Beranda / Young Adult / About Me: Alshameyzea / Bab 5. Dingin dan Harapan

Share

Bab 5. Dingin dan Harapan

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-21 05:02:38

"Yang dekat belum tentu akan melekat. Yang berjarak pun belum tentu akan mendura. Tapi yang sudah menjadi takdirnya pasti akan mengikat." -Alshameyzea Afsheena

°°°°

Sebelum bel berbunyi, aku melangkah keluar dari kelas sejenak. Rasanya butuh waktu sebentar untuk melepaskan diri dari ruangan yang akan penuh dengan hitungan dan angka. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat sampah di sudut koridor, meraut pensil yang mulai tumpul. Sambil melakukannya, pikiranku melayang ke pelajaran matematika yang sebentar lagi dimulai. Tak hanya soal-soal yang melintas di kepala, tapi juga hal-hal lain yang akhir-akhir ini sulit untuk aku hindari.

Tiba-tiba, suara yang familiar mengusik keheningan pagi. "Sorry, Sheena. Semalam aku nggak jadi ke rumah kamu," suara Keenan, lembut tapi jelas, membuatku terkejut. Aku menoleh pelan ke arahnya. Dia berdiri di sampingku, sosoknya tiba-tiba begitu dekat. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuat suasana menjadi canggung, meski kami sudah lama saling kenal.

Aku tersenyum tipis, lebih karena refleks daripada perasaan sesungguhnya.

"Kamu nggak nungguin aku, kan?" tanyanya lagi, nadanya seperti ingin memastikan sesuatu.

Aku menggeleng cepat, meski dalam hati, aku tahu jawabannya berbeda.

"Enggak kok," jawabku singkat. Mungkin aku memang menunggunya, atau mungkin aku hanya menunggu sesuatu yang tak pernah benar-benar jelas.

Keenan tampak lega, senyumannya muncul begitu saja, membuat suasana sedikit lebih ringan. "Syukurlah. Mungkin lain kali aku akan benar-benar main ke rumah kamu," ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih santai.

Aku hanya mengangguk, kembali menunduk, mencoba fokus lagi pada pensil di tanganku yang belum sepenuhnya terasah. Tapi percakapan itu terasa belum selesai.

"Sheena..." panggilnya lagi, kali ini suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, dan melihat Keenan melangkah mendekat. Ada sesuatu dalam cara dia mendekat yang membuat jantungku berdegup sedikit lebih cepat.

"Akhir-akhir ini, aku perhatiin kamu tambah cuek ke aku," katanya pelan, tapi tegas. Matanya menatapku penuh perhatian, mencari sesuatu di wajahku yang mungkin tidak bisa aku sembunyikan lagi. "Apa karena semenjak... kejadian di taman belakang waktu itu?"

Aku terdiam sejenak, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara di antara kami. Pikiranku kembali ke hari itu, saat semuanya terasa sedikit rumit.

"Enggak kok, Keenan," jawabku, berusaha menenangkan suasana, meski suaraku sedikit bergetar. "Aku nggak cuek."

Tapi entah kenapa, kata-kata itu terdengar kosong. Aku sendiri masih belum yakin apa yang berubah, atau mungkin, aku hanya takut mengakuinya.

Keenan menatapku dengan lebih serius. "Sheena, aku harap kamu nggak menjauh gara-gara kejadian itu," ucapnya, suaranya terdengar lebih dalam. "Kita udah lama kenal, aku nggak mau ada jarak di antara kita."

Kata-katanya itu menyentuh sesuatu yang sudah lama aku pendam. Aku mengerti apa yang dia rasakan, tapi ada juga sesuatu yang aku sendiri masih mencoba pahami. Sesuatu yang membuatku mundur, perlahan tapi pasti.

"Setidaknya beri aku kesempatan buat ngebuktiin omonganku waktu itu," lanjutnya, matanya sekarang menatapku dengan ketulusan yang tak bisa aku abaikan. Jantungku berdegup semakin cepat, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara, ketegangan yang entah kenapa terasa begitu berat.

Namun, sebelum aku bisa menemukan kata-kata yang tepat, bel sekolah berbunyi keras, memecah keheningan dan memutus momen itu.

KRING! KRING! KRING! Suara bel itu membuat kami berdua tersentak, seolah menarik kami kembali ke realitas yang lebih biasa. Aku melihat ke arah Keenan, dan dia hanya tersenyum kecil, seolah mengerti bahwa percakapan ini belum selesai, tapi mungkin memang bukan saatnya untuk menyelesaikannya sekarang.

Dalam keheningan itu, aku mulai memahami sesuatu yang sebelumnya tak kusadari. Proses penyembuhan, baik dari luka hati maupun keraguan dalam diri, ternyata bukan soal seberapa cepat kita menemukan jawaban. Ada hal-hal yang perlu waktu untuk perlahan-lahan terurai, seperti rasa yang masih mengambang di antara kami, seperti pertanyaan yang belum terjawab dalam hati.

Pikiran itu muncul ketika aku meraut pensil tadi. Awalnya, pensil itu tumpul, dan aku tak bisa langsung membuatnya tajam. Butuh waktu, lapisan demi lapisan, sebelum akhirnya aku bisa melihat ujung yang jelas. Dan aku menyadari, begitulah hidup ini. Kadang, kita harus sabar menunggu hingga semua menjadi jelas. Perasaan, hubungan, bahkan luka. Semuanya membutuhkan proses. Tak ada yang instan, tak ada yang bisa dipaksa.

Mungkin, seperti halnya pensil itu, hubungan ini juga perlu waktu untuk menjadi lebih tajam, lebih nyata. Perasaan yang belum terucapkan butuh dipahami perlahan, tanpa terburu-buru. Dan dalam proses itu, aku belajar menerima bahwa tidak apa-apa jika belum ada jawaban sekarang. Seiring berjalannya waktu, semuanya akan menjadi lebih jelas, dan aku akan siap menghadapi apa pun yang datang.

---

Aline menggigit basreng dengan rakus di sofa ruang tengah, sementara matanya sesekali melirik ke arahku yang sedang tenggelam dalam buku. Dengan suara yang sedikit tersendat karena mulutnya penuh, dia bertanya, "Al, apa bener yang dibilang Bu Sri waktu itu? Kamu jadi kandidat Ketua OSIS?"

Aku hanya menoleh sekilas sambil tersenyum kecil. "Iya, bener. Kenapa? Kamu mau gantiin aku?" candaku, mencoba mengalihkan ketegangan dalam pikiranku, meski ada bagian dari diriku yang masih bimbang dengan pilihan ini.

"Enak aja, aku cuma nanya doang." Aline melotot, tapi aku tahu dia hanya bercanda. Dia selalu begitu, spontan dan blak-blakan, sesuatu yang kadang aku iri karena aku sendiri sering menyimpan perasaan dalam diam.

"Sebenernya, aku lebih suka jadi siswa yang biasa-biasa aja," ucapku pelan, seolah berbicara pada diri sendiri.

Aline menatapku lebih dalam, ekspresi wajahnya berubah lembut. "Iya, aku paham. Kamu tuh gak suka ribet, kan? Tapi, kadang semesta punya rencana lain. Mau gak mau, kamu harus hadapi."

Aku terdiam, membiarkan kata-katanya meresap. Betapa benar apa yang dia katakan. Terkadang, hidup membawa kita pada situasi yang tidak kita inginkan, namun mungkin itu adalah bagian dari proses pertumbuhan yang harus kujalani. Aku menoleh padanya, memberi senyum tipis, merasa beruntung punya teman yang benar-benar memahami tanpa harus banyak kata.

Aline melanjutkan, kali ini dengan nada prihatin, "Ditambah lagi, kamu harus berbaur dengan anak kelas sebelah."

Aku tersenyum pahit. Sebagai seseorang yang tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang baru, hal itu memang terasa berat. Ada ketakutan akan penolakan, ada kecemasan menghadapi dunia yang lebih luas dari lingkaran nyaman yang selama ini kubuat. Rasanya seperti memulai lagi dari awal, dan itu sungguh melelahkan.

Aline, yang tampaknya merasakan kekhawatiranku, mengalihkan topik dengan semangat. "Tadi ada dua cowok yang dipanggil, kan? Mereka... ganteng nggak?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu.

Aku tersenyum kecil, sambil meraih basreng di tangannya. "Gosip dari mana lagi nih?" tanyaku, mencoba membalas energinya yang ceria.

"Aku denger dari temen-temen. Katanya mereka bakal mewakili sekolah di olimpiade. Arshaka dan Rey. Sering banget diomongin karena mereka pinter dan ganteng. Apalagi yang namanya Arshaka, beuh!."

Mendengar nama itu, hatiku sejenak bergetar. Aku tak begitu mengenal mereka, tapi mendengar bagaimana orang lain begitu tertarik pada mereka membuatku berpikir. Bagaimana mungkin aku tak pernah memperhatikan? Mungkin karena selama ini aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, terlalu fokus pada dunia kecilku, hingga tak peduli pada apa yang ada di sekitarku.

"Kenapa emangnya dengan cowok yang namanya Arshaka?" tanyaku tanpa berpikir panjang, meskipun aku sendiri merasa sedikit aneh dengan pertanyaanku. Mungkin karena ada rasa ingin tahu yang tak kusadari sebelumnya.

Aline tertawa kecil, "Karena dia katanya pernah jadi rebutan senior. Eh, siapa ya namanya? Ah, lupa. Pokoknya dia deket sama ketua OSIS sekarang."

Aku menatapnya bingung, tak tahu harus merespons apa. "Aku nggak tahu siapa mereka," kataku jujur. Rasanya seolah aku adalah orang luar dalam kisah ini, seseorang yang hanya melihat dari jauh tanpa benar-benar terlibat.

Aline melotot, "Loh?! Kok bisa nggak tahu? Kan tadi ketemu."

Aku mencoba memutar ulang kejadian sebelumnya di benakku, tapi tak ada sosok cowok yang jelas dalam ingatanku. "Yang datang cuma aku, Ghisel, dan dua siswi dari kelas sebelah. Nggak ada cowok sama sekali. Mungkin..." ucapku setengah mengambang, tapi sebelum bisa melanjutkan, ponselku bunyi, memotong aliran pikiranku.

TING!!! Suara notifikasi itu bergema di ruang tamu, seakan ikut menuntut perhatian.

"Mungkin apa, Al?" tanya Aline, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. Tapi aku hanya terdiam. Fokusku berpindah sepenuhnya ke layar ponsel di tanganku. Aku bisa merasakan jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Ada sesuatu yang berbeda dengan pesan ini.

+628*******: Hai, Sheena.

+628*******: Coba tebak aku siapa.

Aku membaca pesan itu dengan hati-hati, dan tanpa kusadari, senyum tipis muncul di sudut bibirku. Pesan yang selama ini aku tunggu akhirnya tiba. Seperti secercah cahaya di hari yang kelabu, notifikasi itu membawa rasa hangat yang merembes perlahan ke dalam pikiranku.

Aline tiba-tiba berteriak, membuyarkan lamunanku. "ALSHA!"

Aku tersentak, tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar begitu saja. "Iya, Aline yang cantik. Ada apa?" tanyaku dengan nada bercanda, mencoba menutupi kegugupanku.

Aline memutar matanya, jelas tidak puas dengan responsku. "Tumben banget muji-muji gitu. Kamu kenapa sih? Kok aku malah dicuekin," katanya, sedikit kesal, tapi masih dengan nada yang ringan.

Aku tersenyum lagi, tapi kali ini lebih pada diriku sendiri. "Enggak. Ini cuma ada pesan dari..." aku menggantungkan kalimatku, tiba-tiba merasa ragu untuk mengungkapkan lebih lanjut. Pesan itu terasa pribadi, sesuatu yang ingin kusimpan untuk diriku sendiri, setidaknya untuk saat ini.

Aline tidak membiarkan aku lolos begitu saja. Dia menatapku dengan penuh selidik. "Jangan bilang kalau itu dari Keenan!" serunya dengan ekspresi terkejut.

Aku mengangguk pelan, dan dia langsung menyambar, "Denger-denger, Keenan itu kalau di luar sekolah nakalnya bukan main, lho."

Aku tertegun sejenak. "Ih, kenapa kamu bilang gitu?" tanyaku, sedikit kaget dengan tuduhannya.

"Ya ampun, dibelain. Jangan-jangan kamu mulai suka, nih. Aduh, Alsha, serius deh. Aku nggak merestui," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan nada bercanda, tapi aku tahu dia juga sedikit serius.

Aku menatapnya, mencoba mencerna apa yang barusan dia katakan. Namun, dalam keheningan yang tiba-tiba, aku sadar bahwa bukan gosip tentang Keenan yang benar-benar mengganggu pikiranku. Rasanya, percakapan ini, notifikasi yang baru saja kuterima, semuanya adalah pengingat bahwa hidup kadang berjalan dengan caranya sendiri, mengalir tanpa harus kita pahami sepenuhnya di setiap detiknya.

Pesan itu, meski singkat, membuatku berpikir tentang banyak hal yang belum selesai dalam diriku. Tentang perasaan-perasaan yang mungkin belum sepenuhnya kuterima atau bahkan belum kusadari. Seperti halnya Keenan yang tampak berbeda di mata orang lain, aku juga mungkin masih mencari cara untuk mengenali diriku sendiri, di antara semua hal yang terlihat di luar dan yang tersembunyi di dalam.

"Tapi bukannya kamu sendiri bilang kalau Keenan itu baik?" tanyaku, mencoba mengingat apa yang pernah dia katakan tentang Keenan sebelumnya.

Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Ya, baik sih, tapi..." kalimatnya menggantung, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang belum dia ungkapkan.

Aku tersenyum, mencoba menenangkan suasana. "Sudahlah, Aline. Nggak baik ngomongin orang. Apalagi berdasarkan asumsi," kataku dengan lembut, lebih untuk mengingatkan diriku sendiri daripada dia.

Aline merengut, wajahnya berubah sedikit cemberut. "Ih, kamu tuh, Al. Dibilangin nggak percaya," gumamnya sambil bersandar lebih dalam di sofa.

Aku hanya menghela napas pelan. Di tengah percakapan yang sepertinya sederhana ini, aku tiba-tiba merasa seperti sedang melihat ke dalam diriku sendiri. Setiap kata, setiap reaksi, seolah mencerminkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan dua sahabat. Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah, tapi tentang bagaimana kita terkadang begitu terjebak dalam asumsi, prasangka, dan ketidakpastian. Tentang bagaimana kita sering lupa bahwa setiap orang punya sisi yang tak terlihat, sesuatu yang tak bisa kita pahami hanya dari permukaan.

Aku sadar, selama ini aku sering bersembunyi di balik senyum dan canda, padahal di dalam, ada begitu banyak hal yang tak tersampaikan. Sama seperti Keenan, atau mungkin siapa pun yang aku temui dalam hidup ini, kita semua menyimpan bagian diri yang tidak selalu bisa dimengerti oleh orang lain.

Aline menatapku tajam, wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. "Aku tuh nggak suka sama Keenan, apalagi sama temannya yang itu tuh, siapa? Si Kafka," ucapnya tiba-tiba, nadanya tegas.

Aku tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Kata pepatah, jangan bilang nggak suka. Nanti malah suka, lho," kataku sambil menyeringai.

Dia mendengus, tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Tau ah, males!" jawabnya, lalu berdiri dan berjalan menuju kamar.

Aku hanya diam, mendengarkan langkah-langkahnya yang semakin menjauh. Di balik tawa dan canda yang tadi tercipta, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang bergetar di dalam diriku. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa mungkin, percakapan ini lebih dari sekadar soal Keenan atau siapa pun. Mungkin, ini tentang diriku sendiri, tentang bagaimana aku memandang hidup, hubungan, dan orang-orang di sekitarku.

---

Pagi itu, udara terasa segar, seolah memberi ruang bagi hati yang ingin bernafas lebih lega setelah hujan semalam. Di luar jendela, tetesan air masih setia menggantung di daun-daun, memantulkan sinar lembut yang mulai menyapa dunia. Kicauan burung terdengar samar, memberi isyarat akan kehidupan baru yang siap dijalani. Meskipun rumahku berada di tengah hiruk-pikuk kota, tetangga sebelah rumahku memutuskan untuk membiarkan lahan hijaunya tetap asri. Sebuah keputusan sederhana namun bermakna.

Karena bagiku, hijau itu memberi ruang untuk jiwa beristirahat.

Pikiran tentang Aline muncul di benakku. Dia meninggalkan rumah lebih pagi dari biasanya, mungkin masih terbawa rasa kesal semalam. Namun, aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya sementara. Kami sudah terlalu sering mengalami hal semacam ini, perselisihan kecil yang berakhir dengan tawa. Tapi yang anehnya, aku tak bisa sepenuhnya melepas perasaan tak nyaman ini. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di hati, seolah-olah ada hal yang belum terselesaikan.

Menatap ke langit, aku mendapati awan mendung yang kembali berkumpul. "Hujan lagi," gumamku lirih. Aku teringat betapa hujan sering membawa rasa tenang, meski kali ini aku berharap sebaliknya. Dalam hati, ada perasaan sedikit kecewa, bahwa mungkin pagi yang cerah belum siap hadir hari ini. Dengan berat hati, aku mengambil payung dan bersiap menghadapi hari, dengan segala hal yang mungkin terjadi di bawah langit yang basah.

Andai saja Aline ada di sini, dia pasti akan mengeluhkan hujan yang turun. Genangan di jalan, kendaraan yang melaju sembarangan, semuanya akan jadi topik percakapan di sepanjang jalan menuju sekolah. Terkadang, aku merasa semua ini hanyalah pengalihan dari perasaan sebenarnya. Seperti hujan yang menyamarkan air mata yang jatuh. Di saat-saat seperti ini, aku sering memikirkan berbagai hal; tentang bagaimana aku harus berhemat, bagaimana uang bulanan yang dikirim orang tuaku selalu terasa kurang, atau tentang keputusan-keputusan kecil yang membentuk hidupku saat ini.

Tiba-tiba, suara klakson mengagetkanku.

TIN! TIN!

Aku terkejut. Jantungku seolah meloncat dari dada. Sejenak, rasa marah membuncah. Di jalan seperti ini, kenapa mereka tidak berhati-hati? Namun, seperti biasa, aku menahan diri. Nenek pernah berpesan, "Sabar itu selalu lebih baik daripada marah." Meskipun saat itu, emosi dalam diriku bergemuruh, aku memilih untuk menarik napas panjang.

"Sorry, nggak sengaja," ucap seorang laki-laki yang turun dari motornya. Ada senyum yang dia coba paksakan dari balik helmnya, tapi tatapanku teralih pada sosok lain. Pengendara motor itu. Meskipun helmnya masih menutupi sebagian besar wajahnya, namun mata itu... mata yang tajam dan dingin seolah bisa menembus pertahananku. Tanpa kata, tanpa isyarat permintaan maaf, dia tetap duduk di atas motornya, seolah semua ini bukan urusannya.

Aku kembali menarik napas dalam. Ada kalanya, kita harus menghadapi orang-orang yang tidak mengerti, atau bahkan tidak peduli. Bukan tentang mereka, tapi tentang bagaimana aku merespons. Dan saat ini, yang aku butuhkan hanyalah ketenangan.

"Iya, hati-hati lain kali," kataku, mencoba menjaga nada suaraku tetap netral.

Seiring langkahku yang menjauh, aku menyadari satu hal. Bahwa dalam hidup, kita tidak selalu bisa mengendalikan apa yang orang lain lakukan atau katakan. Namun, kita bisa mengendalikan bagaimana kita meresponsnya. Tepat seperti hujan, meskipun tak bisa dihentikan, kita bisa memilih untuk berdiri di bawahnya dengan payung atau menikmati sensasi tetesannya di kulit.

Dan pagi ini, aku memilih untuk berdamai. Dengan hujan, dengan Aline, dan dengan diriku sendiri.

---

Saat aku tiba di gerbang sekolah, perasaanku masih belum bisa tenang setelah kejadian dengan pengendara motor tadi. Ada rasa kesal yang sedikit membekas, seolah insiden itu menempel di benak dan enggan pergi. Aku berencana untuk bercerita panjang lebar kepada Aline saat sudah di kelas, dia pasti akan mendengarkan, seperti biasa. Bercerita kepadanya selalu memberi sedikit ruang bagi perasaanku untuk pulih, tapi entah kenapa kali ini rasanya tidak cukup.

Namun, sebelum aku sempat melangkah lebih jauh, suara yang sudah kukenal baik terdengar dari belakangku. Keenan muncul dengan langkah cepat, seolah dia tahu bahwa aku sedang terjebak dalam suasana hati yang buruk. Tanpa banyak basa-basi, dia menyodorkan jaket hitamnya yang selalu dikenakannya ke sekolah.

"Kamu pasti kedinginan. Pakai ini," katanya, suaranya lembut tapi tetap tegas, seperti tidak memberi ruang untuk penolakan.

Aku terdiam, tak menyangka. "Eh, nggak, aku nggak.."

Dia memotong perkataanku dengan cepat. "Aku nggak nerima penolakan, Sheena. Mau kamu pakai sendiri atau aku yang pasangin?" Ada nada yang tidak bisa ditawar dalam ucapannya, tapi anehnya, itu justru membuatku merasa terlindungi.

Dengan perlahan, aku meraih jaketnya, merasakan kehangatan yang tertinggal dari tubuhnya. Saat itu, aku menyadari ada lebih banyak hal yang dia sampaikan lewat tindakan daripada kata-kata.

"Aku cuma nggak mau kamu sakit, Sheena. Pakai, ya," katanya lagi, kali ini dengan senyuman kecil yang singkat tapi tulus, sebelum dia melangkah pergi.

Angin pagi itu masih terasa menusuk, dan suhu dingin masih menyelimuti, tapi sesuatu dalam diriku perlahan mulai mencair. Ada kehangatan yang mengalir, bukan dari jaket yang kubalutkan di tubuh, melainkan dari cara Keenan memperlakukan aku, dengan perhatian yang sederhana namun penuh makna.

Di setiap langkahnya yang menjauh, aku merasa seolah dunia melambat, memberi waktu bagi pikiranku untuk mencerna. Aku sadar, terkadang kehangatan yang kita butuhkan bukan selalu tentang fisik, tapi tentang kehadiran seseorang yang membuat kita merasa dilihat, diperhatikan. Sesederhana itu, tapi begitu berarti.

Saat ini, aku menyadari bahwa pemulihan diri bukan selalu tentang bagaimana kita sendiri mengelola semua emosi yang ada. Kadang, kehadiran orang lain, meskipun dalam momen yang tak terduga, bisa menjadi bagian dari proses menenangkan diri. Mereka tak harus mengatakan banyak, cukup dengan berada di sana, memberikan sesuatu yang kecil, namun mampu mengubah seluruh suasana hati.

Dan untuk kali ini, kehangatan itu datang dari Keenan.

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status