Share

BAB 3 : Hidupku & Adik-adikku

Aruna sampai rumah sekitar jam enam sore, perlu waktu satu jam untuk sampai rumah. Dan itu terjadi karena lalu lintas di jam keluar kantor yang padat merapat. Sesampai di rumah, ia langsung mengganti pakaian seragam kantor dengan pakaian rumah. Setelah itu, ia memasak untuk makan malam hari ini.

Ayahnya telah sampai di rumah, dan seperti biasa Ayah selalu membantu pekerjaan rumah dengan menyiram tanaman. Mereka menempati rumah itu sejak lama, yang merupakan hasil jerih payah Ayah dan almarhum ibunya. Dulu ibunya melayani katering di tiga perkantoran.

Keuletan ibu dan ayahnya membuat mereka memiliki rumah di kota Jakarta. Dengan status ayahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil golongan rendah dan usaha ibunya yang berjualan nasi campur, membuat kehidupan mereka lebih baik. Sampai akhirnya sang ibu sakit parah dan wafatnya sang ibu tiga tahun lalu, membawa mereka pada keterbatasan secara ekonomi. Kala itu Aruna baru bekerja di Bank.

Adik pertamanya bernama Aditya, kala itu ia baru lulus kuliah. Kecerdasan dan keberuntungan didapat Aditya, karena saat ia mencoba untuk mengikuti CPNS, ia lulus dengan nilai yang terbilang cukup baik, dan saat ini telah menjadi PNS di Departemen Sosial.

Adik yang kedua bernama Andika, sewaktu ibunya meninggal ia baru lulus SMA. Saat ini Andika masih menempuh pendidikan di sebuah Universitas Negeri, semester enam mengambil jurusan Ilmu Hukum.

Adik ketiga bernama Arimbi. Ia baru kelas tiga SMP ketika ibunya meninggal. Saat ini ia telah kelas tiga SMA (kelas 12) dan tahun ini adalah tahun kelulusannya. Sekarang ini ia disibukkan dengan belajar dan belajar, agar bisa diterima pada salah satu Universitas Negeri yang menjadi pilihannya. Sedangkan si bungsu Arumi sewaktu ibunya meninggal ia baru kelas lima SD dan saat ini, ia sudah kelas dua SMP (kelas 8).

Bagi Ayah Aruna yang bernama Darmawan, pendidikan adalah hal yang penting sebagai warisan yang bisa ia berikan. Karena itu Darmawan sangat ingin kelima anaknya bisa mengenyam pendidikan sampai Perguruan Tinggi.

Darmawan yang hanya lulusan SMP, tidak ingin anaknya hanya menjadi pegawai golongan bawah seperti dirinya. Darmawan bekerja sebagai sopir di Departemen kesehatan. Walaupun demikian, Darmawan sangat bersyukur karena kelak, saat ia semakin tua dan telah pensiun, ia tidak memberatkan hidup putra-putrinya yang mungkin saja telah berkeluarga.

Walaupun ia masuk dalam golongan bawah namun statusnya sebagai PNS membuat ia tetap mendapatkan tunjangan hidup dari uang pensiunnya. yang dapat ia gunakan untuk biaya hidup sehari-hari. Dan saat ini ayah Aruna berusia empat puluh tujuh puluh tahun.

“Kak Runa, apa sudah selesa masak?” tanya Arumi yang baru saja sampai di rumah.

“Kamu koq baru pulang, Rumi?” tanya Runa pada adik bungsunya.

“Iya kak, tadi ada penyuluhan tentang bahayanya narkoba, jadi kita semua kumpul di aula untuk dengar ceramah bapak polisi dan orang dari BNN,” jawab Arumi.

“Ooh begitu.., panggil semua kakakmu, makanan sudah siap. Atau kamu mandi dulu, baru kita makan?” tanya Aruna pada adiknya.

“Duh! nanti saja mandinya, Arumi sudah lapar. Sekarang Rumi panggil semuanya,” Arumi pun melesat memanggil kakaknya satu persatu yang mayoritas sedang bersantai dikamar mereka usai membersihkan diri. Kecuali ayahnya yang selalu duduk di depan televisi.

Mereka pun makan malam bersama dan sudah menjadi kebiasaan, disela-sela makan malam, mereka bercerita tentang kejadian dan aktivitas mereka hari ini. Selesai makan malam, Aruna dan Arimbi merapikan meja makan dan mencuci piring dan Arumi beranjak ke kamar mandi. Sedangkan kedua adik lelakinya, Aditya dan Andika mengisi waktu istirahat mereka dengan bermain playstation di kamar lalu Darmawan kembali menikmati acara di televisi.

“Arim, kamu harus belajar yang giat, ingat! fokus supaya bisa tembus di Universitas Negeri. Memang kamu pilih Universitas mana saja?” tanya Aruna selesai membersihkan meja makan dan dapur bersama adiknya Arimbi.

“Yang utama sih, UI (Universitas Indonesia) kak, cadangannya Undip (Universitas Diponegoro),” sahut Arimbi. Dan meninggalkan Aruna yang masih duduk di meja makan. Terlihat Arumi mencari Darmawan yang sedang menonton televisi.

Terpikir oleh Aruna, jika adiknya dapat di Undip, berarti adik perempuannya ini akan tinggal di Semarang, dan pastinya selain biaya kost, ia juga harus memikirkan biaya makan, transportasi dan biaya kuliahnya.

Ia sangat berharap kalau adiknya tidak kuliah di luar kota, agar ia tidak mengeluarkan biaya terlalu banyak. Apalagi adik bungsunya tahun depan harus mencari Sekolah Lanjutan Atas.

Selesai dengan urusan dapur, Aruna berjalan ke ruang keluarga menemani ayahnya yang sedang menonton berita di televisi. Aruna sedang pun duduk di samping Darmawan yang duduk di sebuah sofa.

“Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Runa?” tanya Ayah, tanpa menoleh dan tetap fokus pada berita di televisi.

Aruna pun menjawab, “Semua aman-aman saja.., ayah.”

Kembali Ayahnya bertanya, “Runa.., tadi adikmu bicara sama ayah. Katanya selain UI, dia pilih Undip juga. Bagaimana menurut kamu? Ayah hanya kuatir, karena selama ini Arimbi kan nggak pernah merasakan hidup sendiri. Dan ayah juga takut nggak bisa mengontrol pergaulannya. Ayah jadi pusing.”

“Iya, tadi juga Arimbi sudah cerita. Cuma Runa belum bisa kasih pendapat. Coba.., besok Ayah tegaskan lagi sama Arimbi. Apa dia bisa mandiri di sana? Empat tahun itu waktu yang lama. Runa takutnya, dia berhenti di tengah jalan. Ayah kan tahu, gimana Arimbi kalau sudah ada maunya,” Aruna menumpahkan segala kegalauan hatinya pada sang ayah, tentang pendidikan adik perempuannya.

“Hmmmm, ya sudah nanti ayah ngomong juga sama Adit, biar ayah enggak disalahkan. Kalau gimana besok atau lusa, waktu semuanya libur, kita bicarakan bersama,” ujar Darmawan, lalu bangun dari tempat duduknya. “Hmmm, Runa kamu mau nonton TV apa nggak? Kalau nggak ayah matikan saja TV nya.”

“Matikan saja, Yah! Runa juga mau istirahat.”

“Ya udah ayah istirahat dulu. Kamu juga lebih baik tidur lebih awal,” ujar Ayah mengingatkan Aruna untuk beristirahat dan berlalu dari hadapan Aruna.

Kini Aruna duduk sendiri di ruang keluarga. Lalu ia meminta tolong pada adik bungsunya untuk mengambilkan ponselnya yang masih ada di dalam tas kerjanya.

“Arumi, Rumiii..! tolong ambilkan ponsel kakak di dalam tas,” dengan berteriak Aruna meminta bantuan adik bungsunya.

Arumi membawa ponsel kakaknya dengan wajah yang ditekuk dan menggerutu, “Kakak ini males sekali! Menyuruh saja kerjanya,”

Setelah memberikan ponsel Aruna ia kembali ke kamar untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru disekolahnya. Melihat adiknya menggerutu, Aruna hanya tersenyum dan berkata, “Maaf yaa dik, soalnya kakak lagi malas.., hehehehe.”

Aruna pun membuka ponselnya, terlihat ada pesan masuk dari Lukman, dengan bermalas-malasan Aruna membuka pesan itu.

[Pesan masuk dari Lukman nasabah : Malam mbak, maaf mengganggu. Besok saya ada penempatan dana cukup besar, apa bisa, besok dananya diambil ke rumah saya?]

Setelah membaca pesan itu, ia langsung membalas pesan Lukman.

[Pesan keluar untuk Lukman nasabah : Baik pak, besok pagi saya akan sampaikan ke atasan saya, terkait penjemputan dana di rumah bapak, setelah itu saya akan konfirmasi kembali ke bapak. Terima kasih]

Selesai membalas pesan singkat pak Lukman, Aruna kembali memikirkan tentang universitas yang akan di ambil oleh adiknya, Arimbi. Bagi Aruna, akan terlalu berat biaya yang akan ditanggung, jika Arimbi akan melanjutkan kuliah di luar kota. Hanya saja, sikap keras Arimbi akan membuat ia tidak akan menerima masukan dari siapa pun.

“Hmmmm.....” terlihat Aruna menarik napas panjang, walau terasa berat menjalani hidup sebagai pengganti ibu, namun ia merasa yakin, kalau ia akan mampu menggantikan peran ibu bagi adik-adiknya.

Terdengar nada bip pada ponselnya. Dan terlihat Lukman mengirim pesan kembali padanya.

[Pesan masuk dari Lukman nasabah : Malam mbak, maaf mengganggu, apa bisa besok mbak ikut ke rumah ketika bagian Teller mengambil dananya, karena saya ada rencana untuk membuka kartu kredit. Jadi bisa bawakan saya form pembukaannya?]

Membaca pesan dari pak Lukman, membuat Aruna jengkel dibuatnya. Karena ia merasa, Lukman sudah menyalahi aturan jam kerja, apalagi ia bukan marketing. Lalu ia langsung menjawab pesan itu.

[Pesan keluar untuk Lukman nasabah : Malam pak Lukman, besok akan saya tanyakan ke atasan saya untuk pembukaan kartu kredit bapak. Selamat beristirahat.]

Setelah membalas pesan dari pak Lukman, Aruna langsung mematikan ponselnya. Ia akan beristirahat dan tidak mau diganggu lagi oleh pesan dari Lukman. Selesai mematikan ponsel, ia pun beranjak ke kamar tidur. Di kamar ini, Aruna tidur sendiri, sedangkan kedua adik perempuannya tidur dalam satu kamar, begitu juga adik lelakinya.

Di dalam kamar, Aruna masih memikirkan rencana Arimbi yang akan melanjutkan kuliah ke UNDIP, jika pilihan di UI gagal. Entah mengapa hatinya sangat risau dan ia berharap adiknya bisa di terima di UI.

Ia pun berbicara di dalam hatinya, ‘Yaa Tuhan, kasih jalan buat adik saya. Kalau sampai dia nggak dapat kuliah di UNDIP bagaimana cara saya mengontrol dan membiayainya.’

Terbayang wajah Almarhum ibunya. Ada saat ia merindukan kehadiran ibunya yang luar biasa gigih dan ulet dalam mengangkat kehidupan mereka.

Teringat dalam benak Aruna, bagaimana ibu yang setiap pagi bangun lebih awal mengurus anak-anaknya dan memasak untuk berjualan. Ia ingat, sewaktu ibunya mengajak ke beberapa kantor untuk menawarkan masakannya lewat katering.

“Buu.., Runa kangen, hiks..hiks..,” Runa menangis dalam kesendiriannya. Dan hal ini sering kali terjadi, setiap ada suatu masalah yang di pikirkannya dan terasa berat untuk dijalani.Ia pun memanggil ibunya, menangis hingga terlelap.

Selama ini, Aruna tidak menjalani kehidupan seperti rekan-rekan sekantornya yang selalu punya rencana untuk hangout saat menerima gaji. paling tidak, seharusnya ia bisa sedikit berhura-hura dengan gaji yang diterima untuk membeli hal yang di ingini.

Yang ada di dalam benaknya, mereka harus bahu membahu agar adik- adiknya bisa sekolah tinggi. Akhirnya Aruna terlelap dalam tidur dengan memeluk photo ibunya.

Keesokan paginya, jika tidak kesiangan Aruna dan adiknya Arimbi memasak untuk menyiapkan sarapan bagi anggota keluarga dan masak untuk makan siang. Disaat ia dan Arimbi masak, beberapa anggota lain berbagi tugas. Ada yang menyiram tanaman, menyapu halaman, merapikan tempat tidur. Jadi semua tugas di bagi rata.

Selesai memasak, Arimbi di minta oleh Aruna untuk memanggil seluruh anggota keluarga untuk sarapan bersama. Mereka pun duduk bersama di sebuah meja makan untuk sarapan, sama seperti hari-hari kemarin mereka berdoa bersama sarapan. Disela-sela sarapan ini, mereka saling membicarakan tentang rencana dan kegiatan hari ini.

“Ayah, kata Runa ada yang mau dibicarakan?” tanya Aditya sambil mengambil nasi dan lauk.

“Iyaa, Uhmm..., besok sajalah kalau kita semua libur. Biar bisa kita bicarakan semuanya,” pinta Darmawan.

“Tetapi Yah.., di hari Sabtu dan Minggu, Adit ada gathering di kantor,” Aditya memberitahukan ayahnya, tentang gathering yang harus di ikuti.

“Ooh begitu...,” balas Darmawan. Sambil mengunyah makanannya. Sementara anggota keluarga yang lain hanya menyimak sambil menikmati sarapan di pagi ini.

Setelah mendorong makanan yang masih ada di tenggorokannya dengan segelas air putih, ia pun kembali berbicara, “Adit.., adikmu Arimbi akan mengambil pilihan di dua Universitas Negeri. Kalau dia dapat di Universitas Indonesia, gampanglah kita nggak usah dibicarakan lagi. Yang jadi masalah kalau dia dapat di UNDIP! Bagaimana pendapat kamu?

Aditya yang telah selesai menikmati sarapannya langsung menjawab, “Menurut Aditya sih.., biar saja Arimbi kuliah diluar kota. Udah saatnya dia mandiri. Memang, untuk biaya kost, makan dan transportasi akan lebih banyak. Tetapi.., namanya pendidikan dimana-mana yaa mahal harganya,” ucap Aditya.

Sesaat ruang makan itu hening. Lalu, Aruna memecah keheningan dengan berkata, “Sudah nanti kita bahas lagi sore hari. Sekarang yang belum mandi, mandi saja dulu.”

Akhirnya mereka membubarkan diri dan beranjak ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri, karena mereka akan melakukan aktivitas. Sementara Aruna merapikan meja makan yang di bantu Arimbi. Usai menaruh seluruh piring kotor di tempat cucian piring, Aruna meminta Arimbi untuk mandi.

“Arim, sudah sana kamu mandi saja, biar kak Runa yang mencuci piring kotor,” pinta Aruna. .”

Tanpa di minta dua kali, Arimbi meninggalkan Aruna yang sedang merapikan segala kekacauan di pagi hari. Selesai merapikan dapur dan meja makan, Aruna pun berjalan ke kamarnya untuk mandi dan berangkat ke kantor. Dan seperti itulah kegiatan yang terjadi di pagi hari pada rumah Aruna.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status