Share

Aftermath
Aftermath
Penulis: obliviahye

1. Kematian Hansel

Gumpalan-gumpalan besar awan kumulus bergulung memadati langit. Awan berwarna kelabu pekat itu berpotensi mengundang hujan lebat jika bergesekan satu sama lain.

Di sore dengan cuaca yang tak bersahabat, tengah disaksikan oleh Jihan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupnya.

"Hansel ... jangan pergi." Napas Jihan tersengal, air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya luruh juga membanjiri kemeja Yanan---kekasihnya yang senantiasa menyediakan bahu sebagai tempat bersandar.

"Kamu boleh menangis di pundakku selama yang kau inginkan, tapi biarkan Hansel tenang di sana. Jangan buat dia bersedih karena kamu masih belum bisa melepasnya. Dia pasti tidak suka kalau melihatmu seperti ini." Yanan yang bertugas menenangkan Jihan pun tak kuasa menahan tangis.

Sesaat setelah jasad Hansel dikebumikan, kesadaran Jihan detik demi detik bagai direnggut oleh atmosfer duka yang menyelimuti areal pemakaman ini. Semilir angin senja yang berembus perlahan pun sanggup membuat tubuhnya tumbang. Ia merasa sisa-sisa pertahanannya runtuh bersama air mata. Ia mendadak tak sadarkan diri. Orang-orang di sekitarnya kelimpungan menahan agar tubuhnya tak jatuh ke tanah.

Kehilangan sosok saudara kandung bagaikan kehilangan salah satu anggota tubuh yang teramputasi. Lukanya akan berangsur sembuh, tapi bekas yang ditinggalkan tidak akan pernah menghilang. Selamanya akan selalu terpatri. Rasa sakit yang pernah terlupakan, bisa saja muncul sewaktu-waktu tabir luka lama dibuka kembali.

***

Musim kemarau telah sepenuhnya berakhir. Dahan serta dedaunan mulai dibasahi rintik-rintik air langit. Rona mendung sudah mengambil alih paras terik. Curah hujan dan kelembapan udara mengalami peningkatan.

Para petani bersuka cita. Hasil bumi dari ladang yang telah mereka tanam dan rawat selama ini, siap dituai. Musim panen yang penuh berkah telah datang. Karma baik yang selama ini bersemayam di perut bumi, berkembang merekah, menyambut siapa saja dengan kebahagiaan.

Namun suka cita ini tidak berlaku untuk Jihan. Baginya tak ada yang bisa ia tuai selain kesedihan yang tumbuh dari benih-benih peristiwa tragis.

Musim penghujan ini hanya membawa bekas luka yang tertinggal dari musim-musim yang telah berlalu.

Meningkatnya presipitasi berbanding lurus dengan derasnya aliran air mata yang turun di pipi Jihan. Isak tangis yang setiap jam semakin memilukan hati, tersamar oleh suara rintik hujan dan gemuruh petir.

Di kamarnya yang temaram, ia bebas menangis sepuas kehendaknya tanpa siapapun yang melihat.

Namun yang tak ia sadari, di balik pintu yang tertutup rapat itu terdapat dua insan dengan persaan yang tak kalah hancurnya. Dua insan yang bergulir bersama waktu. Hal yang mereka lakukan tiada lain selain menunggu sampai pintu itu terbuka. Menunggu sesuatu yang tak memiliki kepastian.

"Nak Yanan, hari sudah hampir larut, hujan juga sudah reda. Sebaiknya kamu pulang dan beristirahat. Atau kamu ingin menginap di sini?" tanya seorang wanita paruh baya berwajah lesu yang sedari tadi membisu sejuta kalimat.

Yanan tersenyum getir. Di lubuk hatinya terdapat kesedihan yang tak dapat ia deskripsikan secara verbal, saat melihat jejak-jejak air mata yang mengering di pipi wanita yang merupakan ibunda Jihan tersebut.

"Tak usah, Bu. Saya tidak mau merepotkan. Lagipula setelah ini saya harus berangkat kerja."

"Oh, kamu ada shift malam?"

Yanan mengangguk pelan.

"Kalau begitu biar kumasakkan sesuatu." Bu Tara beranjak dari duduknya, pergi ke dapur. "Sebentar ya."

"Ya Tuhan. Bu, 'kan, sudah saya bilang, tak perlu repot-repot.

Bagaimanapun, Yanan merasa tak enak hati jika harus membuat seseorang yang tengah berkabung jadi kerepotan. Meskipun ini merupakan tawaran.

"Tidak merepotkan kok. Anggap saja sebagai rasa terima kasihku," sahut Bu Tara dari arah dapur. Beliau menyiapkan beberapa sayur-mayur untuk kemudian diolah menjadi lauk-pauk siap makan.

***

Motor matic yang dikendarai Yanan melaju perlahan. Jalanan masih licin setelah tadi diguyur hujan deras. Kubangan lumpur---hasil dari rusaknya jalan yang kemudian membentuk ceruk dan terisi oleh air hujan--juga terlihat di beberapa titik. Ia harus berhati-hati, kalau tidak ia bisa tergelincir.

Malam ini terasa begitu dingin. Angin seolah menusuk menembus serat garmen yang dipakainya.

Dengan kondisi psikis yang kurang stabil seperti sekarang ini, memang lebih baik ia mengajukan izin untuk tidak bekerja. Sayangnya, beberapa hari lalu ia sudah banyak mengambil jatah cuti. Ia takut jika terlalu sering tidak masuk kerja, ia akan dianggap pemalas oleh sang bos dan karirnya bisa terancam.

TIIIINNN...

Suara klakson mobil di belakang Yanan membuatnya kaget setengah mati.

Motor yang ia naiki oleng tak tentu arah, sebelum akhirnya ia terperosok ke bahu jalan. Kaki kirinya tergencat bodi motor setelah gagal menahan keseimbangan. Salah satu kaca spion motornya pecah akibat menghantam bebatuan. Aspal basah menggores lengannya yang meski terbalut jaket tebal, rasa sakitnya tetap tidak bisa diremehkan.

Si pengendara mobil yang tadi membunyikan klakson, dengan angkuh berteriak kepadanya, "Hei! Kalau tidak becus jadi pengemudi, jangan pakai kendaraan bermotor! Jalan kaki atau naik sepeda balita saja!"

Ia sedikit kesal pada pria tua yang seenaknya menumpahkan kekesalan padanya. Belum cukupkah menjadi saksi atas dirinya yang bagai digempur kemalangan tiada henti ini?

Sudah jatuh tertimpa motor pula.

Ah ... sudahlah, semua ini memang salahnya karena kurang fokus saat berkendara di jalan raya.

Lelah fisik dan mental membuat pikirannya menjadi berkabut. Bagaimana tidak, seharian ini ia dihadapkan oleh setumpuk perkara yang tak pernah sekalipun ia harapkan akan terjadi. Apalagi siang tadi, saat pertama kalinya ia melihat Jihan dalam keadaan yang sehancur dan semenyedihkan itu.

***

Setelah mandi air hangat, membersihkan luka-lukanya akibat kecelakaan tadi, dan memakai seragam, Yanan lantas membuka kotak bekal yang diberikan oleh Bu Tara. Aroma udang goreng dan tumisan sawi putih membuat perut kosongnya bergemuruh. Tak ada salahnya, 'kan, mengisi perut sebelum berangkat kerja?

Jihan sudah makan belum ya? Apa dia masih mengurung diri di kamar? Bagaimana suasana hatinya saat ini?

Baru sempat menyantap beberapa suap nasi beserta lauk yang dibuatkan Bu Tara dengan sepenuh hati itu, sendok di tangannya sudah ia jatuhkan dengan frustasi ke atas meja. Pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat di otaknya membuat ia sulit menelan makanan. Masakan seenak apapun kini menjadi terasa hambar di lidahnya.

Jihan, apa kamu tidak lelah menangis seharian? Apa kamu tidak kelaparan?

Yanan tak menuntaskan makan malamnya. Mangkuk nasi ia singkirkan ke wastafel, sementara lauk yang masih tersisa cukup banyak ia masukkan ke dalam kulkas.

Setelah mengikat tali sepatunya, ia bergegas melajukan kembali motornya menembus angin malam menuju tempat kerjanya yang terletak di dekat persimpangan jalan.

Kali ini ia harus lebih mawas diri. Sebisa mungkin meminimalisir kemungkinan terburuk. Kecelakaan kecil yang baru-baru ini menimpanya, ia jadikan sebagai bahan refleksi agar tak mengulangi kecerobohan yang bisa mengundang petaka.

Kilat-kilat cahaya berkelebatan di langit, disusul suara petir berfrekuensi rendah. Tampak tetes-tetes air jatuh ke permukaan kaca helm Yanan. Sepertinya gerimis kembali melanda. Laju motor dipercepat. Ia berharap segera sampai tujuan, sebelum terjebak hujan di tengah perjalanan.

***

Jihan terbangun dengan rasa sakit luar biasa yang menghantam kepalanya. Pikirannya menjadi sedikit linglung. Dan yang terparah, ia seakan buta waktu.

Sudah pagi, kah?

Saat tirai jendela kamar disibakkan, yang tertangkap oleh pandangan matanya hanya suasana gelap. Benaknya berpendapat, mungkin fajar belum menyingsing.

Tubuh lunglai bangkit dari ranjang. Kaki diseret menuju ruang makan. Entah mengapa hari ini tubuhnya merasakan kelelahan yang tidak biasa. Tengkuknya terasa berat. Bahunya seperti sedang memikul beban puluhan kilogram. Perutnya juga seolah tak henti-henti membunyikan musik heavy metal.

Sebagian tekanan di pundaknya seakan menguap ketika---dari radius lima meter---ia mencium aroma harum khas masakan ibunya. Dan benar saja, di sana, di atas meja makan ia menemukan piring-piring berisi makanan kesukaannya. Tak menyangka ibunya sudah masak sepagi ini.

Ia berjalan ke dapur, mengambil semangkuk nasi dari rice cooker. Lalu menaruhnya di atas sebuah baki bersama beberapa lauk dan segelas air mineral.

Tungkai-tungkai panjang berjalan menaiki anak tangga. Menuju kamar Hansel

di lantai dua.

Tepat di depan pintu kamar adiknya, ia berpapasan dengan sang ibu.

"Jihan, kamu sedang apa, Nak?" tanya Bu Tara pada putri sulungnya. Akhirnya anak keras kepala ini bangkit juga dari fase hibernasi.

"Aku ingin membangunkan Hansel supaya tidak telat ke sekolah. Sekalian kubawakan sarapan untuknya."

Bu Tara melirik sekilas jam di dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Tanpa memotong pembicaraan, ia masih menyimak sampai sang anak menyelesaikan ujarannya.

"Aku juga ingin meminta maaf pada Hansel. Tempo hari aku pernah membentaknya hanya karena masalah sepele."

Baki berisi makanan diambil dari tangan Jihan. Bu Tara lantas memindahkannya ke meja terdekat. Bentuk antisipasi jika nanti Jihan secara tak sengaja menjatuhkannya ke lantai.

Tangan kanan terulur untuk mengusap lembut kepala anak yang saat ini tinggal satu-satunya ia miliki. Air mata meleleh, berjatuhan ditarik oleh gravitasi.

"Nak ... Jihan sayang ..." Deru nafas tercekat di ujung tenggorokan, Bu Tara berusaha melanjutkan kalimatnya meski sulit terucap oleh lisan, "Hansel sudah tiada."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status