Share

BAB 2 : Desakan Mama

Lukman seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun, dengan kepala plontos, dengan jambang serta kumis tipis yang rapi menghiasi wajahnya terlihat kedewasaannya. Kulit coklatnya yang bersih menandakan ia sangat memperhatikan penampilan dan kebersihan dirinya. Ia adalah pemilik toko perhiasan di daerah Cikini. Pertemuannya dengan Aruna di sebuah Bank pada saat membuka rekening, membuka memori yang telah lama di kuburnya meruak kembali.

Ia teringat kembali kenangan indah yang sekaligus jadi kenangan buruk bagi hidupnya. Ia yang telah merajut tali kasih bersama seorang  wanita yang ia kenal sejak mengenal cinta pertamanya di bangku Sekolah Menengah Atas hingga ia menyandang Sarjana Ekonomi pada namanya, membuat ia yang kala itu ingin segera menikahi wanita pujaannya berupaya melamar pekerjaan di beberapa perusahaan.

Walaupun orang tuanya pemilik toko perhiasan di daerah Glodok Jakarta, tetapi Lukman tetap bersikeras mencari pekerjaan dengan gelar yang diraihnya, agar dapat membanggakan bagi calon mertuanya.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat di raih. Ketika Lukman baru memulai pekerjaan selama enam bulan, tragedi menimpa kekasih yang di cintainya. Keluarga mereka mengalami sebuah perampokan keji hingga masuk surat kabar.

Trauma yang di alami kekasihnya yang bernama Resti membuat angan dan harapannya hancur. Ayah Resti terbunuh dalam perampokan tersebut, ibundanya pun sekarat, sedangkan Resti mengalami pemerkosaan yang dilakukan tiga perampok yang menyatroni rumahnya secara bergilir.

Kemalangan hidup Resti menghantarkan ia pada kesedihan, hingga mengalami hilang ingatan. Dan berakhir dengan menghabisi dirinya sendiri dengan minum racun serangga. Dan sejak kematian tragis yang terjadi pada Resti, membuat angan-angan Lukman hancur berantakan.

Di tengah kehancuran hatinya, Lukman pergi jauh ke negara lain. Ia bekerja di Australia sebagai pemetik buah. Hal itu dilakukan karena ingin melupakan kenangan buruk dengan bekerja jauh ke negara lain.

Hingga akhirnya setelah bekerja selama tujuh tahun di negara lain, ia yang merasa telah ikhlas melepas kepergian Resti, memutuskan untuk kembali dan membuka toko perhiasan. Usaha yang telah cukup lama digeluti orang tuanya.

Sejak kembali dari negara lain tiga tahun lalu, tidak sekalipun ia berupaya mengenal wanita lain. Tetapi, sejak pertemuan yang tak sengaja terjadi pada sebuah Bank Swasta di bilangan jalan Hayam Wuruk, hatinya kembali bergetar, saat ia melihat seorang wanita yang sangat mirip dengan Resti.

Sosok Aruna dengan tekstur wajah, tinggi badannya serta penampilannya yang menyerupai Resti, membuat Lukman kembali mengingat cinta yang telah lama terkubur, kini rasa kerinduan dan cintanya, bangkit pada sosok gadis bernama Aruna. Dan sejak pertemuan di Bank itu, Lukman tidak mampu lagi menghapus wajah Aruna yang memiliki kemiripan dengan Resti. Hanya gigi gingsulnya saja yang membedakan dari keduanya.

‘Aruna...hmmmm Aruna, aku pasti akan mendapatkan dirimu, pasti!’ Lukman berbicara pada hatinya.

“Lukman,.. Lukman..,” panggilan sang mama membuyarkan lamunannya pada sosok Aruna yang terus bergelayut di matanya.

Lukman melangkah menuju ruang makan, karena ia sangat hafal, pada jam tujuh malam, mama pasti akan memanggil kedua anaknya untuk makan malam bersama. Sesampai di meja makan, ia lihat mama, papa dan adiknya Ridwan telah melingkari meja makan. Ia duduk di antara mama dan papanya. Kemudian ritual makam malam tanpa suara pun di mulai.

Selesai makan malam, mama bertanya padanya.

“Lukman, mengapa semua dana akan kamu setorkan pada satu Bank saja? Bukankah biasanya kamu setor pada Bank yang selama ini kita pakai?”

“Hmmm ya, Maa, saya memang sengaja pindahkan dana saya di Bank yang baru itu,” jawab Lukman singkat.

“Tetapi Lukman, bukankah lebih baik kamu tempatkan pada Bank yang lama, sewaktu-waktu kita perlu tarik dana itu lebih di permudah,” Mama memberikan saran dan alasannya.

“Maa, semua itu bisa Lukman atur, karena saya juga sudah bicara dengan kepala operasionalnya, untuk dipermudah kalau kita akan mengambil dana. Besok mereka akan ke rumah mengambil dana itu. Dan tadi saya sudah mengkonfirmasi ke Banknya.”

Setelah mengatakan hal itu, Lukman meninggalkan meja makan dan kembali ke kamarnya. Sedangkan mama dan papanya tidak bisa melarang keinginan hatinya yang telah memutuskan hal itu. Mereka tidak dapat memaksakan kehendak atas keuangan putranya dan usaha yang dilakukan karena semua itu jerih payahnya dari putranya sendiri.

Baru saja Lukman masuk ke kamarnya, mamanya memanggilnya, “Lukman.., papa akan bicara hal yang penting, cepat kamu ke ruang keluarga.”

Lukman keluar dari kamarnya, dan ia menggerutu dalam hati, ‘Ada apalagi ini..., Memang kenapa sih, kalau saya pakai Bank lain.’

Sesampai di ruang keluarga tampak, adiknya Ridwan telah ada pula di sana, bersama mama dan papanya. Agak terheran-heran Lukman melihat keseriusan di wajah mereka bertiga dan kini ia yakin, kalau yang akan di bicarakan di ruang keluarga sekarang, bukan seperti yang ia pikirkan. Lalu ia menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi disisi kanan sedangkan adiknya di sisi kiri dan mama, papa duduk di kursi sofa panjang. 

Terlihat papanya yang akan membuka pembicaraan, “Lukman...., papa bukan ingin membuka luka lama kamu. Hanya saja, sebagai orang tua, papa ingin mengingatkan. Usia mu sudah 35 tahun. Cobalah membuka diri pada wanita lain. Papa ingin kamu cepat berumah tangga, sebelum rambut di kepalamu berwarna putih,” papanya berbicara panjang lebar tentang sebuah pernikahan bagi Lukman.

Kemudian, terlihat mamanya juga ikut berbicara, “Lukman, kalau terasa sulit memilih wanita yang akan kamu peristri, biarlah mama yang akan mencarikan jodoh untuk mu. Handai taulan di kampung pun tak kurang wanita cantik dan berpendirian. Kami sudah tua, tidak ingin wafat sebelum melihat dirimu menikah.”

“Apalagi adikmu, Ridwan sudah berusia dua puluh lima tahun, kalau saja adikmu bertemu jodoh, tidaklah pantas di pandang orang, jika adikmu harus melangkahi mu,” kembali papanya menekan perihal perjodohan untuk dirinya dengan handai taulan di kampung halaman mamanya.

“Ya, Ma, Pa, tolong beri waktu, dan doa ’kan saja Lukman akan segera menikah,” ujar Lukman dengan nada yang terlihat enteng. Di pikirannya saat ini, ia mempunyai keyakinan dapat menaklukkan hati Aruna.

Mendengar ucapan putra pertamanya yang seakan-akan sudah mempunyai seorang kekasih, membuat kedua orang tuanya, saling berpandangan satu dan lainnya. Begitu pun dengan raut wajah adiknya yang mengangkat kedua bahunya ketika, pandangan wajah kedua orang tuanya melihat ke arahnya. Seolah-olah Ridwan mengetahui tentang sosok wanita yang dekat dengan abangnya.

“Kalau memang sudah ada calonnya, kenapa kamu tidak kenalkan ke mama dan papa?” tanya papanya dengan wajah penuh kegembiraan. Karena baru kali ini, putranya tidak tersinggung ketika di tanya perihal pernikahan. Oleh karena itu, di awal kata, ia sangat berhati-hati untuk masuk ke masalah tentang pernikahan yang diharapkan cepat terlaksana.

“Secepatnya Paah.., akan saya kenalkan. Bersabar saja, mohon terus didoa’ kan, dia mau menikah secepatnya,” ujar Lukman dengan wajah yang terlihat bahagia.

“Syukurlah mama senang dengarnya, tak putus-putusnya kami berdoa untuk kalian berdua. Hanya kalian yang kami punya,” ujar mamanya dengan logat melayu yang masih kental saat berbicara.

Setelah itu, mereka melanjutkan pembicaraan tentang handai-taulan di kampung, tentang perkembangan naik-turunnya harga emas, dan membahas berita yang ada di televisi. Hingga malam kian beranjak, dan rasa kantuk pada mata mereka pun kian bergelayut. Lalu mereka masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status