Share

5. Ruang Eksekusi

Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.

Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.

Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.

***

Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.

Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Sendirian. Tanpa siapapun di sampingnya.

Sinting!

Membayangkan saja sudah membuat dadanya disesaki beragam emosi. Sedih, takut, marah. Namun yang paling dominan adalah penyesalan.

"Setelah menyatakan insiden ini sebagai kecelakaan, polisi menutup kasus kematian Hansel," ujar ibunya sangat lirih, terdengar bagai bisikkan yang dikumandangkan di ruang angkasa.

Jihan mendengus kasar. Mengapa para polisi itu terlalu cepat menarik kesimpulan? Tidak bisakah menunggu hasil visum dokter? Dan, bukankah seharusnya mereka melakukan investigasi lebih lanjut mengenai kematian adiknya yang tampak sangat janggal ini?

Baiklah, ia memang tak membutuhkan bantuan dari para aparat yang tidak becus itu.

Mulai detik ini tekadnya sudah bulat, tidak ada yang bisa menghentikan Jihan untuk mencari tahu penyebab riil kematian adiknya.

Jika suatu saat nanti ia menemukan sosok tersangka di balik tragedi ini, maka ia sendiri yang akan menghakimi orang tersebut. Tanpa campur tangan penegak hukum sekalipun.

***

Persis di depan piagam penghargaan "Sekolah Peduli Kesehatan Mental Siswa se-Indonesia"---yang terpampang di suatu sudut strategis sekolah itu---Jihan berdiri menunggu ibunya yang sedang berada di dalam ruang komite sekolah. Sepertinya beliau menerima santunan duka cita dari pihak yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang menimpa Hansel---dalam hal ini segenap guru dan kepala sekolah.

Batinnya berkata, uang sebanyak apapun yang mereka berikan, nyawa adiknya tetap tidak akan terganti.

Tiba-tiba dari arah belakang, seorang siswa yang tengah kerepotan membawa setumpuk kertas tidak sengaja menubruk punggungnya.

"Maaf. Biar kubantu." Ya, Jihan tetap mengucap kata maaf walaupun ini bukan salahnya.

Jihan membantu sang siswa mengumpulkan kembali kertas-kertas yang bertebaran. Ia meliriknya sekilas. Kertas itu berisi soal-soal matematika dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Mungkin untuk try out, pikir Jihan.

Anak lelaki itu hanya membungkuk kecil, kemudian melengang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

***

"Diduga akibat terpeleset lantai yang licin, seorang siswa SMA tewas di toilet sekolah, setelah kepalanya membentur kloset. Pihak sekolah menyimpulkan semua ini murni kecelakaan."

Suara pembaca berita di televisi sungguh mengusik telinga Jihan. Begitu bising dan menyebalkan seperti kicauan burung parkit yang kelaparan.

"Kecelakaan? Mereka bilang kecelakaan?"

Lewat sambungan telepon, Yanan masih menyimak. Belum berani memberi komentar apapun.

"Berdasarkan data yang ku terima dari ahli patologi forensik ..." Jihan membaca saksama lembaran analisis di tangannya, "... terdapat kandungan hidrogen peroksida dalam kadar yang cukup tinggi di lambung Hansel."

"Hidrogen peroksida?" Yanan berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah membaca komposisi kimia tersebut.

"Ya, zat yang jika tertelan bisa menyebabkan iritasi lambung serta hematemesis."

Dengan frustasi, Jihan membanting tumpukan kertas hasil visum hingga berhamburan. Dari seberang sana, Yanan dapat mendengar suara gemeresaknya.

"Yang aku herankan, bagaimana bisa para wartawan yang sok tahu itu, menelan mentah-mentah informasi dari pihak sekolah yang menyatakan bahwa adikku meninggal karena kecelakaan? Polisi dan kepala sekolah juga, mengapa banyak yang mereka tutup-tutupi dari media? Ah, entahlah, mereka semua terlihat brengsek di mataku." Ponsel diapit di antara telinga dan bahu. Sebatang rokok dinyalakan untuk kemudian dihisap dalam-dalam oleh Jihan. "Terpeleset di toilet? Adakah lelucon yang lebih tidak lucu dari ini?"

"Jika Hansel memang terbentur kloset, pasti ia mengalami pendarahan internal di kepalanya. Sementara tidak satupun hasil visum dokter yang menyebut bahwa ada pembuluh darah yang pecah di bagian kepala adikmu."

"Ya, kamu benar Yan. Karena itu, aku meragukan kesaksian yang diungkap pihak sekolah." Asap rokok yang terhirup dan mengumpul di rongga mulut, kini terhembus. Meari menaruh lintingan tembakaunya pada sebuah asbak berbentuk kura-kura. "Tadi aku berkunjung ke sekolah Hansel. Mengambil beberapa sampel makanan di kantin untuk kemudian mengujinya di lab, aku curiga kalau dia keracunan. Dan setelah itu ..."

Jihan menggantungkan kalimatnya.

"Setelah itu ...?"

Hening melihngkupi keduanya untuk beberapa saat. Hingga akhirnya Jihan kembali membuka mulut.

"Aku ... melihat sendiri tempat dimana adikku meregang nyawa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status