Share

4. Rahasia Yanan

"Jihan ..."

"Ya?"

"Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?"

"Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.

Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini."

"Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?"

"Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lamaranku itu dilirik oleh mereka."

Selain kaca spion yang pecah (yang mana penyebabnya belum ia ketahui secara pasti), rupanya ada satu hal lagi yang dirahasiakan oleh Yanan darinya. Atau mungkin lebih, Jihan tak pernah tahu. Sebab rahasia-rahasia itu tersimpan rapi sehingga Jihan tidak mampu meniliknya sedikitpun.

Banyak hal yang ingin Jihan tanyakan. Seperti, mengapa Yanan jadi setertutup itu? Apakah ia sudah tak mempercayai Jihan lagi untuk diajak bertukar pikiran, dimintai pendapat, atau sekadar berkeluh kesah?

Namun ia tidak boleh menginterogasi kekasihnya seperti seorang terdakwa kriminalitas. Ketimbang mencurigai Yanan, lebih baik ia bersikap suportif terhadap setiap keputusan yang diambilnya. Toh, Yanan adalah pria dewasa, ia jelas mengerti apa saja yang terbaik bagi dirinya.

Raut wajahnya yang semula tegang, kini melunak. "Kapan jadwal interview-nya?"

"Lusa."

"Astaga, mendadak sekali. Ya, sudah, ayo."

Jihan menarik tangan Yanan secara tiba-tiba. Di saat yang sama Yanan menahan genggaman itu dengan kekuatan yang berbanding lurus, akibatnya tidak sehastapun mereka berpindah posisi.

"Mau kemana?"

"Sudah ikut saja."

***

Tirai berwarna hijau itu tersingkap. Seorang dokter muda kembali ke persinggahannya, mengambil secarik kertas dan setangkai bolpoin, kemudian menuliskan resep obat dengan font yang sulit terbaca oleh orang awam.

"Yanan, ini diminum sebelum makan. Dan jangan sampai telat makan. Penyakit lambung yang kamu derita bisa bertambah kronis kalau pola makanmu tidak teratur."

"Dok, selain itu adakah makanan tertentu yang harus dihindari?" sambar Jihan yang sedari tadi harap-harap cemas menunggu hasil pemeriksaan.

Dokter Yakob tersenyum usil ke arah pasangan yang masih hijau itu, ia gemas sekali melihat Jihan yang sebegitu khawatirnya. "Umumnya makanan yang asam dan pedas bisa memicu peningkatan asam lambung. Kamu harus memperhatikan apa saja yang dimakan kekasihmu. Kalau kamu melihatnya makan yang pedas-pedas, segera cegah dia!"

***

Jihan mengusap wajahnya, tampak nelangsa. "Tadinya aku cuma mau meminta surat keterangan dokter saja. Eh, setelah diperiksa, kamu ternyata benar-benar sakit. Kalau aku tidak membawamu ke klinik, mungkin aku tidak tahu kalau kamu punya masalah dengan lambungmu. Arghh ... bagaimana mungkin aku membiarkanmu pergi ke Jakarta seorang diri dalam kondisi seperti ini,"

Kedua belah bibir Yanan membentuk senyum jenaka setelah mendengar penuturan panjang lebar yang menurutnya terlalu dilebih-lebihkan itu. "Hei, dengar! Aku tidak apa-apa. Itu hanya sakit lambung biasa. Dan.. lagipula kenapa harus minta surat keterangan dokter segala sih? 'Kan, aku sudah membuat surat izinku sendiri."

Tampak kentara Jihan mengabaikan penjelasan dari kekasihnya. Pandangannya menyapu ke sekeliling jalanan yang terdapat jajaran stan-stan pedagang kaki lima.

"Ayo ikut aku!"

Yanan menautkan alis, kemudian mengikuti arah tujuan langkah Jihan. Ah, ia mengerti. Sepertinya ia akan diseret menuju kedai makanan yang berjarak kurang lebih dua puluh meter dari klinik Dokter Yakob.

"Mari kita rayakan kesuksesanmu yang telah mendapat pekerjaan baru."

"Ji ... aku belum tentu diterima bekerja di sana. Aku hanya baru mendapat pangilan untuk wawancara."

"Aku tak peduli. Yang penting kamu harus banyak makan supaya tidak sakit."

Untung saja saat sampai di sana mereka masih mendapat tempat duduk, mengingat kedai ini cukup ramai pengunjung. Tanpa menunggu lama mereka segera memesan semangkuk soto ayam untuk Yanan dan dua piring ketoprak untuk Jihan.

Tepat di depan kedai yang disinggahi keduanya, terdapat sekumpulan musisi jalanan yang kebetulan tengah memainkan lagu kesukaan Jihan.

"Yan, kamu dengar?"

"Hm? Apa?"

"Itu. Lagu yang dinyanyikan pengamen itu."

"Oh. Master Of Puppets? Lagu favoritmu, 'kan?"

Jihan mengangguk riang. "Aku suka berada di sini, karena suasananya tak kalah dengan kafe bintang lima."

"Berlebihan sekali. Tapi baguslah kalau kamu senang."

Mereka bersantap dalam hening yang dominan di antara keduanya. Hanya sesekali melempar opini tentang rasa makanan di kedai ini, atau menebak-nebak lagu apa yang akan dimainkan selanjutnya oleh rombongan pengamen di luar sana.

Yanan tidak ingat kapan terakhir kali mereka menikmati makan malam di luar seperti ini. Kesibukan menuntut keduanya untuk hanya bisa menghabiskan sisa waktu di rumah Jihan ataupun di kontrakan Yanan. Bepergian ke luar bukanlah prioritas utama.

Di tengah acara makan malam yang tak direncanakan itu, suapan Jihan tiba-tiba terhenti. Garpunyanya masih menusuk sepotong tahu, dan ia biarkan penganan tersebut menggantung beberapa senti diatas piring tanpa kepastian akan ia lahap atau tidak. Ia tergeming cukup lama dengan wajah yang kembali muram.

"Ji, kamu kenapa?" tanya Yanan dengan nada khawatir yang sangat kentara.

"Yan, apakah aku ini seorang yang hipokrit?"

"Apa maksudmu?" Ia bertanya lagi, masih tak mengerti arah pembicaraan Jihan.

"Adikku meninggal. Dan aku masih bisa menikmati dua porsi ketoprak ditemani alunan lagu yang kusukai dari musisi jalanan. Aku bersuka ria seolah tidak terjadi apa-apa."

Sendok dalam genggaman Yanan diletakkan di atas piring. Setelah itu tangannya meraih secarik tisu guna mengusap air mata yang lagi-lagi membasahi pipi Jihan. "Hei, justru ini yang kamu butuhkan sekarang. Kamu harus memberi kesempatan pada dirimu untuk terhibur dan merasakan kegembiraan sekecil apapun. Jangan biarkan kesedihan menguasai dirimu. Kamu tidak boleh larut dalam keterpurukan yang berkepanjangan."

Tangisnya belum reda, Jihan berdiri sambil menaruh beberapa lembar uang di meja yang tadi mereka tempati. "Yan, ayo pulang. Besok, 'kan, kamu harus berangkat pagi-pagi. Nanti aku akan membantumu menyiapkan keperluan, dan juga memberikan surat izin ini pada bosmu."

"Tapi kamu belum menghabiskan makananmu. Hei, tunggu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status