Saat makan malam, bunda kembali menanyakan keberangkatanku ke Bandung. Sepertinya rencana pekan depan akan dimajukan. Tak mungkin menunggu hingga pekan depan sedangkan kondisi Paman Hasan sedang sakit. Paling cepat lusa bunda, sekalian aku siapkan semua pekerjaan yang akan ditinggal. Paling tidak ini saatnya memaksa Alisha untuk ke kantor. Selama ini Alisha selalu menghindar jika kuminta ke kantor. Senyumku sesaat terukir membayangkan Alisha tak akan bisa menolaknya. “Bunda, makan apa malam ini?” t anya Alisha sambil menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya di sampingku. “Wah tuan putri sudah menemukan pangerannya ya. Sampai lupa pada kakak yang ganteng ini,” sedikit kutekan saat mengucapkan ‘pangerannya’. Alisah mengerucutkan bibirnya ke arahku, tak peduli dengan ucapanku namun langsung menyendok nasi. Tanganku menahan tangannya yang akan memindahkan lauk ke piring. “Bunda... Mas Angga tidak bolehkan Alisha makan.” Bunda datang melerai, menatap tajam padaku hingga aku membiarkan
Rencana kepulangan sore kumajukan, karena penasaran mengapa Hanafi ingin menemuiku. Saat sarapan pagi tadi aku menyampaikan pada bunda disetujuinya. Selesai makan siang aku siapkan mobil. Dua koper dan beberapa tas berisi oleh-oleh sudah masuk dalam mobil. Kami masuk ke dalam kamar paman untuk pamit. Tak lupa bunda menitip pesan untuk berkabar jika ada hal yang penting pada Nia. Aku sudah pamit pada Mas Fariz tadi pagi, dan setelah semua selesai kulajukan mobil menuju Jakarta. Aku sudah mengabari Hendra jika sore nanti Hanafi bisa menemuiku di kantor. Kupesankan untuk tidak memberitahu Alisha tentang kepulanganku. Aku ingin membuat kejutan kecil untuknya. “Bunda, paman terlihat lebih kurus dan pucat. Kondisi sebenarnya bagaimana?” Menurut dokter penyakit paman bergantung pada kondisi psikisnya. Penyakit jantung yang diderita paman sudah menahun dan akan semakin menjadi jika paman banyak beban pikiran. “Bunda, jika ada kesalahan paman yang Angga tahu. Apakah Angga harus memaafkanny
Kuhubungi Tyo agar tidak kembali ke apartemen setelah mengantar Alisha. Ingin berbagi beban pikiran dan berdiskusi mengenai masalah hari ini. Bagaimanapun suatu hari nanti dia adalah bagian dari keluarganya. Walaupun tak ada hubungan darah dengan Alisha? Kuhembuskan napas kasar, saat mengingatnya kembali. Sesampainya di rumah, bunda masih sibuk di dapur. Aku datangi bunda untuk melihatnya. Pesan terakhir tak dibalas bunda. Aku sedikit khawatir. Sesaat melihatku, bunda mencoba tersenyum. Sedikit dipaksakan. Kucium tangannya sambil menanyakan sedang memasak apa untuk makan malam nanti. Bunda hanya menunjukkan wajan yang berisi ayam bumbu merah. “Bunda..., Alisha kangen.” Suara Alisha memecahkan suasana kaku di dapur. Sedikit berlari ditubruknya bunda dan memeluknya. Bunda balas memeluk Alisha, mengelus lembut kepalanya. Kulihat mata bunda berkaca-kaca menahan kesedihan. Bergegas aku ke luar menemui Tyo. Tyo duduk di sofa, menggulung tangan kemeja hingga atas siku agar terlihat lebih
Bunda sudah kuberitahu mengenai kabar dari Mas Fariz. Kuputuskan besok pagi baru berangkat ke Bandung. Malam ini biar Hendra saja ke sana, dia bisa membantu mengurus keperluan keluarga paman. “Iya, Angga. Bunda juga perlu beristirahat,” jawab bunda sambil beranjak meninggalkanku menuju kamar. Sesaat melewati Alisha, bunda tersenyum. Tak lupa bunda pamit pada Tyo, karena tak bisa menemani ngobrol. Mereka berempat kembali duduk di ruang tamu. Angga menyampaikan berita duka. Malam ini sepertinya mereka perlu mengistirahatkan pikiran setelah menerima penjelasan Pak Aditya mengenai masa lalu ayah. “Hendra, kamu langsung berangkat ya. Bantu keluarga paman. Kami akan berangkat besok pagi. Bunda biar beristirahat dahulu. Alisha kamu juga istirahat dan bersiap.” “Besok aku temani Alisha, kamu berangkat dengan bunda saja dahulu. Alisha biar ke kantor untuk koordinasi pekerjaan selama kalian di Bandung. Sekalian aku ada rapat sebentar.” Aku mengangguk tanda setuju. Hendra langsung pamit untu
Alisha dan bunda sudah selesai berbelanja. Semua keperluan dapur sudah dibeli. Kue untuk pengajian nanti malam juga sudah di pesan. Akan diantar menjelang sore nanti. “Bunda kita jadi ke makam?” tanyanya pada bunda. “Jadi, Sha. Kita beli bunga dulu," jawab bunda pelan.Mereka berjalan menuju penjaja bunga, membeli beberapa bungkus bunga untuk ditaburkan di makam ayah dan paman. Di kejauhan tanpa mereka sadari, ada beberapa orang yang mengamati dan memberi laporan melalui telepon. “Mereka akan ke makam, pak. Saat ini mereka sudah menuju mobil yang akan membawanya.” “Oke, kita bertemu di makam. Ikuti terus, jaga keamanan mereka," balas Pak Yudha di seberang telepon.“Baik pak. Saat ini kami tidak melihat ada yang mencurigakan.” Setelah menaburkan bunga di kedua makam, bunda cukup lama bersimpuh di makam ayah. Sesekali bunda mengusap ujung matanya. Alisha tahu tamu malam itu membuka luka lama bunda. Kepergian ayah sulit dilupakan, apalagi saat itu bunda melahirkanku. Kondisi yang mem
“Mas, Alisha beli cendol dulu ya. Pak Yudha juga mau?” tanya Alisha sambil berlalu menghentikan tukang cendol yang kebetulan lewat di depan kedai. Sepeninggal Alisha aku terdiam sejenak. Kupersilakan Pak Yudha untuk duduk bersama kami. “Tyo, apakah saya bisa mempercayaimu?” tanyanya pelan“Maksudnya?” tanyanya dalam kebingungan. “Saya titip Alisha, tolong bantu saya untuk menjaganya. Saya tahu kamu adalah pilihan terbaiknya.” Tyo masih belum memahami apa maksudnya. Alisha datang dengan membawa segelas plastik cendol diikuti penjual cendol yang membawa dua gelas lainnya. “Taruh sini saja pak. Terima kasih.” “Ini untuk Mas Tyo dan ini untuk Pak Yudha.” Alisha kembali duduk di kursinya menikmati cendol yang baru dibelinya. Sepertinya lupa dengan mie yang baru dimakan separuh. Pesanan Pak Yudha diantar ke meja kami. Tyo memutuskan melanjutkan makan sambil mencoba mencerna ucapannya. “Pak Yudha, nanti malam ikut pengajian?” tanya Alisha. “Rencananya seperti itu. Mudah-mudahan tidak
Kuhembuskan napas yang sedari tadi tercekat. Membalas genggaman tangan bunda yang mengerat. Hingga kulingkarkan tangan kananku pada bahu bunda serta tangan kiri tetap menggenggam tangannya erat. “Benar Ibu Dewi, saya minta maaf. Saat itu saya masih dipenjara. Saya mempercayakan istri saya yang sedang hamil tua pada sahabat saya. Saya tak menyangka jika istri saya meninggal saat melahirkan putri kami.” Hasan menemuinya di penjara. Menanyakan bagaimana dengan anak yang baru dilahirkan almarhumah istrinya, siapa yang akan mengurusnya? Dia hanya menyampaikan tolong berikan pada orang yang tepat. Tak menyangka jika orang yang dipilih Hasan adalah adiknya sendiri. Sekali lagi Pak Yudha meminta maaf. Bunda menarik napas panjang, tak ada kata yang terucap. Butir bening perlahan menetes. Mba Nia mengambilkan tisu dan memberikannya pada bunda. Getaran halus kurasakan pada bahu bunda. Aku semakin mendekapnya erat. “Ibu Dewi, saya sangat berterima kasih ibu sudah membesarkan Alisha. Saya masih
David dikenalkan sebagai karyawan baru yang akan membantu administrasi kantor di bawah tanggung jawab langsung Pak Yudha. Angga, CEO Anugerah Aksara Grup dan Bramantyo... “Bramantyo, yang akan menggantikan almarhum Hasan. Keputusan penting akan diambil oleh beliau dan Dewan Direksi.” Ucapan Pak Yudha mengagetkan peserta rapat yang hadir. Aku dan David juga tak menyangka akan hal ini. Tyo sedikit terkejut, namun dia cepat menguasai dirinya. “Perkenalkan, saya Bramantyo. Mudah-mudahan kita bisa bekerja sama untuk mengembangkan Persada.” Setelah memperkenalkan diri pada Dewan Direksi, mereka mengambil tempat yang sudah disediakan. Fariz juga kembali ke kursinya. Rapat segera di mulai dengan laporan perkembangan Persada Agung tiga bulan terakhir. Laporan dari semua bagian sangat memuaskan. Tidak ada hal yang dikhawatirkan. Hal ini melegakan kami, apalagi Pak Yudha akan kembali ke Singapura besok. Setelah rapat mereka menemui Pak Ahmad dan rekannya. Menanyakan hasil pencocokan dokumen