MasukRong Tian terbangun dari kematian yang panjang, hanya untuk menemukan dunia yang tak lagi ia kenali. Sekutu lamanya kini berbalik menjadi musuh, sementara orang yang dulu ia buru telah naik menjadi dewa dan disembah di seluruh benua. Dunia telah berubah, dan kekuatan lama telah bergeser. Namun satu hal tetap sama, keinginan Rong Tian untuk merebut kembali segalanya yang pernah menjadi miliknya. Saksikan kisah kebangkitannya, kisah seorang legenda yang menantang Sang dewa seorang sendiri.
Lihat lebih banyakPemuda itu membuka mata perlahan, seolah kedua kelopak matanya belum siap menghadapi cahaya dunia yang menyilaukan. Sensasi pertama yang menyentuh kesadarannya Adalah rasa dingin yang menusuk.
Namun bukan dingin yang berat dan pekat seperti energi iblis yang selama ini mengisi tubuhnya. Dingin kali ini terasa berbeda, lebih ringan, seperti sentuhan udara pagi awal musim semi yang menyegarkan.
Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, dan gerakan kecil itu terasa kaku, seakan tubuhnya tidak digunakan dalam waktu yang sangat lama. Sendi-sendinya merespons dengan lambat, membuatnya menarik napas pendek dan berat.
“Di mana aku?” bisiknya dengan suara yang nyaris serak, sebuah pertanyaan yang menggantung di udara.
Dengan usaha yang hati-hati, ia mendorong tubuhnya untuk duduk, setiap otot terasa asing, seperti bukan bagian dari dirinya. Pandangannya sempat buram, sehingga ia mengedip beberapa kali sampai bentuk-bentuk di sekelilingnya menjadi jelas dan fokus.
Saat penglihatannya pulih sepenuhnya, ia terdiam, membeku di tempat.
Hundun Yaosai.
Ini Adalah benteng tua tempat ia menyusun strategi perang terakhir, sebuah sarang kegelapan yang mengerikan. Benteng tempat dia dahulu mengumpulkan seluruh panglima kegelapan untuk menghadapi aliansi sekte ortodoks dan kekaisaran, sebuah medan perang yang tak terlupakan.
Hundun Yaosai adalah tempat yang dulu dipenuhi aura kematian, dengan energi iblis begitu pekat hingga tanah pun retak dan menghitam.
Namun pemandangan di hadapannya sekarang benar-benar berubah, sebuah transformasi yang mengejutkan.
Dinding batu yang dulu berlumut darah kini tertutup tanaman merambat hijau yang tumbuh subur, melilit erat.
Bunga liar berwarna putih dan kuning menyembul di sela retakan batu, menambah sentuhan warna.
Langit di atasnya biru jernih, dihiasi awan putih yang bergerak tenang, dan sinar matahari menyentuh kulitnya dengan hangat, sementara suara burung terdengar samar dari kejauhan.
Namun, tempat yang seharusnya dipenuhi tumpukan tulang dan genangan darah hitam kini justru diisi hamparan rumput hijau yang bergerak lembut saat angin lewat, seolah menghapus jejak masa lalu.
“Apa yang terjadi?” gumamnya lirih, kebingungan melingkupi pikirannya.
Ia bangkit berdiri, kakinya sempat goyah dan hampir membuatnya terjatuh, tetapi ia berhasil menemukan keseimbangan yang rapuh.
Dengan napas yang masih tidak teratur, pemuda itu ia memandang sekeliling, mencoba memahami perubahan besar yang terjadi pada benteng ini.
Hundun Yaosai yang ia ingat adalah tempat suram yang tidak bisa didekati oleh manusia biasa, sebuah benteng yang menakutkan. Namun kini benteng itu tampak seperti reruntuhan taman kuno, damai dan sunyi.
Ia pun melangkah beberapa langkah ke depan, tangannya menyentuh permukaan pilar batu yang masih tersisa. Ukiran berbentuk kelelawar, simbol kekuasaannya dulu, terlihat memudar dan tertutup lumut, seolah waktu telah mengikis kejayaannya.
“Berapa lama aku tidak sadar?” tanyanya perlahan, sebuah pertanyaan tanpa jawaban.
Ia menutup mata untuk merasakan aliran energi dalam tubuhnya, mencoba menggerakkan qi dengan cara yang dulu sangat ia kuasai.
Namun sensasi yang muncul sangat asing, sebuah kejutan yang tak terduga.
“Apa?”
Qi yang mengalir di meridiannya terasa jernih, hangat, dan mengalir seperti air sungai yang tenang. Tidak ada lagi energi iblis yang berat dan gelap, energi yang dulu selalu menyatu erat dengan dirinya.
Tidak ada lagi tekanan menakutkan yang biasa memancar dari tubuhnya, tidak ada rasa dingin yang menggigit dari tenaga gelap.
“Ini qi murni?” Ia membuka mata dengan cepat, napasnya memburu karena terkejut. “Mengapa qi-ku berubah menjadi qi murni? Ke mana energi iblisku?”
Ia mencoba lagi, kali ini lebih fokus, menarik napas pelan, membiarkan qi mengalir dari dantian ke meridian utama. Namun hasilnya tetap sama, qi murni mengalir dalam tubuhnya, seolah ia adalah kultivator aliran lurus yang disiplin memurnikan qi sejak kecil.
“Jangan bilang aku kembali jadi pemula?” gumamnya dengan wajah yang mulai pucat, sebuah ketakutan yang nyata.
Saat ia mencoba mengumpulkan qi lebih banyak, tetapi justru semakin bingung, sensasi ini terlalu berbeda. Ia tidak bisa menilai seberapa tinggi kemampuan dirinya sekarang, seolah ia sedang meminjam tubuh orang lain.
Dia Adalah Raja Kelelawar Hitam, kultivator tingkat jiwa muda akhir, hampir mencapai keabadian sejati, kini tidak dapat memastikan kemampuan dasar tubuhnya sendiri.
Ia menarik napas panjang dan kembali melihat kondisi benteng, perubahan yang terlalu drastis membuat pikirannya semakin gelisah.
“Kalau kondisi benteng seperti ini, pasti sesuatu sudah lama sekali berlalu,” gumamnya sedikit asing.
Ingatan terakhir mulai muncul perlahan, sebuah kilasan masa lalu yang menyakitkan.
Ingatan ini tentang medan perang Padang Jiwa Terkoyak, darah, jeritan pasukan, cahaya pedang keemasan yang turun dari langit, rasa nyeri luar biasa ketika cahaya itu menembus tubuhnya, lalu gelap pekat.
Rong Tian. Itulah namanya.
Dia Adalah oemimpin aliran gelap, disebut Raja Kelelawar Hitam yang ditakuti seluruh benua, pemimpin tertinggi sekte-sekte iblis.
“Aku mati,” ucapnya pelan, sebuah kebenaran yang menusuk jiwanya. “Aku ingat jelas. Aku mati di Padang Jiwa Terkoyak, tubuhku seharusnya hancur luluh.”
Ia menatap kedua tangannya, ujung jarinya masih bergetar halus, seolah menolak kenyataan yang ada.
“Tapi mengapa aku hidup lagi? Dan mengapa qi-ku berubah drastis?” Sebuah ingatan samar melintas di benaknya, tentang Gelang Karma Samsara yang selalu diburu semua kultivator di masa itu, sebuah artefak legendaris.
“Mungkinkah gelang itulah yang membangkitkanku dari kematian?” batinnya bertanya-tanya, dipenuhi kebingungan yang mendalam.
“Namun siapa yang memberikannya padaku? Dan mengapa benda itu mengubah esensiku? Apakah aku ditakdirkan menjadi sosok berenergi murni?”
Angin bertiup pelan, membawa wangi bunga magnolia dari kejauhan, sebuah aroma yang menenangkan.
Rong Tian mulai berjalan mengitari reruntuhan, mencari petunjuk yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan lama yang tersisa, tapi semua dipenuhi rumput dan tanaman baru, seolah sejarah kelam tempat ini sengaja dihapus.
“Paling lama dua tahun,” gumamnya menghibur diri. “Tidak mungkin dunia berubah lebih cepat dari ini.”
Ia tidak tahu bahwa perkiraannya jauh dari benar, sebuah ironi yang belum ia sadari.
Rong Tian berhenti di tepi reruntuhan. Dari sana, ia bisa melihat Hutan Magnolia, sebuah pemandangan yang indah. Hutan luas dengan pohon tinggi dan bunga putih yang mekar lembut, menciptakan karpet alam yang memukau.
“Mungkin aku harus ke kota terdekat,” katanya lirih. “Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Namun sebelum ia sempat melangkah, sebuah suara menusuk memecah kesunyian pagi, sebuah jeritan nyaring yang membawa kepanikan.
“Tolong! Lepaskan kami!”
Suara itu berasal dari Hutan Magnolia, nadanya jelas menunjukkan rasa panik dan ketakutan yang mendalam.
Tak lama kemudian terdengar tawa kasar beberapa pemuda, tawa yang penuh niat buruk dan mengancam.
“Lari ke mana lagi, nona?” teriak salah satu dari mereka, suaranya penuh ejekan.
“Kalian tidak akan bisa kabur!” tambah yang lain, sebuah ancaman yang dingin.
“Kami akan lembut kok!” suara mesum menyusul, membuat bulu kuduk merinding.
Rong Tian mengerutkan kening, sebuah kerutan dalam di dahinya. Tangan kanannya mengepal refleks, dan insting lamanya bangkit begitu saja, sebuah dorongan dari masa lalu.
“Ada yang tidak beres,” ucapnya pelan, matanya menyipit tajam.
Tanpa berpikir panjang, ia melesat menuju sumber suara, tubuhnya bergerak spontan dengan kecepatan luar biasa. Qi murni mengalir mengikuti gerakan kakinya, meski ia belum sepenuhnya terbiasa mengatur alirannya yang baru.
Ia melesat seperti terbang, melewati padang rumput dengan kecepatan meningkat. Dedaunan berdesir di bawah kakinya, seolah ia terbang diatas rumput. Semakin dekat ke hutan, suara teriakan dan tawa semakin jelas, sebuah nada ketakutan.
Rong Tian, pemuda itu mempercepat langkahnya sampai memasuki hutan.
++++
Hutan Magnolia biasanya tenang, tetapi pagi itu dipenuhi suara kepanikan yang mengoyak kedamaian.
“Kakak, aku tidak kuat lagi!”
“Lari, Lingyin! Jangan berhenti!”
Dua gadis berlari terhuyung di antara pepohonan, jubah putih mereka robek, rambut terurai berantakan, dan wajah mereka pucat serta penuh air mata. Napas mereka tersengal-sengal, setiap tarikan napas adalah perjuangan melawan nasib.
Bersambung
Balai utama Desa Heishan terasa seperti sebuah kuburan yang dingin, bukan tempat pertemuan para ahli.Udara di dalamnya berat, dipenuhi keheningan yang menyesakkan, hanya sesekali dipecahkan oleh desahan samar atau gesekan kain.Suara pertemuan yang seharusnya penuh semangat justru terdengar seperti gumaman orang-orang yang menunggu ajal, setiap kata terbebani oleh keputusasaan.Para murid dari sekte-sekte besar duduk berderet, bahu mereka melorot, mata mereka redup, dan napas mereka teratur namun berat, seakan ada beban tak terlihat yang menindih setiap jiwa.Tidak ada satu pun dari mereka yang memancarkan aura jenius yang digadang-gadang untuk memimpin masa depan.Elder Feng berdiri di depan, punggungnya sedikit membungkuk, wajahnya diukir oleh kerutan-kerutan lelah yang lebih banyak bercerita tentang kekhawatiran daripada kebijaksanaan. Ia berusaha menjaga wibawanya, tetapi suaranya terdengar rapuh, nyaris berbisik.“Kita harus segera mencari cara untuk menahan serangan berikutnya,
Rong Tian tidak menjawab, ia tidak peduli dengan bisikan-bisikan di sekitarnya. Ia hanya terus berjalan, mengamati sekitar dengan tatapan datar dan penuh analisis."Dunia ini," gumamnya pelan sambil menatap semua pemuda dan pemudi yang ramai berbicara, "benar-benar berbeda dari yang kukenal."Mereka akhirnya sampai di pojok desa, tempat yang lebih tenang. Di sana, ada tenda kecil dengan bendera putih bertuliskan "Sekte Bunga Salju".Tenda itu terlihat sederhana, jauh dari kemegahan tenda-tenda lain. Ukurannya tidak sebesar tenda-tenda sekte besar lainnya, menunjukkan status mereka."Ini tenda kami, Tuan," ucap Bing Ruoxue sambil menunjuk tenda kecil itu."Silakan beristirahat sebentar di sini, pertemuan akan dimulai sebentar lagi."Rong Tian menatap tenda itu sebentar, lalu mengangguk pelan."Terima kasih."Ia duduk di bangku kayu di luar tenda, mengamati keramaian. Bing Ruoxue dan Xue Lingyin masuk ke dalam tenda untuk merapikan pakaian mereka yang masih robek.Rong Tian menatap kera
Rong Tian langsung menyadari sesuatu yang aneh saat mengamati sekeliling. "Auranya lemah," gumamnya dalam hati sambil menatap para pemuda itu dengan tatapan tajam."Bahkan yang terkuat hanya Tahap Eliksir Emas tingkat awal. Apakah ini yang mereka sebut jenius dari sekte besar?"Ia mengamati lebih teliti setiap individu yang berlalu lalang. Sebagian besar hanya berada di Tahap Fondasi, sebuah tingkat dasar dalam kultivasi.Beberapa bahkan masih di Tahap Awal, baru menyentuh gerbang kultivasi, menunjukkan kurangnya pengalaman."Tidak masuk akal," bisiknya pelan sambil menggelengkan kepala, ketidakpercayaannya begitu nyata. "Dulu, lima ratus tahun lalu, jenius muda dari sekte ortodoks besar sudah mencapai Tahap Jiwa Muda di usia dua puluh tahun."Ia melanjutkan, "Bahkan yang biasa-biasa saja sudah Tahap Eliksir Emas tingkat menengah."Ia menatap sekitar lagi dengan tatapan tidak percaya, membandingkan masa lalu dengan masa kini. "Tapi sekarang? Tahap Eliksir Emas awal sudah dianggap jeni
Rong Tian menatap tangannya sendiri, sebuah tangan yang tampak muda dan tanpa cela. Tangan ini, yang kini terasa asing, telah melintasi lima abad tanpa ia sadari sedikit pun.Tubuh yang ia tempati sekarang telah melompati waktu begitu jauh, sebuah kenyataan yang sulit dicerna. Perasaan disorientasi menyelimuti dirinya, seolah ia adalah orang asing di kulitnya sendiri.Bing Ruoxue dan Xue Lingyin masih berdiri diam, terpaku di tempat mereka. Mereka tidak berani berbicara, takut mengganggu keheningan yang mencekam.Aura di sekitar Rong Tian terasa berat dan menyesakkan, meskipun ia tidak mengeluarkan tekanan apa pun secara sadar. Kehadirannya sendiri sudah cukup untuk membuat mereka gentar.Rong Tian diam lama, tenggelam dalam lautan pikirannya sendiri. Kenangan masa lalu mulai berkelebat di benaknya, seperti film yang diputar ulang.Ia teringat Padang Jiwa Terkoyak, sebuah medan perang luas yang dipenuhi darah dan kehancuran. Cahaya pedang keemasan turun dari langit, menyambar dirinya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.