Share

6. Si Bajingan dan Si Gila

Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan.

Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli.

Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya.

Dengan sabar, Jihan menunggu di samping pintu masuk restoran. Ia tidak mau terlibat peredebatan dengan wanita yang tak dikenalnya itu. Ia hanya ingin bertemu pria bajingan yang telah melakukan pengkhianatan terhadap keluarganya sendiri.

Beruntungnya, tanpa perlu waktu lama, wanita itu keluar dari restoran seorang diri. Wajahnya tampak sumringah seperti baru saja menang lotre.

Jihan melipat payungnya dan masuk ke dalam rumah makan mewah itu, menghampiri ayahnya yang sedang terduduk di salah satu meja dengan jemari yang bergerak gesit di atas papan ketik laptop.

"Kenapa tidak datang ke pemakaman Hansel?"

Pria paruh baya bersetelan formal itu spontan terperanjat ketika mendapati sang anak sulung yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Dengan sigap ia menyusun sejumlah alasan, karena ia tahu anaknya tidak akan puas dengan jawaban yang singkat. "Sebenarnya Ayah ingin datang, tapi ada partner bisnis dari Beijing yang mendadak mengadakan meeting. Dan juga, beberapa hari lagi Ayah harus mengurus proyek di Tokyo. Jadi Ayah tidak sempat--"

"Tidak sempat Anda bilang? Atau jangan-jangan Anda sebenarnya merasa bahwa memberi penghormatan terakhir pada Hansel tidaklah lebih penting dari bisnis murahan itu?" potong Jihan dengan intonasi tinggi.

"Heh, apa-apaan kamu ini? Kenapa malah mengejek ayahmu sendiri?"

"Anda pikir saya butuh jawaban yang seperti itu? Anda bermaksud pamer, 'kan, pada saya? Pamer betapa kehidupan yang Anda jalani baik-baik saja meski telah berpisah dengan ibu saya. Pamer betapa karir Anda semakin melejit setelah berhasil menendang keluargamu sendiri. Asal Anda tahu, saya tidak peduli Anda ada proyek di Tokyo, Beijing, Hongkong, Taipei, atau Uzbekistan sekalipun!"

Jihan sudah muak mendengar semua alibi yang dipaparkan oleh mantan ayahnya. Ia paham benar semenjak bercerai dengan ibunya, pria ini memang sudah tidak lagi mempedulikan bagaimana kedua anak kandungnya menjalani hidup. Ayahnya hanya bernafsu menumpuk harta dan mengejar kesenangan duniawi.

Jihan tidak masalah jika ayahnya memang ingin mencabut jatah bulanan yang selalu diberikan kepadanya, toh ia bisa kerja paruh waktu untuk menutupi biaya kuliahnya. Jihan tidak masalah jika ayahnya lebih memilih lepas dari kehidupan lamanya yang mungkin saja membuat ia seperti terkukung dalam jeruji. Jihan tidak masalah jikapun ia benar-benar kehilangan sosok ayah dalam hidupnya.

Namun yang ini sungguh keterlaluan.

"Menghadiri upacara pemakaman anak sendiri saja tidak sempat. Saya ragu, apa Anda masih layak saya sebut sebagai seorang ayah." Ingin sekali ia mengeluarkan makian terkasar dan berkata betapa tolol pria didepannya ini, tetapi hanya itu yang dapat ia ucapkan dengan suara begetar karena menahan sesuatu yang ingin segera meledak---entah kesedihan atau kemarahan atau keduanya.

Ia memang tidak akan pernah menang melawan ayahnya.

"Hapus air matamu. Yang sudah pergi biarlah pergi, sebanyak apapun kamu menangis tak akan membuatnya hidup lagi. Kamu tidak boleh cengeng. Mulailah hidup baru." Pak Hasim berujar dengan ringan, seolah tak ada penyesalan sebesar atom pun dalam hati busuknya.

Seolah kepergian Hansel hanyalah seremeh kematian karakter figuran dalam sebuah pertunjukkan drama.

Jihan benar-benar tak menyangka, ayahnya ternyata sudah serusak ini.

Tangan Jihan terkepal erat sampai kuku-kukunya menusuk kulit. Kalau ia tidak bisa mengatur emosi, kemungkinan besar kepalan itu sudah meluncur dengan ganas dan bertubi di wajah sang pria keparat.

Kenapa harus Hansel? Kenapa bukan si tua bangka ini saja yang mati? Aku yakin raja iblis telah menyiapkan singgasana teristimewa di neraka untuk orang seperti dia.

***

Seseorang pernah berkata padaku ...

"Jika kamu menangis di depan orang yang menyayangimu, maka orang itu akan bersedia menyediakan bahunya sebagai tempat bersandar.

Namun jika kamu menangis di depan orang yang ... jangankan menyayangimu, peduli akan dirimu saja tidak. Maka orang itu akan memaparkan sejuta alasan tentang betapa mereka bernasib lebih malang darimu dan tak seharusnya kamu menangis hanya karena sebuah masalah yang mereka anggap sepele."

Tadinya kuanggap ucapan itu hanya omong kosong belaka, tetapi sikap brengsek ayahku barusan membuktikan bahwa perkataan itu benar adanya.

Payung yang setia menemani perjalanan Jihan, sengaja ia tinggalkan di depan restoran tadi. Ia biarkan rintik hujan membasahi sekujur tubuhnya. Ia biarkan air hujan turun di wajahnya, menyamarkan tangisnya.

Ia bawa langkahnya ke suatu tempat di mana ia bisa benar-benar sendirian. Tentu saja rumah ia taruh sebagai opsi terakhir. Lagipula ia tak mungkin pulang dengan keadaan kacau seperti ini. Masalah seperti, apakah nanti ibunya akan khawatir mencarinya karena tak pulang semalaman, itu urusan belakangan.

Suara tapak sepatunya bergaung di sepanjang koridor sunyi yang menghubungkan antara Fakultas Pertanian dan Fakultas Geologi. Bayangannya tercipta dari pantulan cahaya neon. Jaket tipisnya berkibar perlahan diterpa semilir angin. Kedua tungkainya gemetar hebat, sebagai akibat dari kelelahan dan hawa dingin yang tak tertahankan.

Ia menguatkan dirinya sendiri agar tak tumbang.

Akhirnya, anak tangga yang berjumlah kurang lebih enam puluh tiga berhasil ia taklukan.

Dari balik pintu rooftop, terpaan angin yang lebih kuat menyapanya. Perlahan ia tutup benda persegi panjang bermaterial logam tersebut.

Jihan melihat pantulan semu dirinya pada genangan air hujan di dekat sepatunya. Wajah seorang pecundang. Segera ia injak sang refleksi buram dengan perasaan kesal. Entah mengapa ia jadi benci melihat wajahnya sendiri.

Ia abaikan genangan keruh tak penting itu, kemudian berjalan lagi hingga langkahnya dihentikan secara sepihak oleh beton pembatas.

Dari atap bangunan tinggi yang ditapakinya, ia melihat segalanya tampak mengecil di bawah sana. Bentangan sawah, kebun semangka, toko kelontong, bus terakhir, motor yang satu-dua masih melintas, rumah-rumah warga, jalanan yang temaram. Jihan merasa seperti ia sanggup meremukkan semua itu dalam genggamannya.

Gedung kampusnya memang tak seberapa tinggi jika dibandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit di perkotaan. Namun dapat terbayang oleh Jihan akan sehancur apa tubuhnya, jika ia menuruti insting gilanya untuk menyusul Hansel ke alam baka.

Ada suara gerendel yang menelisik ke telinganya. Khayalan mengerikan tentang rencana mengakhiri hidup terpecah begitu saja. Pintu rooftop yang tadi sudah ia tutup rapat, kembali terbuka. Seseorang berpostur tinggi menghampirinya.

Sumpah demi apapun, saat ini ia sama sekali tidak ingin diganggu. Terlebih oleh orang yang sekarang tengah berjalan dengan langkah santai sambil bersiul menyebalkan itu.

"Sendirian saja? Yanan mana?"

"Ke Jakarta."

"Ke Jakarta? Untuk apa?"

"Dia dapat panggilan wawancara kerja."

Juno bertepuk tangan dramatis, seolah baru saja mendengar kisah super fantastis. "Wow! Keren juga anak itu. Bermodal ijazah SMA, bisa sampai ke ibukota. Padahal, aku yang merupakan calon sarjana saja tidak yakin akan segera mendapat kerja setelah lulus nanti."

Jihan tidak peduli. Ia sedang malas berbasa-basi. Yang ia inginkan hanyalah bocah idiot itu segera angkat kaki dari sini.

Merasa diabaikan oleh partner mengobrolnya, Juno memiliki ide untuk melakukan sesuatu yang dapat membuatnya menjadi pusat perhatian. Sebatang kembang api yang ada di genggamannya, ia sulut dengan sebuah pemantik tanpa aba-aba. Gemerlap pijar-pijar api menyembur, menghiasi langit malam yang monoton. Suara ledakannya membuat telinga Jihan pekak.

Sial. Dia pikir ini malam tahun baru?

"Sebenarnya apa tujuanmu datang ke mari, brengsek?!"

Dengan senyum bodoh seperti tidak pernah melakukan dosa, Juno berseloroh. "Mmm ... menghiburmu."

Ah, aku hampir lupa satu hal. Jika kamu menangis di depan orang gila, maka orang itu akan melakukan hal konyol yang senantiasa memicu tingginya tekanan darahmu.

"Sudah cukup aku dibuat muak oleh bajingan bau tanah itu. Kamu tidak perlu memperkeruh suasana hatiku." Satu tangannya terangkat untuk mencengkeram kerah baju Juno. "Jika kamu ingin menghiburku, tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku menangis tanpa siapapun di hadapanku."

Juno ternganga, tidak biasanya Jihan seserius ini ketika berbicara dengannya. Ia jadi merasa sedikit iba pada sobat karibnya. Pasti perempuan bermata sembab itu melalui hari yang benar-benar parah.

"H-hei ... santai, Ji." Perlahan diturunkannya tangan Jihan yang masih bertengger di kerah kemeja flanelnya. "Aku tahu kamu sedang berduka. Tapi memangnya tidak lelah menangis terus-menerus?" 

Juno merogoh sesuatu dari saku celana jeansnya, lalu menyodorkan sebungkus bubuk putih beraroma aneh tepat di depan wajah Jihan. "Mungkin ini bisa membuatmu ceria kembali."

Mata Jihan memicing, rasa curiga tak dapat dihindarkan saat melihat bungkusan transparan berisi butiran-butiran sewarna kapas tersebut, "Apa itu?"

"Coba saja. Rasanya enak."

Sungginggan seringai terbit di bibir Jihan, seperti telah mengetahui maksud terselubung Juno. "Tidak. Aku tidak mau."

Kurang ajar betul. Kamu mau menyeretku ke dalam lembah maksiat, kemudian memeras hartaku hingga tak bersisa? Tidak semudah itu, Juno!

"Baiklah. Akan aku tinggalkan di sini. Mungkin saja kamu berubah pikiran." Bungkusan hina tersebut Juno selipkan pada temali sepatu kets yang Jihan kenakan, "Ah, kali ini kuberikan gratis untukmu. Jadi tidak perlu merasa berhutang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status