Satu kecupan mendarat di kening Rea setelah pergulatan sengit dan berakhir dengan percintaan panas, Rea menutup matanya erat, kedua tangannya meremas selimut di depan dada. Jeno telah melakukan pengancaman dan pemaksaan terhadap istrinya sendiri, dan kini pria itu tampak tersenyum bahagia tanpa tahu hati seseorang telah tertekan oleh sikapnya.Bunyi dering ponsel membuat kedua mata Rea terbuka, Jeno menoleh ke atas nakas. Itu berasal dari ponsel Jeno, pria itu lalu melepas pelukannya pada Rea dan mengambil ponselnya yang terus berdering.Kedua matanya sedikit terbuka saat melihat nama si penelefon 'Tuan Surya Andara' pria itu menoleh pada Rea yang masih berbaring lemah di sampingnya, wajah wanita itu dibuang ke sisi lain, tapi Jeno tak peduli. Jeno menggeser icon hijau dan menyapa seseorang pria paruh baya di seberang sana. "Hallo, selamat sore, Ayah Surya."Mendengar nama papanya disebut, Rea pun segera menoleh pada Jeno. Pria itu tentu sadar dengan reaksi Rea, dia memberi senyuman t
Saat tahu Rea menangis Jeno mengangkat kepala dan merebut ponsel dari tangan wanita itu, Jeno membungkam bibir Rea, berposisi duduk dan dia yang melanjutkan telefon. "Hallo, Yah." Surya sempat terkesiap saat mendengar putrinya terdengar menangis. "Ayah, apa Ayah masih di sana?" tanya Jeno karena dari ujung sana tidak juga menyahut.Surya tersadar saat mendengar suara Jeno. "Ah, iya, Re.""Aku Jeno, Yah. Rea pamit ke kamar mandi tadi. Apa Ayah tidak mendengar?" katanya mengalihkan konsentrasi Surya yang tadi, seolah memang pendengarannya sedang rusak. Rea menggeleng lemah, wanita itu berusaha membuka bekapan Jeno, tapi pria itu menambah tekanannya sehingga Rea tak bisa berkutik dan hanya air matanya saja yang berbicara sedih."Oh, baiklah, Nak. Mungkin tadi aku melamun," jawab Surya, merasa ragu akan kebenaran suara isakan putrinya tadi, tidak mungkin juga dia menanyakannya pada Jeno, seperti ada keengganan di dalam hatinya, karena sedikit banyak sejak Jeno menikahi Rea, menantunya itu
"Terima kasih, Tuan." Wanita paruh baya itu membungkukkan sedikit punggungnya pada Jeno, setelah pria itu dengan baik hati mengantarkannya keluar pintu depan.Jeno mengangguk dan wanita itu pergi setelah mengatakan 'permisi' sebelumnya. Jeno menutup pintu dan menatap ke arah dapur, Rea ternyata sudah bangun dan kini berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Jeno merasa ragu ingin melihatnya, tapi apa yang bisa membuat Jeno takut? Jeno tetap melangkah menuju dapur dan langsung mendapat tatapan tajam dari istrinya ketika dia baru saja masuk."Aku sedang menyiapkan makan malam, apa kamu ingin memakannya nanti? Jika tidak aku akan memasak untuk diriku sendiri. Aku tahu sekarang Aruna sedang sakit, jadi pasti tidak akan bisa memasak untukmu. Oh, atau kamu ingin memesan makanan dari luar?" tanya Rea, lalu kembali fokus pada sayuran yang sedang ia iris, tak peduli dengan raut wajah Jeno yang cemberut."Aku makan masakanmu saja," jawabnya, setelah itu berbalik badan dan pergi.Rea mengang
Jeno ternyata masih menunggu Rea di luar, pria itu mengerutkan kening saat melihat Rea kembali dengan makanan yang masih utuh. "Kenapa dibawa lagi makanannya?" tanya Jeno, nada bicaranya cukup rendah dan tidak dingin seperti biasanya, tapi yang justru selalu dingin dan judes kini Rea."Dia tidak mau makan kalau bukan kamu yang membujuk." Rea menatap wajah Jeno dan lanjut bicara. "Sana bujuklah dia lebih dulu, aku menunggu di meja makan," kata Rea lagi, kemudian wanita itu berlalu pergi begitu saja.Jeno bingung, maksud ia menunggu di sini itu agar bisa bersama Rea sama-sana turun dan nantinya makan berdua, tapi lagi-lagi gagal. Jeno menatap punggung Rea yang menjauh menuruni anak tangga dan berlalu menuju ruang meja makan. Jeno berdecak sedikit kesal lantas melangkah ke kamar wanita itu untuk membujuknya.Jeno membuka pintu, Aruna yang sedang berdiri di depan jendela pun segera menoleh, saat dia tahu Jeno yang masuk dia pun segera berpura-pura sakit kaki lagi. "Sayang," sapanya dengan
Jeno tampak serius memasak, memakai celemek warna hitam dan mulai mengolah bahan makanan. Dia bukan ahli memasak, tapi kemampuannya dalam hal memasak tidak buruk juga. Jeno mulai mengambil daging ayam bagian dada dan mem-fillet-nya hingga tanpa kulit dan tulang, membakarnya dalam api sedang.Pria itu menyiapkan mangkuk kecil dan menyiapkan kecap BBQ mengocoknya dan mengoleskannya pada ayam fillet yang sedang ia panggang. Gerakannya cukup lihai dan cekatan, Jeno cukup bagus dalam perhitungan waktu sehingga saat membalik daging kematangannya pas.Aruna bertopang dagu, tersenyum-senyum sendiri memperhatikan wajah serius Jeno saat ini, terkesan cool dan menawan membuatnya semakin tergila-gila dan ingin segera memiliki pria itu seutuhnya."Sayang," panggilnya memecah keheningan di ruangan itu."Hmm," sahut Jeno, pria itu hanya menggumam sebagai respon tanpa mengalihkan pandangannya dari masakan yang sedang ia buat."Kapan kita menikah? Kapan kamu ceraikan Rea dan menikahi aku?"Pertanyaan
Jeno tersadar dari ketertegunannya, tapi hatinya benar-benar gelisah. Dia pernah berjanji pada seseorang yang kini telah tiada, berjanji akan menjaga dengan baik Aruna. Meski wanita paruh baya itu tidak meminta langsung agar Jeno menikahi putrinya, tapi pria itu mengerti arah yang dibicarakan itu ke mana, dan sekarang bagaimana? Rasa ingin bersama Rea lebih besar dibanding ingin menceraikan wanita itu.Lalu bagaimana dengan janjinya? Bagaimana dengan Aruna? Adakah jalan keluar yang terbaik untuk Jeno?Pria itu membawa dua porsi hidangan yang sudah ia buat, lengkap dengan salad sayur yang segar dan daging ayam fillet panggang tanpa lemak. Terlihat menggugah selera makan bagi siapa pun yang melihat dan mencium aromanya. "Makanlah," ucapnya dengan nada rendah.Setelah menaruh dua piring makanan di atas meja pria itu kembali ke are dapur, mengambil gelas dan menuangkan air putih untuknya juga Aruna. Jeno selama ini sejujurnya sudah sangat mengurus dan menjaga Aruna dengan sangat baik, bia
Pagi hari, terlihat Rea menuruni anak tangga, dia menoleh ke arah pintu keluar saat mendengar suara pintu depan tertutup. Aruna baru saja mengantar kepergian Jeno yang akan lari pagi, wanita itu tampak tersenyum saat berbalik badan. Rea juga terlihat biasa dan lanjut menuruni anak tangga ingin menuju dapur, tapi saat dia sampai lantai dasar Aruna menyapanya."Selamat pagi, Rea? Apakah semalam kamu bisa tidur nyenyak?" tanyanya dengan senyum cerah di bibirnya.Rea menatap Aruna dengan ekspresi dingin, lantas menjawabnya datar. "Tentu saja."Aruna menggerakkan tangan dan membetulkan rambut panjangnya yang lurus, menyingkap satu sisi hingga memperlihatkan bagian lehernya. Pandangan Rea langsung tertohok pada satu bekas merah di permukaan kulit leher Aruna yang putih, seperti bekas cakaran kuku. Pikiran Rea langsung traveling dan mengumpati Jeno. "Dasar menjijikan!" batinnya lalu membuang wajah.Aruna tahu jika Rea sudah melihat tanda cakaran di lehernya yang dia buat sendiri, wanita itu
Di tengah pembicaraan serius Jeno dan Aruna, suara langkah kaki menuruni anak tangga terdengar sehingga mengalihkan perhatian Jeno dan menatap ke arah sumber suara. Rea sangat anggun dengan dress putih yang panjang di bawah lutut, platshoes, tas sampai jepit rambutnya berwarna senada.Wanita itu sangat cantik dihiasi senyum yang menawan, kenapa Jeno baru sadar sekarang bahwa wanita yang dia nikahi selama 2 Tahun ini begitu mempesona. Namun, sikap Rea sekarang tak sehangat dulu, tatapannya tak sesendu dulu saat berhadapan dengannya.Kini ucapan wanita itu terkesan kasar dan selalu terselip sindiran, tatapannya dingin tak bersahabat, Jeno seperti kehilangan Rea yang 2 Tahun lalu mencintainya dengan segenap jiwa dan raga. Tentu saja, Rea masih muda, usianya masih 25 Tahun, mengapa harus menyia-nyiakan dirinya bertahan dengannya?Jika saja Jeno tidak mengancam berbuat sesuatu pada papanya, Rea sudah pasti melarikan diri dari genggaman Jeno. Namun, Rea sendiri belum yakin pada perasaannya,