Share

BAB 4 : Alasan Terselubung

Seperti biasa selesai sarapan pagi, Aruna pergi ke kantor bersama adiknya Aditya menggunakan sepeda motor. Tetapi, jika Aditya ada acara di kantor atau sedang bertugas di luar kota, maka Aruna akan menggunakan angkutan umum.

Untuk adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMP setiap pagi, ia diantar ke sekolah oleh Andika, karena kampusnya satu jalan dengan sekolah Arumi. Sedangkan Arimbi, ikut ayahnya setiap pagi dan pulang sekolah ia menggunakan angkutan umum.

Begitu juga dengan Arumi, ketika pulang sekolah, ia akan menggunakan angkutan umum. Dan biasanya kedua adik perempuan Aruna sampai di rumah sekitar jam dua siang. Sedangkan adik lelakinya yang kuliah, terkadang sampai di rumah jam dua siang, namun terkadang Andika pun pulang ke rumah pada saat malam hari, karena kesibukannya sebagai asisten dosen di kampusnya.

Sekitar empat puluh menit, Aruna sampai di kantornya. Ia menyerahkan helm yang ia gunakan ke adiknya. Karena di kantornya tidak ada tempat untuk penitipan helm. Ia lalu berjalan melangkah ke dalam gedung itu. Sesampai di lobby kantor ia bertemu dengan Sari, rekan sejawatnya yang terlihat habis menarik uang di ATM.

“Woi...!” seru Sari yang melihat Aruna masuk tergesa-gesa ke tempat absensi. Mendengar teriakan rekan kantornya, Aruna menoleh dan tersenyum lalu tetap berjalan dan di ikuti oleh Sari yang berlari kecil di belalangnya, lalu Aruna yang melihat Sari di belakangnya bertanya, “Lo udah absen?”

“Udah laah, gue paling duluan sampe kantor, masih gelap gue udah sampe kantor,” ujarnya sambil menunggu Aruna menaruh kartu absensinya lagi.

Aruna yang mendengar perkataan Sari langsung melengos, males untuk meladeni ucapannya. Dan Sari yang melihat Aruna meninggalkannya ke ruangan Customer Service menggerutu, “Yee, Elah.., tega banget nih orang., gue tungguin malah, gue di tinggalin.”

Sari yang telah menaruh tas dan ponselnya ke loker, mengikuti langkah Aruna yang masuk ke ruangan Customer Service untuk menaruh tas dan ponselnya sebelum menjalankan aktivitasnya di pagi ini.

Lalu ia teringat akan pesan nasabah yang bernama Lukman. Lalu ia kembali mengambil ponselnya untuk dibawa ke hadapan ibu Krisna untuk memberitahu perihal permintaan nasabah yang bernama Lukman.

Sari yang melihat Aruna meninggalkannya tanpa bicara, kembali nyerocos saat Aruna berjalan di hadapannya yang menunggu di ruangan Customer Service.

“Arunaa..., lo mau kemana sih, sok sibuk banget..,” ucap Sari dengan nada kesal pada Aruna yang tidak menggubrisnya. Dan mengambil kembali ponselnya yang telah di taruh pada lokernya.

“Pagi Bu Krisna,” sapa Aruna pada ibu Krisnawati yang telah duduk di bangkunya.

“Pagi Runa, ada apa?” tanya Bu Krisnawati. Lalu Aruna duduk di hadapan ibu Krisnawati. Dan ia memberitahukan perihal nasabah yang bernama Lukman dengan memperlihatkan pesan yang telah dikirim oleh Lukman.

“Ehmm.. ya sudah kalau memang keinginan nasabah seperti itu, kamu siap-siap aja untuk menyiapkan form yang diperlukan. Sekarang ibu mau koordinasikan dulu sama ibu Nita, supaya menyiapkan satu Teller untuk ambil dana ke nasabah,” ucap ibu Krisnawati. Lalu Aruna dan ibu Krisnawati berdiri dan meninggalkan kursinya.

Aruna yang mendapat perintah untuk menyiapkan form yang dibutuhkan langsung mengambil beberapa form dan menaruh pada sebuah map. Kemudian ia kembali ke ruangan Customer Service untuk mencari Sari yang tadi di tinggal di ruangan tersebut.

“Sari, Sar...!” panggil Aruna dengan sedikit berteriak ke arah Sari yang cuek dan terlihat masih memainkan ponselnya di ruangan Customer Service.

“Sari.., gue mau curhat Sar.., dan semua akibat kesalahan elo nih,” ujar Aruna memancing Sari dengan cara menyalahkan rekannya itu. Dan benar saja, ia menoleh ke arah Aruna dengan pandangan dan raut wajah yang di tekuk.

“Koq lo nyalahin gue.., emang gue salah apa sama lo?” tanya Sari dengan wajah sewot.

“Bukan nyalahin lo sih, Cuma gegara lo kasih nomor telepon gue tempo hari ke nasabah yang namanya Lukman, urusan gue jadi panjang sama dia,” ujar Aruna dengan wajah sedang memikirkan sesuatu.

“Uhmm, memang pak Lukman itu kurang ajar sama lo ya? Atau dia ngelecehin lo dengan kata-kata kotornya? Atau dia, hmmm, kirim photo anu..?” dengan melotot Sari memastikan kejadian apa yang terjadi dengan rekan kantornya sama nasabah Lukman yang ia berikan nomor ponsel Aruna.

“Sari.., napa sih kotor banget otak lo, anu apa maksud lo, otak ngeres..,” ujar Aruna dengan tersenyum karena bisa memancing rekannya untuk berbicara padanya.

“Hemmm, gue pikir.., Abis apa sih yang mau lo omongin tentang lelaki plontos yang baik hati itu?”

“Baik hati pala lo peang, begini Sar, dia itu__” ucapan Aruna tidak dapat diteruskan karena tiba-tiba ibu Krisnawati masuk ke dalam ruangan Customer Service dan berkata padanya, “Aruna, apa sudah kamu siapkan semua form yang akan dibawa ke nasabah itu?”

“Sudah Bu,” jawab Aruna singkat. Sementara Sari terlihat berdiri dari tempat duduk yang ada di sana, menuju lokernya untuk menaruh ponselnya.

“Uhmm, kamu nanti tolong bantu Yeni untuk hitung uangnya yaa, ingat hati-hati, jangan tergesa-gesa. Kalau salah hitung nanti kalian yang norokin. Jadi tolong hati-hati!” ucap Krisnawati dengan tegas.

“Yaa sudah, kamu sekarang langsung aja ke mobil yang udah disiapkan, atau kalau gimana cari Yeni aja, karena bagian Teller yang hubungi sopirnya, dan nanti akan ada satu orang polisi yang akan mengawal, ikut di mobil itu juga,” ujar Krisnawati.

“Sari, sudah hampir jam delapan, kamu udah siap untuk ke depan?” tanya Krisnawati yang masih melihat Sari berada di ruangan Customer Service.

“Siap Buu,” ucap Sari dan berlalu dari hadapan ibu Krisnawati.

“Buu, saya permisi juga, mau ke tempat mbak Yeni, ”ucap Aruna.

Mereka berdua keluar dari ruangan itu, lalu Sari yang sengaja menunggu Aruna di luar ruangan itu, berbisik padanya, “Ingat, nanti lo kasih tau kelanjutan cerita yang mau lo cerita’in ke gue.”

Aruna yang mendengar bisikan dari rekan kerjanya, hanya mengedipkan matanya dan memberikan isyarat dari mulutnya yang menyatakan Ok!

Aruna langsung mencari Yeni, seorang petugas Teller yang ditugasi untuk mengambil uang ke rumah Lukman. Sedangkan Aruna ikut bersama Yeni, karena Lukman ingin membuka kartu kredit dan membuka deposito.

Setelah siap dengan alat ultra violet yang biasa digunakan untuk menyortir uang palsu dan asli serta membawa mesin hitung uang yang kecil, mereka pun beranjak ke mobil yang telah disiapkan dan berada di parkir depan.

Mereka masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan, lalu mobil pun meninggalkan gedung itu, berjalan di antara mobil lainnya. Di dalam mobil, Yenni yang telah punya anak menyempatkan diri untuk menghubungi anaknya yang baru Paud. Sedangkan Aruna, mengirimkan pesan singkat pada Lukman, untuk memberitahukan, kalau mereka telah jalan ke rumahnya.

[Pesan keluar untuk Lukman Nasabah : Pagi pak, kami sedang on the way ke rumah bapak.]

Baru saja pesan itu di kirim, Lukman telah membalasnya.

[Pesan masuk dari Lukman Nasabah : Iya Aruna, terima kasih kamu sudah bisa ikut juga.]

Sejenak Aruna membatin dalam hatinya, ‘Genit amat sih nih nasabah, perasaan gue koq jadi nggak enak yaa? Ehmm pasti ini gegara Sari yang suudzon sama pak Lukman, jadi gue kepikiran.’

Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka pun sampai di rumah Lukman. Sebuah rumah besar berwarna putih dengan garis hijau muda pada setiap siku dari bangunan tersebut. Saat mereka masuk rumah itu, ada seorang pembantu membukakan pintu pagarnya. Mobil pun masuk ke halaman rumah yang terlihat megah itu. Lalu pintu pagar kembali di tutup.

“Silakan Bu.., pak Lukman telah menunggu di dalam,” ucap pembantu rumah tangga Lukman mempersilakan Yeni dan Aruna ke dalam rumah itu.

Sesampai di dalam, Lukman telah menunggu. Dan menyapa ke dua orang pegawai Bank itu untuk masuk ke ruangan tengah.

“Silakan masuk mbak Aruna,” ucapnya dengan melihat ke arah Aruna.

“Iya pak, dan ini mbak Yeni yang akan menghitung uang bapak,” ucap Aruna memperkenalkan Yeni sebagai Teller.

Lalu mereka pun ke ruang tengah. Disana telah ada sebuah meja besar yang telah di siapkan berikut stop-kontak listrik untuk alat ultra violet yang dibawa Yeni. Dan di tempat itu juga, telah disiapkan dua tas besar berisi uang yang akan di hitung. Sementara Aruna menyiapkan beberapa form yang telah di siapkan untuk di isi.

“Mbak Aruna, bisa pakai meja kerja saya untuk menulis,” ucap Lukman, sambil menunjuk sebuah meja berisi komputer yang ada di ruang keluarga itu juga.

Aruna yang melihat Lukman menunjuk sebuah meja yang akan ia pakai untuk menulis form yang harus ia isi. Lalu Aruna pun berjalan menuju ruang yang berada bersebelahan. Sesampai di sana, Aruna pun langsung duduk dan menyiapkan form yang akan di isi.

“Permisi.., saya tulis dulu ya pak form nya, setelah itu bapak bisa tanda tangani,” ujar Aruna pada Lukman.

Aruna langsung duduk dan memulai kegiatannya. Sedangkan Lukman berdiri di samping Aruna yang sedang melengkapi form yang ia bawa. Tiba-tiba datang kedua orang tua Lukman menghampiri mereka berdua.

“Ooh, gadis cantik ini yang kau maksud, Lukman? Pintar sekali kau memilih calon pendamping,” ucap mamanya menghampiri mereka berdua.

Dan mereka pun menoleh ke arah suara yang ada di belakang mereka. Aruna hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh bapak dan ibunya Lukman.

Dalam hati Aruna bergumam, ‘Waduh..! Ibu pak Lukman, sepertinya salah lihat. Apa pak Lukman enggak bilang sama kedua orang tuanya, kalau aku ini, petugas dari Bank?’

“Selamat pagi Buu, Pak,” sapa Aruna dengan berdiri, ketika di lihat kedua orang tua Lukman mendekati meja tempat ia menulis.

“Silakan di teruskan Nak, biar kami berdua duduk di sana, ”ucap mamanya Lukman menjauh dari meja yang di gunakan Aruna menulis. Sedangkan Lukman berdiri tepat di belakang bangku yang digunakan Aruna.

Selesai menuliskan data pada semua form yang telah di tulis, Aruna langsung meminta Lukman menandatangani form tersebut dan pada saat akan menandatangani form tersebut terlihat Lukman mengambil kertas kosong yang ada di meja tersebut, lalu menuliskan sesuatu.

Dan Aruna yang melihat, apa yang di tulis oleh Lukman pada kertas kosong tersebut, sungguh sangat terkejut. Kemudian, Aruna membacanya sekali lagi karena rasa tidak percaya atas apa yang telah ditulis oleh Lukman

《Dan tulisan pada kertas itu tertulis : Mbak Aruna, menikahlah dengan saya, dan saya minta mbak ke rumah, karena saya sudah cerita pada kedua orang tua saya, kalau mbak adalah calon istri saya. Terimalah permintaan saya ini.》

Membaca tulisan yang diserahkan padanya, membuat mata Aruna yang indah menatap langsung ke netra Lukman dengan kesal dan sedikit aneh dengan permintaan Lukman. Namun ia tidak mungkin langsung menolak dan mengecewakan kedua orang tua yang telah di bohongi oleh putranya.

Lalu Aruna ikut menulis pada bagian lembar kertas yang masih kosong. Karena untuk berbicara pada Lukman adalah suatu hal yang tidak mungkin, apalagi kedua orang tuanya sedang memperhatikan mereka berdua.

《Aruna pun membalasnya dengan menuliskan: Sekarang saya harus bagaimana pak Lukman? Kenapa buat sandiwara seperti ini? Kasihan saya melihat kedua orang tua bapak.》

Membaca tulisan dari Aruna, membuat hati Lukman kian mantap untuk menjadikan Aruna sebagai istrinya, selain wajahnya yang mirip dengan almarhum Resti, tunangannya. Ia berpikir, Aruna juga mempunyai sifat mengasihi orang lain. Dan itu terlihat saat Aruna berkata dalam tulisannya, yang kasihan pada kedua orang tuanya, padahal baru pertama kali ia mengenal.

《Aruna.. untuk saat ini jadilah calon istri saya.., Saya serius tentang hal itu. Biar kedua orang tua saya tidak kecewa dan bersedih.》

Membaca balasan atas tulisannya, dibalik kertas yang telah mereka tulis bersama, kembali Aruna menatap tajam ke arah Lukman. Sebenarnya, ingin sekali ia marah pada Lukman, hanya saja karena Lukman nasabahnya, dan meminta pertolongannya, mau tidak mau ia membantunya

Walau sebenarnya ia ingin sekali tahu permasalahan yang telah terjadi antara ia dan orang tuanya.

Tetapi, itu tidak mungkin dibahasnya di depan kedua orang tuanya. Lalu Aruna menganggukkan kepalanya dan langsung meminta tanda tangan Lukman, “Tolong di tandatangani di bagian yang sudah saya tandai pak.”

Selesai menandatangani semua form yang telah disiapkan, Lukman langsung mengajak Aruna untuk duduk berdampingan dengan kedua orang tuanya di ruang keluarga. Sementara Yeni, teman sekantornya masih menghitung uang yang diterimanya dengan menggunakan mesin penghitung uang dan bergantian menyinari uang tersebut dengan sinar ultra violet, agar keaslian dari uang itu dapat terlihat dari benang yang ada di bagian tengah.

Sebelum duduk di hadapan kedua orang tua Lukman yang duduk di sofa panjang, Aruna menyalami kedua orang tua tersebut dengan memperkenalkan dirinya.

“Saya dengan Aruna, Bu..,Pak.”

“Silakan duduk Nak, berarti Aruna kerja di Bank yaa? Kalau bisa janganlah panggil kami ibu dan bapak, panggil saja kami mama dan papa, sebentar lagi juga kami akan menjadi mama dan papa mertua kau” ujar mamanya Lukman. Sementara, Aruna hanya bisa tersenyum tanpa arti dan melihat ke arah Lukman yang tertunduk tidak mampu mengatakan apa pun.

“Iya saya bekerja di Bank, Buu eehh.. Maa,” jawab Aruna, meralat panggilan pada mamanya Lukman.

“Berapa usia kau, Nak?” tanyanya kembali pada Aruna.

“Usia saya dua puluh lima, Maa,” Aruna menjawab dengan singkat. Dan Ia berharap temannya, Yeni bisa lebih cepat menghitung uang yang di serahkan padanya. Karena merasa tidak nyaman dengan sandiwara yang dibuat oleh Lukman, Aruna pun meminta izin untuk membantu temannya menghitung uang.

“Maaf Maa, Paa, saya izin untuk bantu teman saya menghitung uang, supaya lebih cepat selesainya,” ujar Aruna meminta izin untuk beranjak dari sana.

“Ooh.., iyaa, mama sampai lupa dengan teman kau yang ada di ruang tengah, silakan kalau begitu Nak,” jawab mamanya Lukman.

Aruna pun secepat kilat berdiri dan berjalan ke arah temannya yang bernama Yeni dengan perasaan yang lapang, karena saat di ruang keluarga itu, ia merasa seperti seseorang yang terpojokkan dengan permainan yang ia sendiri tidak mengerti arahnya.

Dan Yeni yang melihat Aruna telah datang tersenyum riang, karena ia yakin Arun datang untuk membantunya, “Mbak Yeni, biar saya yang mengikat dan menyinari uang itu yaa.”

“”Yaa, Runa.., sini kamu duduk di samping kananku,” pinta Yeni. Sesaat kemudian Aruna telah duduk di samping Yeni.

Di dalam hati Aruna terus saja mengumpat akan kejadian yang terjadi di rumah Lukman, ‘Sial banget gue hari ini yaa.., mimpi apa gue semalem sampe harus jadi pemain sinetron, tapi kenapa gue juga mau disuruh sama si plontos itu?’

Karena saking kesalnya pada Lukman, di dalam hatinya, Aruna memanggil Lukman dengan sebutan plontos. Dan ia sangat berharap untuk bisa secepatnya keluar dari rumah mewah itu. Dengan sesekali bertanya pada rekan kerjanya, “ Masih banyak mbak Yen?”

“Masih dikit koq, sepuluh menit lagi aja selesai, hemm.., mbak Aruna punya form penyetoran?” tanya Yeni. Dan di balas dengan anggukan kepala oleh Aruna.

Kemudian, Aruna pun mengambil form penyetoran tersebut dan menyerahkan pada Yeni yang hampir selesai menghitung jumlah uang yang di setorkan pada hari ini.

Parikesit70

Pembaca yg budiman.. kasih komentar donk.. biar semangat ini nulis nya.. Makasih banyak yaa Akan segera dilanjutkan

| 1
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ahmad Husein
saya sellu senng dengan setiap novel ny semoga semakin sukses dn keren keren jln cerita ny
goodnovel comment avatar
madehilda
cerita yang menarik.. ttg kehidupan real.. semangat thor lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status