Share

CHAPTER 3 Kelebihan atau Kekuatan

      

       Terhitung sudah empat minggu sejak Anya menjadi menantu Adiptara. Dan sejak saat itulah keluarga Adiptara benar-benar dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa anggoa baru yang mereka bawa ke rumah itu—benar-benar ajaib.

      Gadis itu sama sekali tidak pernah diam dan seringkali membuat keributan di mansion. Rendi yang pemarah dan cukup labil menjadi sasaran empuknya untuk melakukan ulah. Bukan hanya Rendi—Ramlan Ady Adiptara—yang notabene-nya adalah mertuanya sendiri, pun ikut menjadi korban kejahilan akan tingkah ajaibnya. Pria yang kelihatan sangar diluar itu, sungguh kelimpungan menghadapi sikap anak bungsu serta menantunya sendiri.

        Kemungkinan besar, orang lain berpikir, Anya dan Rendi merupakan sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Lantas menganggap hal-hal yang mereka lakukan, seperti saling melempar benda tajam, pun, menjadi normal.

      Sayangnya, mereka berdua akan benar-benar saling membunuh jika saja Antonio, yang kini memiliki tugas tambahan selain untuk mendampingi dan menjadi pengawal pribadi Rayland, ikut menjaga istri tuannya dari hal-hal yang mungkin saja dapat membuat gadis itu terbunuh.

      Oh! Keluarga ini benar-benar—

      Nyatanya, andai Rayland ingin menghentikan tingkah absurd istri beserta adiknya. Dia hanya perlu menegur. Tetapi bukan seperti apa yang dibayangkan, Rayland justru bersikap seolah yang dilakukan Anya hanyalah sekedar bermain-main. Dia tidak merasa masalah. Pria itu membiarkan apa saja yang dilakukan Anya di rumahnya.

       Yang membuat semua orang terkejut, pria itu sangat tenang.

        Tidak hanya Rayland, Rangga, dan Ryan sekalipun, justru menganggap tingkah Anya sebagai tontonan menarik yang terkesan lucu, termasuk Ui. Lebih gila lagi, menantu kedua Adiptara—Ui—bahkan akan menjadi pemandu sorak, ketika Rendi dan Anya mulai saling membunuh.

      Kemungkinannya, hanya Tania yang normal di mansion itu. Dia akan berakhir menangis saat melihat adegan di mana Anya akan melempar Rendi dengan garpu, bahkan langsung pingsan di tempat, saat Anya melempar Rendi dengan pisau.

      Jadi, apa yang terjadi dengan keluarga itu?

       Satu hal yang pasti. Dan harus Anya catat dalam ruang ingatannya yang berkapasitas tidak seberapa, bahwa jangan sekali-kali membuat masalah saat aura seorang Rayland sedang dalam masa on. Hal itu bisa ditandai saat sekelilingnya mulai terlihat menghitam.

        Ada saat di mana aura itu akan menjadi off dan Anya akan mulai melakukan apa saja.

       Benar. Anya dapat melihatnya; warna aura kemarahan seorang Rayland ialah—hitam pekat.

      Entah sejak kapan. Tetapi Anya bisa melihat warna aura beberapa orang, termasuk Rendi yang saat marah berwarna merah menyala atau terkadang hijau ketika pemuda itu senang.

      Mungkin karena kelebihan atau kemampuan itulah, yang membuatnya bisa bertahan di rumah besar itu, tanpa kekurangan bagian tubuh mana pun.

      Anya hanya perlu membaca situasi.

      “Aku sangat bosan!”

       “Apa?” Miss Ani segera menatap Anya dengan mata melotot. Dia tidak habis pikir. Ini baru beberapa menit sejak mereka memulai pelajaran, dan Anya sudah mulai bosan? Huh! Itu hanya akal-akalan saja. Pastinya.

        Manik Anya menyipit. Lagi? Sekarang dia melihat sekeliling wanita itu perlahan-lahan dirambati sulur-sulur cahaya berwarna merah padam. Lantas bersorak, saat menyadari aura kemarahan Miss Ani akan muncul. Ini kesempatan bagus untuk mengakhiri pelajaran.

       Melihat warna aura seseorang ternyata menyenangkan.

       “Aku. Sangat. Bosan.” Anya mengulangi kalimatnya. Menekannya di tiap kata, seakan mengejek Miss Ani.

       Anya menyeringai jahat!

      Miss Ani geram. Setelah berpikir gadis itu akan sangat takut padanya, mengingat apa yang sudah ia lakukan untuk menghukumnya saat berulah akan membuatnya jera. Sayangnya, Anya justru semakin menjadi-jadi dan membuatnya tambah kesal.

        Seperti sekarang!

        “Miss, bagaimana kalau kita bermain kartu itu saja?” Telunjuknya mengarah pada sebuah kartu, yang entah sejak kapan berada di sela-selah rak buku, di dalam perpustakaan. “Saat aku menang, pelajaran kita berakhir, bagaimana?”

      Buk!!

      Anya meringis. Tangannya yang pucat mengelus kepalanya yang baru saja digetok menggunakan buku. Miss Ani adalah pelakunya. Dia sudah melotot, hampir menjatuhkan bola matanya sendiri saking jengkelnya. “Jangan bermimpi. Rayland akan membunuhku saat tahu kamu melewatkan kelasku lagi dengan banyak alasan.” Miss Ani semakin marah, sementara sulur-sulur auranya kian pekat.

      “Huh!”

      Pada akhirnya, Anya mendengkus. Ia memilih menyerah. Namun diam-diam Miss Ani menghela nafas lega.

Karena sejujurnya,

.

.

.

Anya selalu membuatnya sial!

      “Ayah, apakah anda ingin menambah lauknya? Semua ini makanan kesukaan Ayah 'kan? Biar ku ambil 'kan.”

      Sudah pasti suara lembut dan semerdu alunan lagu melow itu adalah milik Tania. Bibirnya tertarik, membentuk satu senyuman manis yang luar biasa cantik. Anya pernah berpikir, apakah otot-otot diwajah Tania terbuat dari karet, sehingga elastis untuk tersenyum setiap saat.

   Ramlan tersenyum. Sangat senang dengan sikap perhatian menantunya. “Ah, tidak perlu. Ayah sudah merasa kenyang.” Sekali lagi, dia tersenyum. Nyatanya, di balik penampilannya yang sangar, Ramlan sangat suka dimanja. Jadi ketika menantu kesayangannya selalu menawarinya untuk menambah porsi makannya. Ramlan benar-benar bahagia.

        Seperti inilah menantu yang ia harapkan.

        “Kalau begitu biar aku yang makan semuanya.” Anya menyengir, menatap Tania yang balas mengangguk sembari tersenyum padanya. Mengabaikan Ramlan yang sudah berasap di tempat duduknya. Manik pria baya itu memerah, lalu melotot jengkel.

      Tatapan Ramlan seketika berubah datar, ketika maniknya menemukan Anya bergerak meraih semua sisa lauk yang kebetulan adalah makanan favoritnya, tanpa meminta persetujuan apapun darinya. Matanya memicing, merasa sebal dengan tingkah Anya yang seenaknya. Tatapannya semakin datar saat melihat gadis itu makan dengan rakus. Padahal, jatah makan malamnya sudah habis, bahkan sudah tambah beberapa kali—dan sekarang gadis itu ingin lagi?

      Benar-benar—

       “Makan perlahan, Anya. Kamu bisa tersedak dan aku tidak ingin repot saat kamu mati.”

       Uhukk!!

       Anya tersedak sungguhan. Perkataan Rayland benar-benar berhasil menembus tenggorokannya. Membekukannya saat itu juga. Tanpa diingatkan pun, dia akan berhati-hati.

       Cepat-cepat gadis itu mengambil gelas berisi air, yang disodorkan Ui. Siapa yang tahu wanita aneh itu tengah menatap Anya berbinar.

       Oh hell—berbinar? Kak-ipar nya ingin ia mati sepertinya?

       Sialan!

       “Rasakan! kenapa tidak sekalian kam—”

        “Rendi," Tania memotong. "Kalau sudah selesai, lebih baik kamu ke kamar dan belajar?” Tania menatap Rendi memelas, seolah meminta pemuda itu untuk tidak membuat keributan.

        Rendi terdiam, tidak sampai hati menolak keinginan Tania.

         “Hmm, benar juga. Tapi mungkin akan lebih seru andai Rendi melempar Anya dari lantai dua. Oh! Itu terdengar lucu 'kan, Sayang?” Rangga ikut menambahkan, sementara matanya melirik istrinya—Ui—yang balas tersenyum menyebalkan. Seolah-olah mereka berdua sangat menikmati ketika itu terjadi.

      Tetapi karena perkataan itu, Tania justru memunculkan sulur-sulur biru muda, menandakan sebentar lagi akan menangis.

        Anya hanya bisa mendelik jengkel. Ucapan kakak iparnya sama sekali tidak disaring terlebih dahulu sebelum keluar dari mulutnya. Sekarang, Anya yakin jika kakak ipar kedua beserta istrinya adalah psycho. Mereka seolah menginginkan ia mati ditangan Rendi, dalam keadaan sadis. Itu adalah lelucon untuk mereka.

       Dilempar dari lantai dua?! Oh, yang benar saja!

       “Anya, kembali ke kamar!”

       Anya makan dengan kecepatan tidak wajar. Mendengar perintah Rayland telah keluar dari mulut cabainya. Ia harus segera ke kamar, dan melakukan jam pelajaran tambahan dengan gurunya yang tentu saja adalah—Rayland sendiri.

        Anya sudah menantikannya!

      Mata gadis itu membesar. Melihat Rayland sudah melangkah menuju tangga yang akan membawanya menuju lantai dua, di mana kamar mereka berada. Anya semakin panik.

       “Anya, makan pelan-pelan,” Tania menegur.

      “Aku sudah selesa!”

        Setelah minum dengan tergesa-gesa, Anya segera berlari menuju tangga dan menyusul Rayland, yang sudah hampir sampai di ujung tangga atas.

        “Astaga anak itu!” Ramlan menggeleng gemas, takjub dengan tingkah menantunya. Benar-benar membuat sakit kepalanya bertambah.

Oh, Tuhan! Ramlan merindukan,

.

.

.

ketenangan.

Anya memutar pensil dalam genggamannya. Mata bulatnya membesar, melihat soal-soal yang melambai seakan meminta untuk segera diselesaikan. Sayangnya, gadis itu benar-benar buntu, sama sekali tidak tahu mengerjakannya. Sejatinya, soal-soal itu nyaris serupa dengan soal yang ada di sekolahnya dulu. Namun karena ini Anya, ia pikir situasinya sama saja—sama-sama tidak bisa ia jawab.

      Mengangkat kepala. Anya mendapati Rayland  sedang duduk di kursi kebesarannya. Tangannya memegang berkas dari kantor, seperti biasanya. Huh! Sungguh workaholic. Anya bahkan tidak ingin membayangkan bagaimana berada di posisi pria itu, masih saja bekerja bahkan saat di rumah, sekalipun ia adalah bosnya.

       Itu sungguh mengerikan!

       Anya sungguh tidak ingin mencobanya.

       “Ada apa? Ada yang sulit? Bukankah tadi sudah ku jelaskan?”

      Pertanyaan beruntun pun terdengar. Rayland menyadari tatapan istrinya yang terus-menurus melihat ke arahnya. Ia pikir Anya punya kendala mengerjakan soalnya.

       Anya terkesiap. Kemudian tersadar apa yang baru saja ia lakukan.

       “Hah?! Tidak ada,” gadis itu berkilah.

       Rayland mengangkat sebelah alis. Netranya yang segelap malam menatap Anya dengan tatapan memastikan. Anya langsung saja merona—ketahuilah—gadis itu jatuh cinta, pada suaminya sendiri.

     Memalukan!

     Ia bahkan tidak tahu kapan tepatnya mulai menyukai Rayland. Faktanya, ia akan merona dan terkadang merasa senang saat Rayland memberinya sedikit perhatian. Hanya saja, perkataan Rayland yang pedas tidak bisa dipungkiri, terkadang membuatnya sakit hati. Namun, itu bukan alasan untuk merasa menyesal telah melabuhkan hatinya kepada pria tampan itu.

        “Lalu mengapa terus melihatku?” Rayland masih terus bertanya.

        Anya jadi salah tingkah. “Aku tidak!”

        “Yah, kamu melakukannya, Anya.”

        Anya menghela nafas. Menyadari ia tidak lagi bisa berkelit.

        “Aku tidak bisa mengerjakannya.” Anya berterus terang. Meski begitu, matanya melirik dengan takut-takut. Tatapan Rayland terlihat suram.

        “Aku tidak tahu bagaimana otakmu bekerja, sungguh bodoh!” Anya membuang nafas lelah, Menyadari ia dikatai pedas lagi.

       Tatapan gadis itu kemudian beralih, menemukan Rayland yang kini meraih buku pelajaran. Membukanya dengan gaya elegan, seperti biasa. Pria itu selalu terlihat mempesona apapun yang dilakukannya.

       Dan Anya selalu suka terpukau dengannya.

        Betapa menyenangkannya, melihat Rayland  mengulang kembali penjelasan yang sama—entah  yang keberapa kali. Bibir pria itu bergerak, seumpama bunga mawar yang baru saja mekar. Kemudian jemarinya yang panjang dan kekar, bagai boomerang yang siap meledakkan Anya. Dasarnya, gadis itu saja yang terlalu bodoh. Pikirannya bahkan telah melayang ke mana-mana. Tidak pernah benar-benar memperhatikan, saat suaminya yang tampan mulai memberikan penjelasan mengenai pelajaran.

      Jadi, bagiamana dia akan menjawab soalnya dengan baik.

      Kendati mata bulatnya terlihat sangat fokus,  tidak berkedip sama sekali. Sayangnya, fokus itu bukan untuk pelajaran yang tengah Rayland jelaskan, melainkan justru kepada pria itu. Anya tidak akan melewatkan betapa indahnya Rayland di saat-saat seperti ini.

       Tidak menyadari, sulur-sulur auranya perlahan terlihat semakin menyala merah muda. Itu terjadi saat ia sangat-sangat bahagia.

        “Aku akan memukul kepalamu saat melihat lembar jawabanmu masih kosong, Anya.”

      Rayland tiba-tiba bersuara, dan ketika Anya mulai menyadari penjelasan Rayland telah berakhir, ia sungguh panik sendiri. Tatapan pria itu bahkan kian dingin menatapnya.

      Anya gelagapan.

       “Ah, baik-baik. Ini akan selesai dalam waktu 2 jam.”

       “10 menit!” Rayland menegaskan.

       “Tidak! 59 menit saja.”

       Buk!!

        Anya cemberut, meringis sakit saat kepalanya kembali dihadiahi pukulan dari buku. Ia benar-benar akan mati jika tidak mengerjakan soal itu sekarang. Dia tidak ingin terlihat semakin bodoh di hadapan Rayland.

      Tidak!

       Anya ingin terlihat sebagai wanita seksi yang cerdas. Hoho~

      Namun, ia bahkan tidak mendengar apapun saat Rayland menjelaskan pelajaran. Ohh!! Ia benar-benar idiot.

      Beberapa menit berlalu ....

     Anya sudah mirip cacing kepanasan. Berulang kali nerta coklatnya melirik Rayland yang masih fokus memeriksa laporan kantornya yang menumpuk. Bahkan sekarang sudah hampir habis. Sementara Anya sama sekali belum menyelesaikan soal-soalnya dengan benar.

      Jadi, Anya tidak punya pilihan selain menggambar bentuk hati di kertasnya. Itu lebih baik dari pada membiarkan lembar jawabannya kosong, bukan? Siapa yang tahu Rayland akan ikut menggambar bentuk yang sama.

       Anya menyeringai diam-diam.

      “Sudah?” Rayland menatap Anya.

       “Hah? Apa?”

        Tatapan Rayland berubah datar. Sebaliknya, Anya meneguk ludah dengan kasar. Ini tidak baik.

        “Aku bertanya apakah sudah selesai, berikan padaku dan akanku periksa!”

       Anya gemetaran, tetapi tangannya tetap meraih kertas jawabannya, lalu menyodorkannya kepada Rayland. Ketika kertas itu telah berpindah tangan. Anya menahan nafas, dan semakin lama, saat menyadari tatapan Rayland berubah suram. 

     Perlahan tapi pasti, sulur-sulur hitam pudar di sekitar pria itu mulai terlihat.

      Gadis itu menelan ludah.

Hari ini Anya benar-benar,

.

.

.

tamat.

       Anya menatap Rendi dengan dingin. Rendi sendiri menatap Anya tidak kalah dingin. Sementara Tania di antara kedua remaja itu menahanselamat. Jangan sampai keduanya saling membunuh di tempat umum seperti ini. Dan berakhir membuatnya pingsan hingga terjadi kehebohan.

        Mereka sedang berada di salah satu Mall di pusat kota untuk membeli keperluan pribadi, atau sekedar berbelanja hal lain. Namun sejujurnya, agenda berbelanja mereka bertiga hari ini lebih kepada perintah Rayland, yang menyuruh Tania agar memilihkan pakaian untuk Anya. Yang selera fashionnya sungguh membuat sakit mata.

      Sebaliknya Rendi, ditugaskan menjadi pengawal pribadi dadakan mengingat Antonio tidak bisa menemani. Tetapi sepertinya Rayland salah memilih pengawal, karena nyatanya bahaya itu ada di antara Rendi dan Anya sendiri. 

     Tania sudah ingin menangis melihat mereka berdua mulai adu jotos. Orang-orang di sekitar pun tidak ingin ketinggalan dan ikut menyoraki.

        Oh, astaga! Bagaimana bisa mereka tersenyum saat melihat adegan pembunuhan di depan mata.

        “Ayo, mari kita lihat siapa yang akan mengambil sepatu itu, kamu atau aku?” Lagi-lagi Anya menyulut emosi Rendi yang sudah berada di ambang batas.

        “Kamu tidak akan punya kesempatan bahkan hanya untuk menyentuhnya sedikitpun.” Rendi menunjuk sepatu mahal yang menjadi rebutan keduanya, dengan raut mengeras.

          Anya tidak ingin kalah, ia berkata, “kalau begitu langkahi dulu mayatku.”

         Rendi menyeringai. “Tentu. Akan kupastikan untuk menginjaknya.”

        Anya melotot.

         “Kamuu!!” Anya menunjuk Rendi dengan geram, sementara giginya bergelatuk jengkel. Tangannya yang bebas mengambil sapu—entah dapat dari mana. Lantas mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang Rendi saat itu juga, jika saja ....

       “Anya! Septian! BERHENTI!”

      Gerakan keduanya berhenti. Berbalik, mereka kemudian menemukan Tania yang terlihat geram. Kendati demikian, tatapannya tidak bertahan lama. Wanita cantik itu, kini kembali menampakkan senyum manis.

       “Ayo, kita pergi sekarang. Masih banyak pakaian yang perlu Anya coba.”

      Keduanya mendengkus. Meski begitu, mereka menurut dan mulai melangkah meninggalkan kerumunan orang yang menatap kecewa. Sebab, tidak melihat adanya adegan sadis penuh cinta, seperti yang mereka harapkan. Beberapa bahkan bersorak melepas kepergian ketiganya.

       Aneh!

       Benar-benar orang aneh.

        Sepanjang hari yang melelahkan, Tania masih saja menyeret Anya dan Rendi untuk mengikutinya, sementara langkah keduanya terlihat berat dan penuh kemalasan; berpindah menuju tokoh satu ke toko lain. Tangan kedua bocah itu bahkan telah dipenuhi puluhan belanjaan. Anya cemberut, ini sungguh merepotkan.

        “Kak pulang saja, yah. Aku sudah lelah.” Anya memelas sembari menatap Tania yang masih saja sibuk memilah baju dan pakaian. Mencoba memastikan, pakaian pilihannya cocok dengan Anya.

       Tanpa mengindahkan, jika gadis itu tidak lagi menemukan raut kebahagianan di wajahnya sendiri. Tidak jauh berbeda dengan Anya—Rendi bahkan telah ditenggelamkan dalam rasa jengkel tak berkesudahan, dikarenakan kedua perempuan itu. Ia mendesah setelahnya. Bisa-bisanya ia ikut ke tempat seperti ini dan berakhir membuatnya dirundung kebosanan didampingi lelah berkepanjangan.

            Oh! Andai saja ia bisa melawan Rayland. Maka hal pertama yang akan ia lakukan ialah, menendang Anya keluar dari rumahnya. Bahkan jika itu harus menetang tradisi keluarganya yang aneh.

        Rendi tidak peduli lagi!

       “Berapa lama lagi, sih? Aku mau pulang saja.”

         Tatapan Tania beralih kepada Rendi, lalu setelahnya pada Anya.

        “Tidak ada kata pulang sampai uang yang diberikan Rayland habis. Kamu tahu 'kan, pria dingin itu akan sangat marah saat perintahnya tidak dipatuhi,” Tania berkata sembari masih saja tersenyum, tanpa dosa. Mengabaikan tampang menyedihkan milik Rendi dan juga Anya.

       “Huh!!” Rendi memilih mendengkus, tepat setelah mendengar ucapan Tania yang memang ada benarnya. Ia diam, mengikuti kemanapun kedua perempuan itu pergi.

        Rendi hanya tidak ingin terkena amukan kakaknya.

        Oh, sungguh! Sudah cukup!

         Berjam-jam berlalu dan mereka akhirnya pulang. Tiba di mansion, Anya langsung menuju kamar dan meletakkan puluhan tas belanja secara sembarangan. Beruntung, sebab penghuni lain yang menempati salah satu ranjang king size di kamar itu sedang tidak ada. Jadi, katakanlah, saat ini Anya berada dalam zona aman.

        Gadis itu sedang tiduran di ranjangnya. Di dalam kamar terdapat dua ranjang, satu ranjang utama berukuran king size—biasa ditebak itu milik siapa. Dan satu ranjang lagi berukuran sedang, tepat di sebelahnya. Kedua ranjang hanya dibatasi meja kecil seleber 50 cm dengan lampu tidur di atasnya. Selebihnya, tidak ada apapun lagi.

       Anya kemudian mengangkat wajah dari timbunan bantal. Ketika sayup-sayup mendengar  sebuah suara yang ia duga berasal dari sebuah ponsel. Tatapannya beralih pada ponsel pintarnya yang tergeletak di dekat kaki. Dahinya mengernyit. Itu bukan berasal dari ponselnya. Jadi milik siapa?

      Anya segera bangkit. Mulai menelusuri kamar besar milik Rayland guna mencari beradaan ponsel tersebut. Tidak menemukan apa-apa di sekitar ranjang, Anya melangkah masuk ke dalam walk-in-closet. Tetapi tetap saja, ia tidak menemukannya.

      Netra cokelatnya pun berbinar, saat melihat sebuah ponsel mahal berwarna hitam. Tergeletak begitu saja di atas meja, di dalam ruang kerja milik Rayland. Ponsel itu hampir tidak terlihat sebab beberapa bagiannya tertutupi oleh tumpukan kertas.

      Dengan semangat 45, Anya bergerak mengambil ponsel itu. Senyumnya yang semula secerah matahari siang, tiba-tiba meredup secara perlahan. Ketika melihat sebuah nama asing tertera di layar ponsel milik suaminya—Rayland. Tanpa sadar, sulur abu-abu yang suram perlahan merambat dan mengelilingi tubuhnya yang segera saja terasa kaku.

       Seharusnya, ia sudah menebak hal ini!

       Seharusnya, ia tidak perlu terkejut.

      Tapi tetap saja, ia tidak bisa menerimanya.

       Tepat di layar ponsel milik Rayland, tertera sebuah nama yang membuat kaki Anya melemah bagai jeli.

      Sweety!

       Tidak hanya menampilkan sebuah nama yang membuat hati Anya serasa diremas. Faktanya, gambar seorang wanita cantik tengah tersenyum bahagia, merupakan background terburuk dalam hidup Anya. Menertawai sosoknya yang menyedihkan.

      “Apa yang kamu lakukan di sini?”

      Anya terkesiap, lantas berbalik, kemudian matanya membesar sesaat setelah mendapati sosok Rayland di ambang pintu masuk ruang kerjanya. Anya mulai panik saat melihat sulur-sulur aura pria itu perlahan berubah menjadi hitam pekat, ketika netra segelap malam miliknya mendapati ponsel pribadinya yang tertinggal di ruang kerjanya—berada di tangan Anya.

Anya tahu, mungkin kemarin ia masih bisa selamat.

.

.

.

Tetapi sekarang tidak lagi. Kali ini ia benar-benar akan tamat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status