LOGIN“Lu ‘kan ….” Renita menyipitkan matanya. Jarinya tertuju pada hidung Rayan yang kembang kempis menghirup campuran aroma alkohol dan parfum yang menyengat dari tubuh wanita itu.Rayan mengangguk tegas. “Iya, ini aku. Masih ingat aja. By the way kamu makin seksi, Re.”Tatapan Rayan jelas menyiratkan ia pria kelaparan. Bola mata hitamnya bahkan tidak berkedip, terpatri pada dada wanita itu yang luar biasa besar dan tumpah ruah. Menggunakan tank top ketat bertali tipis, puting Renita terlihat mencetak kain, sungguh menantang untuk disentuh.Rayan menelan ludah, gairah liar berkumpul di kejantanannya. Tentu, ia ingin meraup mangsa yang lebih dari sekadar gratis malam ini.Alih-alih marah mendapat tatapan itu, Renita justru terbahak. Membuat Rayan tercengang, dan ia berhasil melepaskan diri dari pria itu. Meskipun tubuhnya masih oleng."Gila! Kenapa lu … di sini? Ada masalah sama istri lu, si anak alim itu?" ejek Renita, dengan mata yang memicing nakal.Tanpa menunggu jawaban, wanita itu me
Diana menatap Dhava lekat. Meskipun tahu ini salah besar, ia malah memeluk pria itu. Tidak ingin melepaskannya sedetik pun. Untuk hari ini, ia benar-benar menginginkan Dhava lebih dari apa pun.**Di tempat lain, kemarahan Rayan sudah memuncak saat ia membanting pintu utama rumah. Suara dentuman itu mengagetkan Rina yang sedang menonton televisi.“Astaga, Rayandra! Apa-apaan kamu ini?” gerutu Rina, menghampiri putranya. “Kok, bajumu, ih, bau!”Rayan langsung menuju kamarnya, merobek kemeja yang berbau muntah dan mengabaikan ocehan Rina tentang pakaiannya. "Diam, Bu! Aku lagi kotor dan jijik!" hardiknya di balik pintu.Beberapa saat kemudian, Rayan keluar kamar, sudah rapi. Ia mnghampiri Rina yang menunggunya di ujung tangga dengan wajah garang.“Kamu tahu nggak kalau Diana—” Rina belum selesai.Rayan menyela, “Kalau dia pulang, tolong kasih tau aku.” Langkahnya bergerak cepat menuruni anak tangga.“Heh, mau ke mana lagi, sih?!” Rina berteriak dari atas. “Istrimu pergi, tahuuuu!”“Kela
“Nggak!” tolak Diana yang langsung menutup mulutnya dengan rapat.Rayan terkekeh sinis dan membelai pucuk rambut istrinya. Pria itu berbisik lagi, “Kenapa? Kamu ‘kan selalu mau dipuaskan? Ayo pulang!”Tanpa menunggu jawaban, Rayan mencengkeram lengan Diana sekuat tenaga, menariknya secara paksa keluar dari rumah utama.Diana tersentak, menghentakkan kaki dan menarik diri mati-matian, berbisik memohon Rayan melepaskannya, “Jangan gini, Mas! Aku mohon!”Sialnya, Rayan tak peduli, ia membuka pintu Mini Cooper dan mendorong tubuh Diana kasar masuk ke dalam, menguncinya dari luar.“Mama dan Papa udah percayain kamu ke aku! Jadi nurut sama, Mas, ya.” Rayan tersenyum tipis penuh rencana.Tubuh Diana ambruk di kursi penumpang. Ia menatap liar sekeliling kabin mobil itu dengan jijik yang mendalam. Setiap sudut mobil ini terasa terkontaminasi. Kenangan ciuman Rayan dan wanita lain langsung menghantam, membuat perutnya bergejolak mual.Rayan masuk mobil, dan memasang sabuk pengaman.“Ceraikan aj
“Bagaimana bisa? Katanya ada urusan kantor?” lirih Diana, bibirnya gemetar. Jemari kirinya meremas kuat ujung rambutnya. Mata karamelnya itu bergeser ke arah pintu masuk utama yang terbuka. Rayan benar-benar membuat sambutan tidak terduga.Tubuh Diana terasa mati rasa, seolah darah berhenti mengalir ke ujung jari dan kakinya. Kepalanya mendongak, menatap siluet yang baru saja muncul di ambang pintu, itu Rayan. Pria itu berdiri tegak.Mata Diana melebar. Seluruh udara di paru-parunya seperti disedot habis. Ia tidak bisa bernapas, dan tidak bisa bersuara.'Jangan mundur, Di,’ bisiknya dalam hati.Diana menyeret langkahnya, berusaha menepis rasa cemasnya akan Rayan dengan senyum mematikannya.Sial! Mengapa ia merasa terintimidasi seperti ini.Saat tiba di ambang pintu, Diana langsung berhadapan dengan seringai dingin Rayan. "Kenapa Mas ada di sini? Bukankah Mas harusnya ... di kantor?" desak Diana, suaranya yang bergelombang itu mencoba tegas.Rayan memiringkan kepala, seringainya makin
Sore ini Diana sudah rapi. Meskipun batinnya terluka, ia tidak ingin semesta tahu. Biarlah luka tertutup penampilannya. Ia mengenakan celana palazzo berwarna putih bersih yang dipadukan dengan blus baby blue berbahan lembut, sepatu hak rendah, dan menyematkan tas selempang di bahunya.Tidak tertinggal make up tebal, sembab di matanya ini harus lenyap!“Kalau Mas Rayan nggak mau, biar Papa dan Mama yang bantu aku!” gumamnya, bersikukuh.Perlahan Diana turun ke lantai satu, ia bisa mendengar Ibu mertuanya sedang berbicara dengan seseorang di luar rumah.Tepat di ambang pintu, Diana berpapasan dengan Rina yang membawa bungkusan berlogo rumah makan tertentu.“Itu apa, Bu?” Diana memperhatikan logo itu, terasa tak asing.“Lho, kamu malah tanya Ibu. Enggak tahu nih, kata Mas Ojol, orang rumah kita pesan tempe goreng.” Rina mengangkat kantung itu tinggi-tinggi. “Kamu pesan?”Diana terdiam sejenak, alisnya bertaut karena bingung. Ia yakin tidak memesan apa pun, apalagi tempe goreng. Namun, me
Rayan menyeringai, menampilkan senyum licik yang penuh kemenangan. Ia tahu betul, Diana yang kelelahan secara emosional dan baru saja lolos dari pelecehan, tidak akan punya energi atau keberanian untuk meninggalkan kenyamanan dan perlindungan Rina, demi mengejarnya ke hotel.Tatapan mata hitamnya sengaja dilemparkan, menusuk tepat pada manik Diana, jelas itu adalah ejekan. Rayan seakan menertawakan sang istri yang begitu pengecut.Rayan membusungkan dada, puas karena strateginya berhasil sempurna. Ia telah memenangkan ronde ini. Dengan sikap sombong, ia lantas melangkah mendekati pintu utama, membiarkan Rina dan Diana menyaksikan kepergiannya yang lancang.“Mau ikut, Sayang? Ayo?! Kamu menuduhku selingkuh, buktikan!” ajak pria itu lagi, membuat tangan Diana terkepal kuat di bawah meja.Diana melirik Rina yang masih memelotot pada putranya itu. Ia lantas mencebik, ternyata Rayan memang tidak bisa dicegah oleh apa pun, padahal sang ibu sudah memberi peringatan keras.“Nggak mau!” balas







