti saat melihat Kafka berdiri di hadapannya, menatap Keenan dengan heran sekaligus penasaran.

"Gue kira cuma markas yang lo anggap tempat pelarian. Ternyata ada tempat lain juga,"

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status