Tepat pukul lima sore, Anya tiba di mansion dengan wajah tertekuk kesal. Tidak perlu ditanya mengapa, sebab sudah pasti pasangan anjing Lolita dan Ryuu adalah penyebabnya. Anya tidak akan menceritakan kelakuan apa saja yang mereka perbuat selama di kebun binatang. Tidak. Sebab dia tidak ingin mengingat apapun lagi mengenai kejadian memalukan yang Lolita lakukan. Anya mungkin hanya akan sedikit marah jika mereka berdua tidak menyeretnya ikut ke dalam masalah. Tetapi tampaknya, Lolita tidak akan senang jika tidak menyeretnya juga.
Benar-benar true friends.
Tidak pernah melupakan Anya.
Namun sekarang, yang lebih membuatnya cemas adalah mengenai kedua pesan yang dikirimkan Rain juga Rayland. Mungkin dia bisa tenang jika Rayland hanya ingin pulang ke mansion. Toh, memang sudah seharusnya seperti itu. Tetapi bagaima
"Tuan, hari ini adalah pertemuan Anda dengan Mr. Zhou Cheng. Pihak mereka telah menanti Anda sejak tiba di Shanghai kemarin. Namun karena kesehatan beliau sedang menurun, pertemuannya baru dilaksanakan sekarang." Antonio berjalan mengimbangi Rayland di sisinya. Ketika dia menjelaskan rencana hari ini, Rayland hanya mendengarkan kemudian melaksanakan sesuai jadwal pertemuan. Langkah kaki keduanya berjalan cepat memasuki sebuah restoran ternama di Shanghai. Lantas, seorang pegawai pria berbadan tinggi, berkulit putih, bermata sipit, dan terlihat ramah menyambut kedatangan mereka dengan gaya profesionalitas yang tinggi. Baik Rayland maupun Antonio, keduanya berjalan mengikuti sang pegawai menuju salah satu ruang VIP di sana. Tempat dimana pertemuan bisnis itu akan berlangsung dengan pemilik Zhou Grup--yang tidak lain adalahMr. Zhou Cheng sendiri.
"RAIN!!!" "Aku di sini." Anya menoleh ke samping. Di sana, sosok Rain menatapnya dengan datar, sedang bersandar pada kusen pintu. Anya kemudian memijit kepalanya yang berdenyut pening, bukan karena keberadaan Rain melainkan karena ia tidak menyangka akan terbangun dari alam mimpi sembari berteriak memanggil nama pria itu. Lagipula, dia bangun dalam keadaan tidak pada posisi yang benar. Itu jelas membuatnya pusing. Lalu, mengapa dia memanggil nama Rain? Anya tidak tahu. Mungkin hanya refleks sebab Anya memimpikannya. "Kamu baik-baik saja?" Rain berjalan mendekat, lalu kemudian duduk di kursi yang entah ia ambil dari mana. Anya tidak peduli tentang hal kecil seperti itu. Yang lebih penting sekarang, dimana dia? Menatap sekeliling Anya menyadari ia berada di sebuah kamar bernuansa ma
Secepat Anya menyelesaikan perkataannya, secepat itu pulalah Rain terkejut bukan main. Pasalnya, nama Rahman Ady Adiptara adalah nama yang begitu tabu baginya. Nama itu, adalah malapetaka sesungguhnya untuknya. Pria itu adalah sosok paling mengerikan di balik senyum palsunya. "Rain?" Rain tertegun ketika sekali lagi suara Anya terdengar menginterupsinya, membawanya menuju kesadaran. Manik cokelat Anya berkilat, tertimpa sinar matahari yang terik menerpa balkon. Dan Rain menyadari, dia tidak bisa mengelak dari pertanyaan gadis itu. "Kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat aneh, apa kamu sakit?" Anya melepas pelukannya, lantas tangan kecilnya bergerak mencoba menyentuh kening Rain. Dia menggeleng, "kamu tidak demam." Gumamnya. Rain tersenyum. "Aku memang tidak sakit, Anya." Rain bergerak menuntun Anya memasuki apar
Seperti yang sudah-sudah, Anya kembali dibuat syok setelah melihat bagaimana miripnya orang yang dipanggil Rahman dengan wajah mertuanya--Ramlan Ady Adiptara. Berbagai prasangka juga dugaan yang sama sekali tidak ada dalam bayangannya selama ini, kini mengelana dengan bebas di otak kecilnya. Apa hanya kebetulan? Mungkin saja. Anya tidak ingin mengambil kesimpulan secara serampangan. Itu jelas berbahaya. Tetapi kemungkinan-kemungkinan tidak masuk akal atau mustahil sekalipun, tidak berhenti menari di dalam pikirannya. Apakah mertuanya--Ramlan Ady Adiptara--adalah orang yang sama dengan Rahman Ady Adiptara? Atau yang paling masuk akal adalah, mertuanya memiliki seorang kembaran? Ataukah, Anya hanya sedang berhalusinasi?  
Amora sedang menyiram tanaman mawarnya ketika bel rumahnya terdengar berbunyi, tentu saja karena seseorang baru saja memencetnya. Tidak lantas membuka pintu pagar rumahnya yang besar dengan dominasi cat putih tersebut, wanita itu justru dengan gerakan santai mencabuti rumput liar, yang tidak sengaja tumbuh di sekitar tanaman mawar miliknya. Dia seakan tidak perduli, siapa yang baru saja menekan bel rumahnya. Suara bel terdengar kembali, bahkan semakin sering. Alih-alih marah, Amora tersenyum begitu cantik sembari bersenandung ringan. Pagi ini, ia hanya seorang diri di rumah. Linda--dengan kesal harus kembali ke kantornya tepat setelah seseorang dari tempatnya bekerja menghubunginya pukul lima pagi. Wanita itu sungguh dibuat marah, bukannya menikmati hari cutinya yang khusus untuk Sang adik, namun rupanya tidak bisa mengelak ketika bawahannya lagi-lagi m
Setelah Rahman mengatakan sesuatu yang terdengar bagai bilah es lalu menembus ulu hatinya, Anya terdiam membeku ditempat. Kakinya tidak bisa bergerak seakan lantai keramik di bawahnya menenggelamkannya. Dia tidak bisa berpikir dan jiwanya terasa kosong. Memikirkan Sinta Adiptara dan Rahman memiliki hubungan bahkan sampai memiliki anak, merupakan sesuatu yang tidak terduga pun menyakitkan. Anya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mertuanya. Dan bagaimana reaksi Rayland, Rendi, Rangga, bahkan Ryan, saat mereka tahu bahwa ibu yang sudah melahirkannya telah berkhianat. Lalu Rain? Anya tidak ingin membayangkannya lebih jauh. Rasanya terlalu menyakitkan. Mereka hanya anak, namun kesannya begitu tidak adil jika mereka harus ikut merasakan sakit karena perbuatan egois orang tuanya. Pada dasarnya, penghianatan selalu membawa kepedihan mendalam. Entah itu kepa
"Bagaimana, sudah menemukan lokasi Anya dan Rendi?" Rayland bertanya dari balik telfon. Suaranya terdengar cemas, dan rasa khawatirnya membuncah tanpa ia sadari. Ini sudah hampir satu setengah hari dan kedua bocah itu masih belum ditemukan. Denyut di kepalanya kian bertambah. Sementara perasaan gundahnya semakin jadi. Antonio menjawab, "belum, tuan." Rayland mendengus jengkel, ingin marah tetapi tidak bisa melampiaskannya sekarang. Dari balik dinding transparan di belakangnya, semua kolega bisnis mengamati pergerakannya seolah tidak membiarkannya pergi tanpa menyelesaikan meeting mereka. Karena dirundung pekerjaan yang sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Terpaksa, dia mengutus Antonio kembali ke Indonesia kemarin sore, setelah mendengar Anya dan adik lelakinya--Rendi--menghilang.
Suara piring kaca berbunyi nyaring disertai pecahan yang saling bertebaran merebak, ketika jatuh dengan gerakan cepat menghantam lantai keramik di bawahnya. Dan tangan gemetar disertai wajah pias seorang wanita cantik menjadi latar mengerikan pagi ini. Tanpa meminta, sebulir air mata bening perlahan menerus turun dari sela manik indahnya, membelah pipinya yang seputih salju. Tidak mungkin, pikirnya. Seolah tidak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri, Amora jatuh terduduk di atas lantai yang telah ditaburi pecahan kaca bekas piring. Kakinya terluka, tetapi dia tidak peduli, bahkan jika cairan merah kental berbau amis telah keluar merembes dari luka sayatannya, membuat kesan kontras dengan kulitnya yang putih, begitupun dengan lantai di bawahnya. Telinganya seolah mendengung dengan suara melengking nyaring, saat mendengar kabar jika anggota keluarga