Share

Scepticism

"Apa itu?" tanya Clara.

"Aku akan menghasut hakim agar tidak menjatuhkan hukuman padamu." Clara mendengkus.

"Dengan bukti yang sudah jelas, kau ingin membuat hakim tidak menjatuhkan hukuman padaku? Khe, yang benar saja," ujar Clara sarkas.

"Apa salahnya? Toh, aku punya bukti yang asli." Clara memiringkan wajahnya dan tersenyum miring.

"Bukti apa? Bukti jika pamankulah yang membunuh ayahku?" Vincent mengangguk.

"Sebelum CCTV dihapus, orang kepercayaanku menyalin rekamannya dan menyerahkannya padaku." Clara menyilangkan tangan dan kakinya.

"Menarik. Kuakui kau berani bertindak sejauh itu tanpa sepengetahuan pamanku." Vincent tersenyum.

"Jika bukan kepercayaan tinggi pamanmu itu, aku tidak akan bisa melakukannya." Clara ber oh ria.

"Pamanku percaya padamu? Itu artinya, kau bersekutu dengan pamanku. Aku tidak yakin kita bisa bekerja sama. Permisi." Clara hendak bangkit namun, tangannya ditahan oleh Vincent.

"Kita punya tujuan yang sama, Clara. Meski bersekutu dengannya, aku hanya ingin menghancurkannya Alvin beserta keluarganya dari dekat. Tapi, aku tidak bisa melakukannya tanpa bantuanmu. Mari kita bekerja sama untuk menghancurkan Alvin." Clara menyeringai.

"Baiklah, kita kerja sama mulai sekarang," ujar Clara. Ia dan Vincent bersalaman.

"Deal," jawab Vincent.

Skip Time

Clara meminta seorang sipir untuk meninggalkannya sendiri dan menggunakan telepon kantor sipir untuk menghubungi seseorang.

Albert mengangkat alisnya saat merasakan ponselnya berbunyi. Ia tidak melihat nama pemanggil namun, instingnya memaksa dirinya untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Halo," sapa Albert.

"Halo, Paman. Ini aku, Clara." Albert bangkit dari kursi saat sang pemanggil menyebut namanya.

"Clara ... bagaimana bisa?" tanya Albert dengan nada terkejut.

"Seseorang menawarkan bantuan padaku untuk membalas dendam, Paman," jawab Clara.

"Siapa orang itu? Kuharap, kau jangan cepat percaya padanya, Clara." Clara tersenyum tipis.

"Paman tenang saja. Aku tidak terlalu percaya padanya. Aku menghubungimu untuk meminta tolong, mencari tahu tentangnya. Namanya, Vincent." Albert mengernyitkan dahi.

"Vincent?" ujarnya.

"Yah, Vincent. Dia mengaku sebagai putra angkat ayahku, Paman. Karena aku tidak terlalu yakin, aku ingin Paman mencari tahu semua tentangnya." 

"Baiklah, Paman akan mencari tahu. Tapi, jika memang dia bukan orang baik. Apa yang akan kau lakukan, Clara?" Clara menyeringai.

"Entah dia baik atau tidak, aku hanya ingin memanfaatkannya untuk semua rencanaku." Albert menghembuskan napas lega karena Clara tidak sebodoh dan senaif itu.

"Baguslah. Paman pikir, kau akan mudah percaya padanya." Clara mendengkus.

"Ayahku memiliki musuh, Paman. Otomatis, aku juga memiliki musuh. Aku tidak bisa percaya begitu saja terlebih pada orang yang baru kukenal." Albert tidak menjawab melainkan tersenyum bangga.

"Hm ... setelah kau bebas, Paman ingin kau dan Felix bekerja sama untuk menyergap bisnis ilegal milik Alvin. Apa kau sanggup?" Clara seketika terbingung mendengarnya.

"Bukankah seharusnya misi itu dilaksanakan oleh Felix dan Naomi?" Albert menggeleng.

"Tidak usah bahas soal Naomi. Dia akan menjadi beban dalam misi ini. Mungkin saja, dia akan memenjarakan Felix demi keuntungannya sendiri." Clara tertawa mendengarnya. 

"Aku yakin, dia tidak akan memenjarakan Felix melainkan, dia akan membuat Felix merelakan nyawa untuknya." Albert mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa berkata seperti itu?" tanya Albert.

"Naomi sangat menyukai Felix. Dia akan melakukan segala cara agar bisa bersama Felix, termasuk menyingkirkanku dari mansionmu." Albert terkejut mendengar perkataan Clara di akhir.

"Kau tahu jika Naomi melaporkanmu?" Clara tersenyum miring.

"Tidak susah untuk menebak gerak-geriknya, Paman. Sejak awal, dia tidak menyukai keberadaanku." 

"Yah, Paman bisa melihat itu. Paman tidak bisa membiarkannya pergi bersama kalian berdua. Paman harap, kau bebas secepatnya." 

"Paman tenang saja. Vincent akan membuatku bebas segera dari sini." Clara menyeringai setelah mengucapkan itu.

"Yah, semoga saja itu benar. Sudah dulu ya, Paman masih ada pekerjaan." 

"Baiklah Paman, sampai berjumpa." Panggilan telepon telah berakhir, Clara kembali ke penjara.

Flashback....

"Baiklah, kita kerja sama mulai sekarang," ujar Clara. Ia dan Vincent bersalaman.

"Deal," jawab Vincent. Setelah itu, mereka terdiam sebentar sebelum Clara mengisi keheningan di antara mereka.

"Apa kau benar-benar akan membebaskanku dari penjara ini?" tanya Clara.

"Kau tidak percaya padaku?" tanya Vincent balik.

"Tentu saja. Kita baru kenal, bukan tidak mungkin kau akan menjebakku setelah ini." Vincent tertawa melihat ekspresi lucu Clara.

"Tenang saja. Aku tidak akan melakukannya. Jika aku melakukannya, kau boleh membunuhku." Clara mengangguk tak yakin.

"Karena kita akan bekerja sama, kau boleh meminta apapun padaku." 

"Apapun?" Vincent mengangguk.

"Aku ingin tiga gadis itu dipindahkan ke penjara lain. Lalu, gadis yang bernama Naomi. Aku tahu, dia yang melaporkanku pada polisi." Vincent terkejut mendengarnya.

"Tahu dari mana?" tanya Vincent. Diam-diam, dia mengagumi Clara.

"Tidak sulit. Kebenciannya terhadapku membuatku bisa menebak apa yang direncanakannya, setelah menonton berita." Rasa kagum itu pun, akhirnya semakin besar.

"Menarik ... Kau mau aku apakan dia?" tanya Vincent sambil menangkup kedua tangan di dagunya.

"Simple. Ambil kembali uang yang ia dapatkan dan sumbangkan di panti asuhan." Vincent menjentikkan jarinya.

"Itu sangat mudah. Ada lagi?" Clara menggeleng.

"Itu sudah cukup." Vincent mengangguk.

"Hm ... senang bertemu denganmu, Clara. Aku pergi dulu...." 

"Sampai bertemu lagi," ujar Clara.

End of Flashback....

"Maaf menunggu lama, Calista." Calista yang sedang memainkan ponsel pun tersentak dan menatap Vincent.

"Vincent, kemana saja kau? Aku dari tadi menunggumu di sini. Padahal, kau berjanji akan datang tepat waktu dan berkencan hari ini. Tapi, kau sendiri yang melanggar janjimu." Vincent terkekeh saat melihat Calista memajukan bibirnya.

"Maafkan aku, sayang. Aku tidak bermaksud melanggar janjiku tapi, aku terpaksa. Ayahmu memanggilku mendadak untuk menggantikannya sebentar di kantor karena beliau ada pertemuan dengan klien." Vincent tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang pergi ke kantor untuk menggantikan Alvin sebelum pergi menjenguk Clara di penjara.

Calista tidak menghiraukan ucapan Vincent dan masih bertahan dengan mode cemberutnya itu.

"Hei, sayang. Jangan marah dong, nanti cantiknya hilang. Sekali lagi maafkan aku, ya. Aku melakukan ini juga untuk masa depan kita. Jika aku tidak bekerja, bagaimana dengan masa depan rumah tangga kita nanti?" Calista pun menghilangkan mode cemberutnya itu dan menatap sendu Vincent.

"Maafkan aku, Vincent. Aku sudah egois dan tidak pengertian. Aku janji, aku tidak akan marah lagi padamu meski kau datang terlambat." Vincent tersenyum dan mengusap wajah Calista yang putih itu.

"Tidak apa-apa. Aku juga yang salah karena tidak menepati janji. Setahun lagi, kau lulus kuliah. Bagaimana dengan berlibur ke luar negeri? Ke Amerika, Australia, atau Singapura, mungkin?" Calista yang mendengarnya pun langsung berbinar.

"Aku mau. Selama ini, aku tidak pernah jalan-jalan kemanapun karena Papa tidak mengizinkanku," ujar Calista senang. Vincent pun ikut tersenyum tatkala Calista bahagia.

'Andai saja kau bukan putri Tuan Alvin, aku pasti akan mencintaimu dengan tulus tanpa adanya dendam." Tatapan Vincent semakin sendu meski bibirnya tersenyum.

'Maafkan aku, Calista.' 

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status