Share

Prisoned For A While

Di ruang interogasi, Clara dan pimpinan kepolisian duduk berhadapan.

"Kuharap, kau mengakui semua perbuatanmu dan memudahkan kami dalam bertugas." Clara tidak menjawab dan memasang wajah dingin di hadapan polisi.

"Apa benar, kau membunuh ayahmu untuk mendapat harta warisan?" Tatapan Clara menajam ketika mendengar pertanyaan polisi tersebut.

"Entahlah, pikirkan saja sendiri. Lagipula, tidak ada gunanya aku menjawab." Polisi itu mendengkus mendengar jawaban Clara.

'Cih, gadis ini ingin mempersulit ternyata,' batin polisi itu.

"Jangan bertele-tele, Nona. Cukup jawab iya, atau tidak. Bekerja samalah dengan kami, Nona. Tidak sulit, kan?" Clara tersenyum miring.

"Apa untungnya? Dengan menangkap dan menginterogasiku, apa kalian bisa menghidupkan kembali ayahku?" pertanyaan yang diberikan Clara membuat polisi tersebut terdiam.

"Kalian tidak bisa menjawab pertanyaanku? Ayolah, kalian kan polisi. Pasti sering mendapat pertanyaan seperti ini dari narapidana, apa aku benar?" Clara menikmati ekspresi polisi yang terlihat tak berkutik itu.

"Tidak perlu memperumit masalah, langsung saja penjarakan aku. Beres, kan?" Polisi itu merasa dongkol tatkala pembunuh di hadapannya ini minta di penjara langsung.

"Psikopat," umpat polisi itu.

"Aku mendengarnya, Tuan. Anda berkata psikopat padaku." Polisi itu tersenyum remeh.

"Kau memang psikopat, Nona Clara. Kau membunuh ayahmu sendiri demi sebuah kekayaan dan tidak ada rasa bersalah di wajahmu." Clara kembali tersenyum miring.

"Yah, anggap saja kau benar. Aku memang psikopat yang tidak kenal rasa bersalah." Polisi itu menghela napas kesal. Semakin lama berbicara dengan Clara, semakin kesal pula dirinya.

"Terimalah hukumanmu dan rasakan pengapnya penjara." Clara bersandar dan melipat tangannya.

"Siapa takut?" Dalam hati, Clara tertawa saat melihat ekspresi kesal polisi itu.

"Jika kasus ini sampai ke pengadilan, kau akan di penjara dalam waktu lama." Clara hanya tersenyum manis mendengarnya.

"Masa bodoh," katanya.

Para wartawan telah berkumpul di kantor polisi untuk mendapatkan informasi mengenai kasus pembunuhan terhadap David Alexander, ayah kandung Clara.

Clara keluar dengan mengenakan topi, masker, dan kedua tangan yang di borgol. Di sebelah kiri dan kanannya, sudah ada dua polisi yang memegangi dirinya menuju mobil polisi. Meski begitu, Clara tetap berjalan tegak menatap para wartawan di hadapannya tanpa rasa takut.

"Nona Clara, tolong ceritakan alasan anda membunuh ayah anda." Clara memutar bola matanya bosan.

'Tidak adakah pertanyaan lain?' Ingin sekali ia melepaskan borgol dan kedua tangan polisi itu menuju mobil polisi sendiri.

"Bukankah kalian sudah mendapatkan kebenarannya lewat berita? Kenapa bertanya lagi?" Wartawan itu terdiam dan membuat Clara mendecih. Ia menatap kedua polisi itu bergantian.

"Kalian berdua lamban sekali. Apa yang membuat kalian menjadi polisi dengan kinerja seperti ini?" Kedua polisi itu menyatukan alis mereka lantaran kesal dengan hinaan dari mulut Clara. Mereka tidak mau memusingkannya dan berusaha menerobos kerumunan tersebut.

"Jadi, Clara berhasil ditemukan?" Vincent mengangguk.

"Dia tinggal di rumah Albert selama tiga tahun." Alvin tersenyum miring dengan mata elangnya menatap Vincent.

"Albert? khe, bodohnya aku." Vincent mengernyit.

"Kenapa anda berkata seperti itu?" tanya Vincent.

"Albert, dia kepercayaan David. Seharusnya, aku memprediksi jika dia akan datang dan menyelamatkan anak brengsek itu. Oh iya Vincent, siapa orang yang memberitahu keberadaan Clara?" tanya Alvin.

"Namanya Naomi. Aku sudah mengirimkannya imbalan dan dia meminta kita untuk tidak memberitahukan siapapun. Sepertinya, dia membenci Nona Clara." Alvin tertawa.

"Aku mengerti. Kerja bagus, Vincent. Kau tahu, aku mempercayaimu. Kuharap, kau tidak mengkhianatiku." Alvin menepuk bahu tegap Vincent dan meremasnya. Vincent hanya tersenyum.

"Tidak perlu ragu akan kesetiaanku, Ayah." Alvin tersenyum.

"Bagus. Bayar hakim untuk memberatkan hukuman Clara. Biarkan dia menderita di penjara sepanjang hidupnya." Vincent membungkuk dan meninggalkan mansion Alvin.

Clara mengangkat alis sebelah saat mendapati tatapan intens dari para gadis di hadapannya.

"Ada apa dengan tatapan kalian?" Salah satu gadis bak preman itu tertawa mendengar pertanyaan Clara.

"Tidak apa-apa. Mari kita berkenalan." Wanita itu menyodorkan tangannya pada Clara namun, Clara belum membalas.

'Entah kenapa perasaanku tidak enak?' Clara membatin. Ia pun mencoba membalas sodoran tangan wanita itu.

"Perkenalkan, namaku Salsa. Salam kenal." Gadis bernama Salsa itu meremas kuat tangan Clara dan dibalas serupa oleh Clara. Perasaan Clara yang tidak enak pun, sudah terjawab.

"Hn, Clara. Salam kenal juga." Clara memperkuat remasannya dan membuat Salsa meringis kesakitan. 

"Apa yang kau lakukan pada bos kami?!" tanya salah satu teman Salsa.

"Tidakkah kalian lihat? Aku sedang memberikannya pelajaran berharaga." Clara berujar santai pada kedua teman Salsa ini.

"Kalian tidak ingin memperkenalkan diri kalian, kah?" Kedua teman Salsa merasa geram dengan sikap santai Clara pun, maju dan menghajar Clara.

Clara pun tidak tinggal diam, dia mendorong tubuh Salsa hingga jatuh ke lantai dan menangkis satu-satu pukulan serta tendangan kedua teman Salsa.

"Apa yang kalian lakukan?!" seorang sipir datang dan membentak mereka namun, tidak didengarkan sama sekali. Sipir wanita itu kehabisan kesabaran dan mengeluarkan rotan lalu, membuka pintu penjara itu.

"Hentikan perkelahian kalian! Jika tidak ... akan kupukul kalian!" Perkelahian itu pun seketika berhenti membuat para gadis itu menatap tajam pada sipir. 

"Nona Clara, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mari ikut saya." Clara menatap para gadis itu dengan tatapan merendahkan dan mengikuti sipir itu keluar dari sel tahanan.

Di mansion Albert....

"Siapa di antara kalian yang melaporkan Clara ke polisi? Jawab!" Albert mengeraskan suaranya di kata terakhir.

"Kalian tahu, kan? Konsekuensinya saat polisi mengetahui tempat ini?" Para gadis di sana terdiam dan menunduk. Para gadis di sana hanya bisa menunduk dan mengumpat dalam hati, menyalahkan tindakan si pelapor.

"Masih tidak ada yang mau menjawab? Jika sampai tertangkap CCTV, aku akan menembak kalian semua." Para gadis mulai berteriak saat Albert mengeluarkan pistolnya dan Felix pun mendekati Albert.

"Jangan menggunakan pistol di saat polisi telah menjangkau tempat ini, Tuan Albert." Albert yang mendengar itu pun langsung menurunkan pistolnya. Ia memandang satu persatu para gadis di hadapannya dan mendapati gerak-gerik mencurigakan dari Naomi.

"Naomi, apakah kau orangnya?" Naomi menegang saat namanya disebut. Naomi menenangkan dirinya dan menjawab,

"Tentu tidak, Tuan Albert. Kenapa anda berpikir seperti itu?" Albert menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa. Sekarang, kalian bubar." Para gadis itu pun bubar menuju kamar mereka masing-masing. Albert menghela napasnya dan memijat kepalanya.

"Felix, cari tahu siapa yang melaporkan Clara!" Felix mengangguk dan meninggalkan ruangan Albert.

Vincent tersenyum melihat Clara. Clara pun duduk berhadapan dengan Vincent.

"Apa kabar, Clara?" Clara mengernyit saat Vincent membuka suaranya. Bagaimana bisa, pria ini mengetahui namanya?

"Perkenalkan, namaku Vincent. Saudara angkatmu." Vincent menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Clara." Clara membalas jabatan tangan itu.

"Kukira, kau akan terkejut saat mengetahui jika kau punya saudara." Clara mendengkus.

"Kau harap aku terkejut seperti drama yang tak bermutu itu?" Vincent tersenyum. Adik angkatnya ini memang berbeda.

"Tentu tidak. Oh iya, aku ingin menawarkan sesuatu padamu." Clara mengangkat sebelah alisnya.

"Apa itu?" 

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status