Share

2. Jiwa yang Lelah

Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.

Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.

Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."

Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.

Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penjuru lain. Sampai-sampai suara pelanggan tak ia sadari.

"Hei, Mas! Dengar tidak, sih?"

Sebuah daya kejut menjalar di sel motoriknya, "Oh! M-maaf. Saya melamun tadi."

Katakanlah Yanan khilaf. Ia benar-benar tidak bermaksud lancang terhadap konsumen.

Yanan bodoh! Ingat, kamu harus tetap profesional!

Kemudian bunyi mesin kasir berdilatasi di udara. Yanan bergerak cepat, memindai harga-harga yang tersimpan dibalik barcode dengan sebuah piranti elektrik berteknologi laser.

"Kalau tidak salah dengar ... anda ingin sekalian membeli rokok, ya? Yang merk apa?"

"Tidak jadi."

Si lelaki berlalu begitu saja setelah membayarkan belanjaannya. Dari raut wajahnya, Yanan bisa menebak, lelaki itu terlihat amat kecewa akan sikapnya. Ia merasa bersalah karena telah tidak sengaja mengabaikan pelanggannya.

 Aku bahkan tadi tidak mengucapkan 'selamat datang' dan 'silakan berkunjung kembali' pada orang itu.

Hening kembali melingkupi, selepas kepergian sang pembeli mie instan.

Kehadiran pelanggan hanya tampak bagai sekilas pariwara yang mampir sejenak. Kebisingan lalu-lintas dari petang hingga pagi pun tak mampu mengalihkan fokus Yanan akan hal-hal yang saat ini memenuhi rongga kepala. Rasa getir yang mengusik batinnya benar-benar tak dapat dienyahkan. Suara tangis Jihan masih terus bergaung di otaknya.

Pintu minimarket kembali terbuka, tampak seseorang bernama Sammy memasuki tempat ini. Ia menyapa Yanan seraya melempar senyum ramah padanya. Kini kesadaran Yanan telah penuh. Tidak seperti beberapa waktu lalu saat melayani sang lelaki berjas hujan.

Rupanya pemuda yang tadi membeli tujuh bungkus mie instan menjadi pelanggan terakhir yang Yanan layani sebelum jam kerjanya habis untuk hari ini.

Sammy hendak menggantikan posisi Yanan untuk bertugas di meja kasir, namun dirinya terlebih dulu menyampaikan isi hati pada rekan kerjanya tersebut. "Yanan, aku turut berbelasungkawa. Maaf karena kemarin aku hanya datang sebentar kemudian pulang."

Seulas senyum tipis menghiasi wajah lelah Yanan. "Tidak apa-apa, Sam. Menyempatkan untuk datang ke prosesi pemakaman Hansel saja, kami sudah sangat berterimakasih."

Hela napas lega terembus dari kedua belah bibir Sammy.

Layaknya mendapat sebuah dorongan imajiner, Sammy tiba-tiba berjalan ke bangsal bagian perkakas rumah tangga. Awalnya Yanan tak mengerti apa yang hendak dilakukan oleh pria yang setahun lebih tua darinya itu.

Ternyata, naluri pekerja Sammy tergerak untuk membenarkan letak label harga yang terpasang tak beraturan.

Seperti yang sudah Sammy duga, matanya pasti akan terpaku saat menatap deretan produk detergen. "Aku jadi ingat terakhir kali bertemu dengan Hansel. Kalau tidak salah, hari selasa pekan lalu, dia ke sini. Membeli sebotol kecil cairan pemutih pakaian."

"Pemutih pakaian? Untuk apa?" Yanan menimpali dengan pertanyaan.

"Dia bilang, akan digunakan sebagai bahan uji coba di laboratorium sekolahnya."

"Hm ... untuk laporan ilmiah?"

"Ya, mungkin semacam itulah." Jaket abu-abu dilepas dari tubuhnya, kini tampak dirinya mengenakan seragam sama persis seperti yang dipakai Yanan. "Mmm ... sebelumnya dia juga sering berkujung ke sini. Bersama teman-teman sekolahnya. Membeli peralatan tulis dan makanan ringan. Itu sebabnya aku cukup akrab dengan anak itu."

Yanan jadi iri. Terakhir kali ia bertemu dengan Hansel adalah ketika malam natal. Malam itu jika Jihan tidak memaksa adiknya untuk berkunjung ke rumah kontrakan Yanan demi merayakan hari raya, mungkin Yanan takkan pernah mempunyai kenangan terakhir bersamanya.

Masih segar di ingatannya, sang adik manis merajuk saat dipaksa kakaknya untuk memakai setelan mantel merah dengan gambar Hello Kitty di punggungnya, serta celana hijau lumut yang tampak kebesaran di kaki kecilnya. Perpaduan warna dan corak yang sangat Hansel benci.

Takkan terlupa oleh Yanan betapa menggemaskan wajah merengut Hansel yang tampak tak setuju akan keputusan sang kakak dalam memilihkan sandang untuknya.

"Kak, aku ini sudah dewasa! Kenapa Kak Jihan selalu saja mengatur-atur apa yang boleh kupakai dan yang tidak boleh kupakai?" ia berkilah, "Lagipula, malam natal itu seharusnya dihabiskan bersama keluarga. Bukan dengan pacar!"

Beruntung Yanan sempat mengabadikan momen berharga tersebut ke dalam handycam-nya. Jika suatu saat ia merindukan kenangan indah itu, ia dapat menengoknya kembali.

Sudah. Yanan sudah terlalu lama sibuk mengawang-awang bersama khayalnya. Kini ia mesti kembali ke dunia nyata.

Oh, tunggu!

Ada satu hal lagi yang membuatnya penasaran. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak terlalu dekat secara personal seperti si Sammy itu, mendapat lebih banyak peluang untuk bertemu dengan Hansel. Sungguh merupakan blind luck yang tak ia miliki.

Meski Yanan merupakan kekasih Jihan, tetapi kesempatan yang ia punya untuk bertemu adik dari kekasihnya itu tidak terlampau signifikan.

Anak itu memang jarang terlihat di rumah, sepulang sekolah ia selalu pergi entah kemana juntrungnya. Kalau berada di rumah pun, Hansel lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kamar bertemankan music player kesayangannya.

***

Selepas kerja, Yanan tak langsung pulang ke rumah kecil sewaannya. Dengan membawa sekantung buah-buahan segar, ia terlebih dulu mengunjungi rumah Jihan. Walau kantuk menyergap sekujur kepala, tak menghalangi niatnya untuk mengetahui kondisi terkini sang sosok tercinta. Cukup sudah dirinya dibuat uring-uringan semalaman, sekarang ia harus memastikan sendiri keadaan Jihan.

Dari depan gerbang, tampak olehnya teras rumah Jihan yang dipenuhi orang-orang berbusana serba gelap, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa duka cita.

Mungkin rekan sekampusnya yang sedang melayat.

Yanan melihat Bu Tara kesulitan membawa nampan berisi hidangan kecil untuk para tamu. Tanpa perlu diminta, secara suka rela ia menyerahkan diri untuk memberi bantuan pada wanita itu.

"Yanan, kenapa kamu datang lagi? Seharusnya kamu pulang. Lihatlah, wajahmu sudah seperti orang yang begadang selama dua tahun."

"Hanya mampir sebentar masa tidak boleh?" Yanan terkekeh, sebuah usaha untuk mencairkan suasana. "Biar saya bantu, Bu."

Sengaja Yanan menyibukkan diri dan memilih untuk tidak membaur dengan yang lain. Toh, ia tidak mengenal mereka.

Denting-denting cangkir yang bertubrukan dengan permukaan meja kaca seakan menjadi pembeda subtil di tengah puluhan suara manusia yang beragam corak.

Jihan terduduk di salah satu kursi, di antara teman-temannya yang sibuk melontarkan berbagai pernyataan maupun pertanyaan.

"Maaf ya, kemarin kami tidak datang," ucap temannya, penuh rasa sesal.

Salah satu teman laki-lakinya menimpali, "Iya. Pak Dosen tiba-tiba mengadakan kuis."

"Ji, sebenarnya adikmu sakit apa?" tanya seorang teman perempuannya yang berambut pirang.

Jihan membisu. Kalbunya mendadak pedih jika harus mengingat kembali peristiwa tragis yang menimpa Hansel, adiknya.

Kalau boleh jujur, ia tidak tahu harus menjawab apa. Adiknya meninggal bukan karena sakit. Ia tidak tahu apa penyebabnya. Maka dari itu, ia benci jika ditanya akan sesuatu yang dirinya sendiripun belum berhasil menemukan titik terang.

Pihak kepolisian tak banyak membantu. Mereka sepertinya sengaja mengulur waktu supaya ia semakin terlihat clueless.

Sampai sekarang, belum ada satupun pihak berwajib yang datang ke sini untuk memberi informasi terkait penyebab kematian adikku.

Sebulir air menggantung di pelupuk mata, Jihan berusaha menguatkan diri agar tidak menumpahkannya di situasi yang kurang tepat. Jangan sampai dirinya menangis di depan teman-temannya.

"Hei, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya kawan lainnya yang merasa tak setuju akan pertanyaan yang dilontarkan si rambut pirang.

"Memang kenapa? Aku, 'kan, hanya bertanya," sanggah si rambut pirang, membela diri.

"Pertanyaan itu terlalu sensitif. Kamu harus memahami perasaan Jihan."

Tak ingin terjadi pertikaian di rumahnya, Jihan segera melerai mereka, "Sudah, jangan pada ribut begitu. Aku tidak apa-apa."

Bohong.

Tampak sekali dari sorot matanya yang hampa, keadaan hati Jihan pasti belum membaik.

Wajah itu. Wajah yang menyiratkan rasa kehilangan mendalam. Yanan mengerti benar apa yang tengah berusaha ia tutupi di balik selubung kamuflase: kepingan hati yang porak poranda.

Raut muka menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski kenyataannya berbanding terbalik.

Kenapa kamu harus menyembunyikan rasa sakitmu? Toh, aku yakin teman-temanmu akan maklum.

Sedikit memaksakan sunggingan senyum di parasnya yang kuyu, Jihan tetap harus menghargai teman-teman yang sudah bersedia untuk bertandang ke sini. Tak elok rasanya jika memasang tampang muram.

Meski harus ia akui, semua yang ia tampilkan di depan para kerabat merupakan rekayasa belaka.

Batin terdalam menjerit, sungguh ia ingin berkata bahwa ia lelah. Lelah mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka yang kian repetitif. Lelah harus menjelaskan berkali-kali terkait hal yang---kalau boleh memilih---sedang tidak ingin ia bahas.

Namun bagaimanapun, ia tidak bisa mengatakan isi hatinya. Ia tidak ingin menyakiti perasaan teman-temannya demi mengutamakan ego pribadi.

Selang beberapa saat, rekan-rekan Jihan yang kurang lebih berjumlah dua lusin, secara bergiliran mulai pamit meninggalkan rumahnya.

Kediaman yang tadi disesaki bermacam tipe suara serta tabiat, seketika berubah senyap. Kini hanya tersisa dirinya, Yanan, dan ibunya---yang sekarang berada di dapur, berkutat dengan cangkir-cangkir untuk membersihkannya dari sisa teh para tamu.

Helm dipakaikan pada kepala Jihan. Starter motor dinyalakan untuk kesekian kalinya.

"Ayo!" seru Yanan yang sudah lebih dulu menaiki jok motor.

"Mau ke mana?"

"Ke rumah sakit. Kamu ingin mengetahui hasil autopsi milik Hansel, 'kan?"

***

Di atas jok motor, mereka berdua duduk membisu---sibuk berkubang dalam pikiran masing-masing. Deru mesin dan embusan angin jalan raya berpadu mengisi kesunyian.

"Yan!" panggil Jihan dengan sedikit berteriak.

"Iya. Kenapa?"    

"Di sana ada pom bensin. Cepat isi tangki motormu. Jangan sampai mogok di tengah jalan."    

Jihan benar. Suplai bahan bakar di tangkinya hampir kosong. Yanan tidak menghitung sudah berapa kali dirinya telah mengendarai sepeda motor ini dalam dua hari terakhir, sampai tak mengira jarum indikator bensinnya sedikit lagi menyentuh angka nol.

***

Jihan mendengus penuh frustasi. Tubuh Yanan merosot dari kursi.     

Penantian keduanya selama hampir tiga setengah jam di lobby rumah sakit, tak membuahkan apapun selain rasa penat yang makin bertumpuk.     

Mereka pulang dengan tangan kosong. Hasil autopsi yang mereka tunggu-tunggu tak kunjung keluar. Dokter forensik berkata, mereka harus menunggu hingga esok hari untuk dapat mengambilnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status