William mengamati gedung sekolah yang megah itu dari balik kaca mobil. Sesekali dia melirik jam hitam di pergelangan tangannya. Hanum memintanya untuk memantau Sahara selama Sagara sedang bekerja di kantornya.Menurut William pekerjaan yang diberikan kali ini terbilang cukup santai. Sebagai kaki tangan tuan Hanum sekaligus orang kepercayaan pria tua itu, William merasa pekerjaan ini yang paling mudah dia lakukan. Setidaknya begitulah anggapannya, sebelum Sahara keluar dari gerbang dengan wajah antusias dan langkah cepat menghampiri mobil di depannya.Pekerjaan yang William anggap mudah itu justru di patahkan begitu saja saat bola matanya melihat bagaimana gadis itu dibekap dan dibius lalu di bawa pergi tanpa ada yang menyadari. William menginjak pedal gas-nya dalam-dalam. Berusaha mengejar mobil yang membawa Sahara melaju sangat kencang.Kejar-kejaran William antara si penculik itu tak terelakkan lagi. Jalanan yang di penuhi kaleng berjalan ini menyulitkan William untuk menyalip mobil
William ikut masuk kedalam mobilnya ketika melihat penculik itu melajukan mobil mereka. Tidak ingin kembali kehilangan jejak, William lekas mengejar mereka secepat kilat.Walau dia sudah mendengar keberadaan Sahara yang ada di sebuah hotel, William lebih memilih untuk mengejar pelakunya alih-alih memeriksa keadaan Sahara. Dari yang William dengar lewat pembicaraan itu sepertinya Sahara baik-baik saja dan ditinggalkan dengan keadaan tidak sadarkan diri.Dua orang penculik itu menyadari mobil William dibelakangnya. Mobil hitam metalik itu nampak mengejar kencang dan sesekali memepetkan badan mobil seolah hendak menyalip.“Keparat! Siapa dia?”“Laju lebih cepat! Sepertinya orang itu tidak berniat baik!”Mereka semakin menaikkan kecepatan mobilnya dan berhasil memberi jarak dengan mobil William. Jalanan yang sepi memudahkan mereka untuk mengemudi dengan brutal.Melihat hal itu, William menarik sudut bibirnya dengan miring. Tangannya meraih revolver yang siap di gunakan diatas dasboard, ke
Maria masih mencoba mengatur deru napas dan detak jantungnya yang berdegup sangat keras, William sudah pergi beberapa menit lalu, namun kengerian yang diciptakan pria itu masih mengental di ruang tamu miliknya ini.Maria bangkit dan berpindah tempat duduk, wanita itu menenggelamkan diri pada sofa tunggal yang empuk. Lalu memijit pelipisnya yang berdenyut, tidak menduga akan mengalami hal mengerikan seperti itu. Ini pertama kalinya Maria melihat sebuah pistol di todongkan langsung tepat di depan wajahnya.Suara luncuran peluru yang memekakkan telinga itu masih terngiang di dalam kepala. Seluruh tubuh Maria merinding ketika mengingatnya. Maria sangat tidak menyangka tuan Hanum akan seberani itu untuk mengunci gerakannya. Bahkan mengancam dengan mengirimkan pria mengerikan itu. Siapa dia? Pembunuhan bayaran?Pertanyaan-pertanyaan itu mencucuk dalam kepala Maria, lalu dia teringat dengan amplop coklat susu yang disebut sebagai hadiah dari William. Maria meraihnya dan memandang cukup lama
Pria berusia dua puluh tiga tahun itu tampak sedang memperhatikan gadis berwajah muram yang di duduk di tepi ranjang. Saga lekas mendekat untuk mendudukkan dirinya di samping Sahara, membuat sang gadis sedikit tersentak ketika mendapati suaminya itu sudah ada di sampingnya.Melihat wajah muram itu, Saga lekas mengerti bahwa istrinya itu masih membayangi penculikan yang terjadi seharian ini. Membuatnya semakin dirundung perasaan bersalah.“Mikirin apa?” Saga bertanya pelan seraya menyelipkan helaian rambut yang menjuntai menyentuh pipi istrinya yang putih.Manik hitam pria itu menyorot lembut, membuat sang gadis merasa seolah jiwanya ditarik dan di tenggelamkan dalam gelapnya malam. Sahara memindai wajah lelaki di depannya, wajah yang dulu selalu menatapnya sinis dan dingin, sekarang hanya ada wajah yang selalu menatapnya dengan wajah melembut dan sorot khawatir.“Masih memikirkan kejadian tadi, hm?” Saga kembali bertanya ketika gadis itu hanya membisu dan menatap wajahnya lekat.“Apa
(Warning 21+)“Jangan terus menatap itu.” Sahara menegur suaminya yang terpana dengan pandangan tertuju pada dadanya yang masih terbalut bra, semua pakaian luarnya sudah tertanggal hanya menyisakan pakaian dalamnya saja. Wajah gadis itu tampak bersemu menahan malu.“Kenapa?” tanya Saga tersenyum, lalu terkekeh ketika melihat wajah istrinya semakin memerah. “Ini, terlihat cantik. Boleh aku menyentuhnya?”Tangan Sahara mengepal dan memukul pelan dada pria yang sedang mengungkung tubuhnya, matanya melirik jengkel, “Kenapa kau banyak tanya? Kenapa harus bertanya dulu? Kan aku jadi malu!”“Oh, jadi kau lebih suka langsung, ya?” Saga semakin melebarkan senyumnya hingga menampakkan gigi, sangat senang menggoda istrinya yang sudah tidak ada bedanya lagi dengan kepiting rebus.“Kakak!” seru gadis itu semakin malu, membuat Saga mengeraskan tawanya.Kemudian pria itu membuka kaosnya dan menampakkan dada bidang dan perutnya yang berotot. Ini bukan pertama kalinya Sahara melihat tubuh itu, namun t
“Mama dan Papa akan berkunjung kemari besok.”Sahara ingat betul apa yang dikatakan oleh suaminya semalam. Sebelum mereka tertidur, Papa Hanum mengirimi putranya itu pesan. Bahwa hari ini mertuanya itu akan berkunjung untuk mengatakan sesuatu.Gadis itu meletakan sisirnya, mematut wajah di depan cermin rias. Hari ini dia mengenakan baju rajut berkerah tinggi, agar bisa menutupi bercak merah buatan Saga yang menghiasi leher mulusnya. Mengingat kembali apa yang dilakukan mereka semalaman membuat Sahara melengkungkan bibirnya dengan manis, bersamaan dengan itu semburat merah mulai muncul dikedua pipinya.“Meski percobaan kedua juga gagal, tetap saja membuatku terkesan.”Sahara bergumam sendiri sembari terkikik, dia merasa geli ketika mengingat wajah kesal Saga yang belum berhasil membobol dirinya. Sahara merasa lega sekaligus senang, itu artinya dia memang masih perawan. Penculik itu tidak melakukan apapun padanya, walau pun begitu dia tetap penasaran mengapa tubuhnya tanpa busana.“Sepe
“Sebenarnya aku masuk ke kamar untuk memanggilmu. Mama dan Papa sudah tiba sejak tadi.” jawab Saga dengan cengiran lebar, dia merapikan helaian rambut gadis itu yang sedikit berantakan.“Kau!” Sahara memukul pelan bahu Saga dengan tinjuannya, raut wajahnya agak sedikit sebal, “Kenapa tidak bilang dari tadi?”“Lupa,” pria itu terkekeh geli dan mencubit pipi Sahara yang menggembung cemberut, “Habisnya melihat kau tersipu-sipu di depan cermin membuatku gemas! Jangan salahkan aku, salah sendiri, kenapa kau semenggemaskan ini.”“Gombal!” pungkasnya mencebikkan bibir pura-pura jengkel, padahal hatinya sangat berbunga, gadis itu bergegas turun dari pangkuan suaminya seraya menahan senyum.Kemudian Sahara berdiri di belakang Saga untuk mematut diri di depan cermin. Rambut sebahunya kembali mengembang berantakan, setelah menggeleng samar, dia lekas meraih sisir. Namun Saga meraih lebih cepat benda itu dan menarik istrinya untuk kembali duduk sedangkan dia berdiri di belakangnya.“Biar aku yang
Saga berjalan dibelakang sang Ayah, terus mengikuti Ayahnya itu menuju ruang gym miliknya berada, dengan secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di masing-masing tangan mereka. Setelah pembicaraan di ruang tamu selesai, Hanum memberikan tanda pada putranya itu bahwa ada yang harus di bicarakan secara empat mata.“Bagaimana pekerjaanmu?” Hanum akhirnya membuka suara setelah hening beberapa menit.Mereka sedang menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi kota, dari balik dinding kaca. Ruangan olahraga itu selalu di sinari cahaya matahari yang hangat, seolah Saga sudah memesan khusus untuk mendapatkannya.Berdiri bersisian dengan pria tua itu membuat Saga menolehkan wajahnya ke samping, dengan alis mengernyit. Berpikir sejenak, untuk apa Ayahnya itu perlu berbicara diruang tertutup seperti ini kalau hanya menanyakan soal pekerjaan. Walau begitu, Saga tetap menjawabnya.“Kurasa Papa sudah tahu jawabannya. Bukankah, beberapa hari belakangan Papa selalu mengaw