Share

CHAPTER 4 Bukan Siapa-Siapa

      Anya sungguh terkejut mendapati Rayland sudah berada tepat di depannya. Mengapa pria itu ada di sini? Tidak biasanya pulang sangat cepat. Ataukah karena menyadari ponsel yang selama ini tidak pernah lepas dari tangannya—tiba-tiba tidak berada di sekitarnya—dan menyadari bahwa ponsel itu tertinggal di rumah, di ruang kerjanya?

      "Berikan ponselku, Anya!" titah Rayland tertahan, mencoba meredam emosinya yang membara.

       Gadis itu bergeming.

        Anya tidak tahu harus melakukan apa. Ia sungguh tidak ingin menyerahkannya. Anya merasa perlu memastikan siapa wanita yang beberapa saat lalu menelfon suaminya. Oh! Sekarang ia bahkan terdengar bagai istri yang tengah memergoki suaminya selingkuh.

       Tetapi, kenyataannya memang terdengar demikian. Melihat aura Rayland yang paling ia hindari sampai muncul hanya karena melihatnya berada di ruang kerjanya, sembari memegang ponselnya. Menjadi bukti ada sesuatu yang tidak beres.

       Anya menatap Rayland tepat di mata.

       Dia harus bertanya!

       "Seseorang menelfon mu." Tatapan Anya berubah serius. Meski begitu, ia tidak dapat  menyembunyikan rasa takutnya di hadapan pria itu. Mau tidak mau, Anya harus mendongak untuk menatapnya sebab faktanya Rayland sungguh tinggi. Anya menginginkan kesan jika ia sama sekali tidak terintimidasi.

       "Dia seorang wanita. Rayland, siapa dia?" Anya bertanya langsung. 

       Rayland terdiam. Pria itu tidak berpikir jika Anya akan menanyakan hal tidak penting seperti ini.

      "Bukan siapa-siapa. Sekarang berikan ponselku!" Rayland tampak setengah hati menjawab. Dia sama sekali tidak serius.

       Anya tidak puas!

       "Tidak mau. Rayland siapa wanita itu?!" Anya memasang tampang terluka, ia sedih Rayland tidak mengerti perasaannya.

       Gadis itu kecewa!

        Rayland memandang Anya dengan tatapan datar andalannya, lantas bersedekap di hadapan gadis itu. Kemudian tatapannya berubah meremehkan.

        Tidak ingin terintimidasi, Anya balas menatap dengan pandangan tidak kalah serius. Mencoba untuk tegar.

      "Kamu bukan siapa-siapa bagiku. Jadi, kamu tidak berhak."

      Anya meringis merasakan ulu hatinya serasa diremukkan. Dia tercekat. Dan suhu ruangan seolah berubah dingin menyiksa.

      Rasanya sangat sakit!

       "Aku punya," Anya mencicit. Matanya sudah hampir berkaca-kaca, tetapi ia bertahan untuk tidak menangis saat itu juga.

       "Tidak!"

       Pria itu meninggikan suaranya seakan menegaskan perkataannya tidak bisa dibantah. Lagi-lagi Anya terdiam. Tubuhnya beku dan tidak mampu bergerak.

       Anya menundukkan pandangannya, mengigit bibir sementara ia tidak menyadari jika cairan bening lolos dari matanya. Menetes dan membelah pipinya yang pucat. Dengan suara bergetar ia berkata, "tapi kita sudah menikah dan kalian yang datang mela__"

       "Anya!" potong Rayland. Tetapi Anya sama sekali tidak ingin mengangkat wajah dan menatapnya. Ia hanya akan berakhir menangis saat melihat bagaimana pria itu memandangnya seolah ia adalah sesuatu yang salah dan tidak pantas.

      Kenapa Anya harus merasa seperti ini?

      Apa karena ia menyukai pria itu?

      Mungkin saja.

       "Kuberitahu padamu. Aku tidak pernah berniat menikahimu untuk dijadikan istri atau menjadikanmu ibu dari anak-anakku kelak, atau apapun yang berhubungan dengan pernikahan." Rayland menghela nafas, tatapannya yang dingin, dan wajahnya yang tampak mengeras, membuatnya tidak dapat ditebak. "Aku menikahimu hanya untuk melaksanakan tradisi aneh keluarga ini, aku tidak bisa menolak. Jadi, kutekankan padamu untuk tidak mencampuri urusan pribadiku. Begitupun sebaliknya."

       Anya terganggu dengan pernyataan Rayland.

       "Tapi, bagaimana jika aku menyukaimu."

        Untuk sesaat, Rayland terdiam mendengar pengakuan Anya yang tiba-tiba. Tatapannya kian datar juga dingin. "Aku tidak pernah memintamu menyukaiku," ia menjawab tenang, tanpa perasaan.

       Anya merasa marah!

       "Kenapa?! Apa karena aku jelek?! Bodoh?! Atau kerena aku masih 17 tahun?!" Tatapan Anya semakin redup saat menyadari sesuatu. "Ah! Apa karena wanita itu? Kamu berselingkuh 'kan?" tuturnya, sembari tersenyum miris.

       Kenapa ia menjadi sangat halu. Tetapi Anya tidak peduli.

       Rayland tidak mengatakan apa-apa. Tetapi Anya sangat yakin perkataannya sangat tepat. Tetapi kemudian Anya meresa sedikit takut, ketika aura mengancam menguar dari tubuh pria itu. Bibirnya yang sedikit merah bergerak, mulai mengatakan sesuatu, sementara tatapannyan begitu beku.

       "Karena kamu sangat ingin tahu, maka akan kukatakan." Rayland tidak melepaskan tatapannya yang dingin melebihi suhu di Antartika, kepada gadis remaja itu. Ia justru menatap Anya dengan lekat. Seakan mengatakan ia sedang tidak bermain-main.

       "Seperti yang kamu bilang. Aku memiliki wanita dan dia adalah yang kamu lihat diponselku. Apa itu cukup?"

       Anya tidak bisa berkata apa-apa lagi.

       Dia benar-benar merasa sakit sekarang.

        Sampai pada Rayland meninggalkannya di dalam ruang kerja seorang diri. Anya masih terdiam, merenungi perkataan Rayland. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini saat wanita itu datang, dan menendangnya pergi. Dia sungguh tidak ingin ke mana-mana. Ia ingin bersama Rayland dan memiliki pria itu seorang diri. Dia ingin egois untuk yang satu ini.

       Gadis itu bertekad, untuk memisahkan mereka.

       Anya menyeringai!

Karena sejujurnya tidak ada yang menyangka,

.

.

.

gadis seperti Anya adalah gadis penuh ambisi.

      "Bisa tolong bantu aku?"

       Pelayan yang sedang membersihkan halaman belakang mansion menoleh, ketika suara seseorang terdengar meminta bantuan kepadanya. Dia kemudian membungkuk, melihat menantu ketiga  Adiptara berdiri di sana sembari tersenyum.

       Pelayan itu mendekat. "Apa yang bisa saya bantu, Nona?" ia bertanya dengan sopan.

      Anya menarik ujung baju si pelayan. Menatap sekeliling taman belakang, lantas menyeret pelayan yang usianya ia taksir berada dikisaran dua tahun lebih tua darinya, menuju ke arah rimbunan pepohonan tidak jauh dari sana.

      Setelah memastikan tidak ada seorang pun yang melihat, Anya menatap si pelayan, sementara auranya terlihat; menampilkan raut ketakutan.

        "Maaf mengganggumu," Anya memulai. "Tetapi aku perlu bantuanmu untuk menjawab pertanyaan ku."

        Pelayan itu menelan ludah.

        "Apa itu, Nona?" ia menjawab takut-takut. Pasalnya, Anya terkenal karena tingkah rusuhnya. Dia takut, Anya akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya. Heh! Apa Anya sejahat itu?

        "Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?"

        Si pelayan tampak berpikir. Kemudian menjawab, "saya sudah tinggal di sini sejak kecil, keluarga kami sudah lama mengabdi kepada keluarga Adiptara. Tetapi, saya baru bisa bekerja sebagai pelayan 3 tahun yang lalu. Lagi pula semua pelayan yang bekerja di sini tidak bisa lagi meninggalkan mansion, termasuk keluarga saya. Ini dilakukan untuk menjaga kerahasian Adiptara."

       Si pelayan terlihat heran. Keningnya berkerut dan wajahnya menunjukkan gurat kebingungan. "Apa Nona ingin menanyakan sesuatu yang lain?" Keraguan tercetak jelas di wajahnya setelah menjelaskan aturan para pelayan di mansion ini. Ia merasa aneh, sebab Anya menanyakan hal seperti itu padanya.

       Benar bahwa, para pelayan di mansion merupakan para pengabdi. Mereka telah bekerja di mansion Adiptara selama turun temurun. Siapapun tidak akan bisa keluar dari mansion karena telah memegang rahasia keluarga itu.

       Sebaliknya, nasib Anya tidak jauh berbeda dengan para pelayan tersebut. Dia tidak akan bisa keluar dari keluarga ini, apapun alasannya—istilahnya, sekali masuk maka tidak ada jalan untuk kembali. Anya menghela nafas, menyadari betapa buruk nasibnya sekarang. Ia akan hidup bersama Rayland seumur hidupnya, kendati sejujurnya ia menyukai fakta itu. Tetapi jika harus berbagi dengan wanita lain, ia sungguh tidak rela.

      Huh!

       Anya bertekad tidak akan membiarkan siapapun menempati posisi yang sama dengannya. Sebagai istri dari Rayland.

      Posisi itu mutlak hanya untuknya!

      "Jadi, sudah cukup lama, yah." Anya kembali menemukan kesadarannya.

      Pelayan itu mengangguk.

      "Apa kamu juga tahu siapa wanita yang pernah Rayland bawa ke rumah ini?"

       Kening si pelayan semakin mengerut, mencoba mengingat siapa saja wanita yang pernah tuan muda ketiga bawah masuk ke dalam mansion. Tetapi, setelah di ingat-ingat, tuan mudanya itu tidak pernah mengajak siapapun, terlebih lagi seorang wanita, kecuali ....

       "Ah!!"

        Anya berbinar, melihat pelayan itu tampak mengingat sesuatu.

      "Jadi ada?"

        Si pelayan mengangguk.

        "Yah, aku ingat. Beberapa hari sebelum anda menikah dengan Tuan muda ketiga, beliau membawa seorang wanita yang sangat cantik untuk makan malam di mansion ini, tetapi aku melupakan namanya ...,"

        Lagi-lagi si pelayan berpikir, mencoba mengingat siapa nama si wanita. Hanya saja, saat kedatangan wanita itu, semua pelayan membicarakan kecantikannya yang katanya secantik musim semi.

        Musim semi?

        "Ah! Amora Sanh Spring. Yah, aku yakin itulah namanya." Tetapi kemudian, pelayan itu berubah ketakutan saat melanjutkan, "dan dia adalah tunangan Tuan muda ketiga."

      "Tunangan?" Anya membeo, bibirnya bergetar setelahnya.

       Pelayan itu buru-buru menjelaskan, "Nona, maafkan saya, tetapi Nona Amora memang tunangan Tuan Rayland, bahkan kabarnya kedatangannya malam itu adalah untuk membicarakan pernikahan mereka. Tetapi, semua terkejut saat Anda datang 3 hari kemudian dan telah menjadi istri Tuan muda."

       Anya terdiam—ia merasa syok.

      Jadi sebenarnya, wanita itu adalah tunangan Rayland.

      Alih-alih selingkuhannya?

      Pantas saja Rayland berkata Anya bukan siapa-siapa.

      Kemungkinan besar, ini alasan mengapa pria itu enggan memberi nama belakang Adiptara padanya. Karena sejatinya, nama belakang itu telah lebih dulu dimiliki seorang—Amora Sanh Spring—yang katanya secantik musim semi.

      Seketika pikiran Anya kalut.

       Ini tidak benar.

       Anya bungkam. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia segera berlari pergi dari sana. Dia bahkan menghiraukan pelayan yang kini menampakkan aura abu-abu suram; menandakan betapa takutnya dia sekarang. Tidak mengindahkan, betapa pun si pelayan memanggilnya sembari meminta maaf.

        Merasa dalam masalah besar, pelayan itu hanya bisa menunduk sembari menghela nafas, sementara punggung Anya sudah menghilang di balik dinding mansion.

Dan ia hanya bisa pasrah.

.

.

.

Untuk menghadapi masalah ke depannya.

        Seminggu setelah kebenaran itu, Anya berubah menjadi lebih pendiam. Ia mengurung diri di kamar dan hanya akan keluar jika tiba waktu makan, juga belajar dengan Miss Ani di perpustakaan. Beruntung, sebab selama seminggu ini Rayland sedang dalam perjalanan bisnis dan membawa serta pengawalnya, Antonio. Jadi, ia tidak harus berhadapan dengan pria itu untuk sementara waktu.

       Sungguh, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa nantinya.

       Ia merasa bersalah!

       Dia bahkan dengan lancang mengatai Rayland berselingkuh.

      Huh! Berselingkuh? Anya idiot!!

       Ia mengutuk diri sendiri; sebab menjadi penyebab dan penghalang Rayland menikahi wanita yang ia cintai. Lalu tanpa tahu malu, berpikir untuk memisahkan mereka.

      Gadis itu merasa bodoh sendiri.

      Ia harus ingat bagaimana pedihnya ketika ayahnya meninggalkan ibunya untuk wanita lain. Lantas, menitipkannya di panti asuhan saat berusia 5 tahun.

      Anya benci penghianatan!

      Oh, dia sungguh ingin melupakan kejadian itu.

      Anya mungkin gadis yang cukup berambisi, pemberontak, dan rusuh. Tetapi sesungguh, ia merupakan salah satu yang paling menentang siapapun itu, yang berusaha merusak hubungan orang lain serta membuat orang-orang sekitar pun ikut terluka. Mungkin karena pengalaman pribadinya dengan keluarganya sendiri, lantas membuatnya begitu sensitif dengan hal seperti ini.

       Bodohnya ia saat berpikir Amora mencoba merebut Rayland darinya. Nyatanya, dialah sang perebut itu sendiri, bagai benalu. Anya semakin merasa sangat buruk. Sekarang, apa bedanya dia dengan wanita yang telah merebut ayahnya. Para perempuan perebut suami orang. Gelar itu benar-benar menjijikkan.

       Anya merasa frustasi!

       Dan ia merasa begitu naif juga plin-plan.

       Suara ketukan di balik pintu kamar membuat Anya tersadar. Ia melihat pintu jati itu sejenak, kemudian bangkit dari tempat tidur untuk membukanya. Ketika pintu kamar terbuka, wajah Ramlan terlihat, sembari pria itu menatapnya dengan prihatin. Apakah wajahnya begitu menyedikan? Hingga mertuanya sendiri pun ikut menatapnya kasihan. Rasanya bagai diremas, sampai tulang-tulangmu rontok.

       Rasanya, sangat sulit bahkan hanya untuk mengambil nafas.

      "Ayah? Ada apa?" Anya bertanya, sebab Ramlan tidak kunjung mengatakan sesuatu dan hanya melihatnya. Anya tidak ingin terus dikasihani. Seperti pengemis.

      Ramlan menghela nafas. "Sekarang waktunya makan malam. Para pelayan bahkan sudah menyerah mengetuk kamarmu."

      Anya terhenyak, "benarkah? Tapi aku tidak mendengar suara apapun sebelumnya."

      Untuk kedua kalinya, Ramlan menarik nafas. "Kamu pasti melamun lagi. Sudahlah, segera bergabung di ruang makan, semua orang sudah menunggu."

      Anya mengangguk. Lalu kembali menutup pintunya untuk bersiap-siap lebih dulu. Dia harus membenahi diri. Penampilannya sekarang jauh lebih buruk dari pada tong sampah yang belum diangkut. Dia tidak ingin, lebih banyak lagi yang melihat keadaannya.

       Mertuanya sudah cukup.

       Usai makan Anya tidak langsung ke kamar. Entah setan apa yangg merasukinya, gadis itu dengan nekat menuju kamar Rendi. Dan sekarang mulai mengetuk pintu besar di hadapannya dengan perlahan. Ketika pintu itu terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah wajah garang milik adik iparnya.

       "Mau apa kamu, hah?" hardik Rendi tiba-tiba.

        Anya tidak mengatakan apa-apa, tetapi mendorong pemuda itu kembali masuk ke dalam kamar, lalu mengikutinya. Rendi sontak mengamuk, namun Anya yang kuat mampu menghadapi pemuda itu, bahkan menenangkannya. Setelah bertengkar beberapa menit yang melelahkan, Rendi akhirnya mau mengalah dan diam. Mereka berdua duduk sisi kasur yang berjauhan sembari saling membelakangi.

       "Jadi, ada apa?" Rendi bertanya dengan dingin. Tetapi itu lebih baik dari pada mengamuk seperti  sebelumnya.

        "Apa kamu tahu tentang Amora Sanh Spring?" Anya memutar tubuhnya, menghadap Rendi yang masih membelakanginya.

       "Tentu. Kalau kamu tidak datang, mungkin sekarang Amora yang akan menjadi kakak iparku. Dan aku menyukainya, sebab dia lebih cocok dengan Kak Rayland." Rendi memutar tubuh sementara tatapannya bertemu dengan Anya. "Tidak sepertimu, huh!"

       Anya menghela nafas.

       Ia harus menahan diri, untuk tidak mengirim Rendi kekandang buaya dan membiarkan pemuda itu mati di sana. Ia harus tenang, demi sebuah informasi penting.

      "Rendi, apakah Rayland mencintai Amora?"

       Rendi menatap Anya dengan sakras. "Apa yang kamu harapkan. Tentu saja Kak Rayland sangat mencintai Amora. Pria dingin itu bahkan rela menjadi seorang bucin." Rendi tidak mungkin berbohong. Auranya menunjukkan sesuatu tentang kebenaran. Anya tahu itu.

       Jadi benar, mereka saling mencintai.

       Keputasan Anya sudah bulat. Mungkin ia tidak akan bisa keluar dari rumah ini. Tetapi untuk menebus kesalahannya pada Amora­­, gadis itu bertekad menyatukan kembali Amora dan Rayland. Apapun caranya, ia harus melakukannya. Sekalipun jika harus di madu.

       Katakanlah ia tidak komsisten terhadap tekadnya, plin-plan, atau bahkan naif. Tetapi, ia hanya akan melakukan yang dirasanya benar. Dan menyatukan keduanya adalah tindakan benar meurutnya. Sebab sejak awal, Anya bukan siapa-siapa.

       Lalu bagaimana dengan perasaannya sendiri?

       Anya tentu tidak akan berhenti menyukai pria itu. Tetapi ia pun tidak bisa mengharapkan apa-apa dari Rayland di masa depan. Memutuskan menjadi bayangan, terdengar lebih baik dari pada harus menanggung beban sebagai seseorang yang telah menghancurkan kebahagiaan orang lain. Anya tidak mau.

      Dia harus memikirkan perasaan Amora.

      "Rendi, bisakah kamu membantuku?"

       Sinisme terpancar dari raut wajah Rendi. "Tentu saja tidak!" pemuda itu menjawab ketus.

       "Tapi ini tentang Rayland. Bantu aku menyatukan mereka lagi."

        "Hahahaha ...."

        Anya tertegun.

       Apa Rendi baru saja menertawainya. Belum juga Anya membalas tawa Rendi, pemuda itu telah mendahului, "tanpa kamu berusahan pun mereka berdua tetap akan menikah. Dengar Anya, Kak Rayland tetap akan menikahi Amora bahkan tanpa bantuanmu."

       "Kamu tidak berpikir kalau Kakakku menikahimu lantas kamu akan menjadi wanita satu-satunya, 'kan? Tidak. Baginya, kamu hanyalah kesialan. Kakakku sama sekali tidak berharap disentuh olehmu. Mereka bahkan sudah merencanakan bagaimana Amora akan menyentuhnya tepat saat ia berumur 25 tahun. Tapi sial memang, Amora yang malang malah didahului." Rendi mengeram. "Mengapa harus kamu," katanya.

        Anya tercekat. Rasa pahit mengaliri tenggorokannya, seolah empedu baru saja melewatinya dan meleleh di sana. Ia merasa bodoh.

        Mengapa? Mengapa ia memiliki takdir seperti ini.

        Entah karena perkataan Rendi yang terlalu menyakitkan, ataukah kerena ia tidak menyangkah bahwa dirinya sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan Amora di mata Rayland. Anya serasa ingin menangis. Anya menjadi terlalu lemah dan cengeng akhir-akhir ini. Lebih banyak melamun dan akan selalu berakhir menangis di dalam kamar.

       Tetapi sekarang, dia bahkan tidak peduli siapa yang ada di dekatnya. Anya hanya ingin menangis, kendati itu di hadapan Rendi sekalipun; musuh sekaligus adik iparnya. Pertahanan Anya runtuh hanya karena mendengar fakta bahwa Rayland sangat tidak mengharapkannya.

      Ia bahkan tidak memperdulikan Rendi yang akan mengejeknya nanti, ia tidak peduli—yang ia pikirkan saat ini adalah menumpahkan semuanya sekarang. Oh! Takdirnya tidak pernah baik. Ibu dan ayahnya meninggalkannya, menitipkannya di panti asuhan, dan sekarang, ia harus dinikahi oleh seseorang yang tidak akan pernah melihatnya.

        Gadis itu merasa kosong.

        Rendi terdiam. Pemuda itu merasa aneh melihat Anya yang biasanya begitu jahil, ceria, rusuh, dan pemberontak, tiba-tiba berubah lemah, bahkan sampai menangis di hadapannya. Karena tidak tahu harus melakukan apa, ia memilih keluar dari kamar dan menunggu di depan pintu yang tertutup--menunggu sampai Anya puas menangis.

      Rendi sendiri tidak mengerti dengan perasaannya.

      Mungkinkah, ia merasa bersalah karena menceritakan fakta itu dengan cara yang kejam?

      Ataukah ia hanya merasa kasihan saja?

      Entahlah.

Karena walau bagaimana pun,

.

.

.

Anya pasti akan tahu tentang hal ini. Cepat atau lambat.

      Antonio memasuki sebuah ruangan besar. Kemudian pria itu disuguhi ruangan mewah sekaligus berkelas dengan desain interior yang memukau. Ruangannya terlihat maskulin. Ketika masuk lebih jauh, ia telah mendapati sosok yang lebih mempesona dari apapun. Dan ia selalu mengaguminya.

      Di depannya berdiri sosok Rayland, pandangannya lurus pada view di luar bangunan yang dibatasi jendela kaca raksasa.

       Antonia berjalan mendekat. "Tuan," panggilnya. Kendati Rayland masih berada di posisi yang sama. Tidak menoleh bahkan menjawab. Tetapi, Antonio sadar, dia masih harus melanjutkan perkataannya.

       "Nona menangis lagi," ia melanjutkan.

        Rayland masih bergeming. 

       "Dia menangis, di kamar Tuan muda Rendi."

       Rayland berbalik setelahnya, kemudian menatap Antonio dengan datar.

        "Hm. Akhir-akhir ini dia memang sering menangis. Awasi saja, dan laporkan kepadaku."

       Antonia segera mengangguk serta membungkuk hormat ketika Rayland berjalan melewatinya, dan tidak lagi terlihat, saat memasuki sebuah ruangan lain di dalam ruangan itu. Baru kemudian, tangannya bergerak meraih ponsel di saku celananya; menghubungi seseorang.

       Ketika panggilan terhubung, Antonio berucap kepada seseorang di balik telefon, "terus awasi."

Kemudian setelah panggilan terputus,

.

.

.

Antonio menyadari sesuatu.

        Anya merasa was-was ketika mendengar dari Ui, jika Rayland akan pulang hari ini dan sebentar lagi akan tiba di mansion. Pria itu cukup lama tidak pulang, mungkin sekitar 3 minggu. Dan selama itu pulalah Anya tidak bisa mengatur perasaannya dengan benar. Ia masih terlalu sering melamun dan berakhir membuatnya dihadiahi pukulan rotan atau buku dari Miss Ani, ketika pelajaran homescholing-nya berlangsung.

       Namun kadar tangisnya cukup berkurang. Terhitung sejak menangis di dalam kamar Rendi, dan tangisan itulah yang terakhir kalinya selama seminggu belakangan. Hanya saja, kegiatan melamunnya kian parah. Mungkin sudah masuk kategori akut.

       Anya kemudian beralih kepada Ui di sampingnya. Wanita keturunan Tionghoa itu sedang menggoreng sesuatu yang tidak Anya ketahui apa. Sementara Anya yang dianggapnya tidak punya kegiatan lain, langsung saja diseret ikut ke dapur. Padahal, Anya sama sekali tidak bisa memasak. Dia hanya bisa menggoreng telur dan memasak mie.

       Anya benar-benar menyedihkan.

       Saat Ui pamit sebentar menuju kulkas, penggorengan di atas wajan diserahkan kepadanya.

       Namun, gadis itu justru melamun.

       "Anya, jangan melamun, cepat tambahkan minyak, nanti gosong!" Ui berteriak dari balik pintu kulkas. Wanita itu sedang mencari beberapa buah di dalam lemari pendingin untuk ikut dihidangkan nantinya.

       Anya terkesiap, lantas mengambil minyak di sebelah kanannya, kemudian menuangkan beberapa isinya di atas wajan. Karena dasarnya bodoh dan sedang panik melihat tanda-tanda masakan gosong, Anya tidak sengaja menyenggol wajan dengan sikunya. Dan tebak, wajan itu jatuh ke lantai. Hampir saja mengenainya jika seseorang tidak segara menariknya lebih dulu untuk menghindar.

       Anya syok, nyaris saja, pikirnya.

       "Dasar sinting! Kalau ingin mati jangan di rumahku!" Itu Rendi. Wajahnya tampak memerah dan dipenuhi emosi. Namun di sisi lain, gurat kekhawatiran sedikit tercetak di sana.

      Eh, khawatir??

      Yang benar saja!

      Anya tersadar. Lantas melepas lengannya yang tengah digenggam kuat oleh Rendi. Mungkin karena sama kagetnya, sampai tidak menyadari telah mencengkram lengan Anya dengan keras.

       "Siapa juga yang mau mati." Anya sedikit gugup, kemudian berlalu dengan cepat menuju wajan yang tumpah. Lalu mulai membersihkannya.

       Rendi mencibir dengan wajah jengkel, "kamu lah!" judesnya.

      "Wah, apa aku melewatkan sesuatu?"

       Rendi yang masih berada di tempatnya menatap Ui dengan datar. Wanita itu pasti akan mengatakan sesuatu yang tidak wajar lagi.

       "Kupikir Anya sudah gosong. Aku jadi penasaran bagaimana rupanya saat hangus. Hihihi." Rendi menghela nafas. Dugaannya tidak pernah salah jika menyangkut tentang karakter kakak iparnya yang satu ini. Dari pada harus meladeninya, ia memilih diam. Hanya saja, matanya menatap jengkel kepergian Ui dari arah dapur menuju ruang makan sembari membawa buah-buahan.

      Pada hari-hari tertentu, UI dan Tania akan memasak. Kegiatan ini mereka lakukan ketika sedang tidak sibuk. Setidaknya, para koki mansion mendapat jatah libur.

      Setelah makan malam, Rayland tiba di mansion bersama Antonio. Dia cukup heran menemukan rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada beberapa pelayan yang telihat berlalu-lalang mengerjakan sesuatu.

     Kemudian pria itu diberitahu, bahwa keluarganya tengah menonton di bioskop yang khusus dirancang untuk mansion besar tersebut. Sejujurnya, kegiatan menonton bersama seperti sekarang ini sudah lama tidak mereka lakukan.

      Jadi, Rayland sedikit terkejut mendengarnya.

      Mengabaikan rasa lelahnya, pria itu melangkah menuju bioskop. Tepat saat ia membuka pintu ruangan yang menghubungkannya dengan bioskop, semua pasang mata menatapnya. Kecuali satu orang yang tengah tertidur.

      "Kamu sudah pulang?" Tania yang pertama kali menyambut. Kemudian wanita itu tersenyum.

      Rayland hanya membalas dengan deheman.

      "Kemarilah dan bergabung." Ryan menambahkan sembari menepuk kursi di sampingnya, seolah-olah hanya tersisa kursi itu.

      "Ray pasti lelah, biarkan dia istirahat." Rangga menimpali, lalu menatap Rayland dengan gestur seakan menyuruhnya untuk beristirahat di kamar.

      Ramlan sendiri hanya terdiam, tetapi membenarkan perkataan Rangga bahwa Rayland butuh istirahat.

      Namun nyatanya, Rayland mengabaikan perkataan kakaknya. Fokusnya hanya tertuju pada sosok lain yang dengan entengnya tertidur di samping adiknya—Rendi—bahkan sampai menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.

      "Benar, aku lelah dan ingin segera beristirahat." Yang lain mengangguki perkataan Rayland, menduga pria itu akan segera meninggalkan ruang bioskop. Tetapi siapa yang tahu, jika ternyata pria itu justru berjalan dengan langkah mantap, menuju tempat di mana Rendi dan Anya berada.

    Fokusnya hanya pada satu titik; bahu Rendi yang sedang ditiduri Anya.

     Dengan gerakan cepat, dia meraih dan mengangkat tubuh istrinya dalam sekali sentakan. Menggendongnya ala bridal lalu membuang tatapannya kepada Rendi yang balas menatapnya heran.

      "Aku ingin beristirahat bersama istriku," katanya santai. Tetapi tatapannya berkata lain.

Sejatinya, Rayland sama sekali,

.

.

.

tidak menyadari perkataannya barusan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status