Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat

Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-12-08
Oleh:  Mustika AinelOngoing
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
8Bab
8Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Aisyah, seorang janda yang baru ditinggal mati mewarisi konglomerat raksasa secara tak terduga, memaksanya masuk ke pertarungan brutal melawan keluarga iparnya yang serakah, mengungkap bahwa kekayaan dinasti itu dibangun di atas fondasi korupsi dan kejahatan puluhan tahun lalu.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Peti Mati Sang Konglomerat

Hujan deras memukul tenda putih yang didirikan di atas makam marmer keluarga Atmadja. Tanah basah berbau lumut dan kemewahan yang membusuk. Aisyah berdiri di tepi, gaun hitamnya yang sederhana kontras mencolok dengan ratusan payung mahal dan setelan desainer di sekitarnya. Dia menatap peti mati kayu mahoni yang berkilauan. Di dalamnya, Arif Atmadja, suaminya, konglomerat yang baru dua tahun dinikahinya, kini hanya diam.

Dia tidak menangis, hanya ada kekosongan yang membeku di dadanya. Kekosongan itu adalah ketenangan yang dipaksakan.

Aisyah bisa merasakan tatapan tajam yang membedah punggungnya, lebih dingin daripada air hujan yang menusuk kulit. Bisikan-bisikan itu, meski tertahan, jelas terdengar.

“Lihat saja dia,” suara wanita yang tajam, jelas dari salah satu bibi Atmadja. “Berdiri seperti patung. Tidak ada air mata, padahal dia sudah mendapatkan semua yang diinginkan.”

“Tentu saja tidak ada air mata,” balas pria lain, suaranya berdecis. “Dia sudah mendapatkan apa yang dia buru. Sekarang dia hanya perlu memastikan warisan itu tidak lepas.”

“Warisan apa?” sela suara ketiga, yang lebih muda. “Apakah kalian benar-benar berpikir Arif akan memberikan segalanya pada wanita itu? Itu tidak masuk akal.”

Aisyah menahan napas, menyerap setiap kata penghakiman itu. Dia bukan hanya kehilangan suami; dia kehilangan pijakan di tengah sarang ular.

Tiba-tiba, suara Adrian Atmadja terdengar, lebih dekat dari yang Aisyah duga, berbicara dengan nada pahit kepada ibunya, Rosa Atmadja.

“Dua tahun,” katanya, suaranya rendah dan penuh racun, “hanya dua tahun untuk melenyapkan Arif dari kita semua, Bu. Dan sekarang, dia datang dengan drama kesedihan yang mengerikan ini.”

Ibu Rosa, berdiri anggun dengan balutan sutra hitam, membalasnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, tetapi mengandung kekuatan yang membuat Aisyah merinding.

“Dia akan segera tahu, Adrian, bahwa nama Atmadja bukan hanya tentang uang,” bisiknya, “ini tentang darah dan harga diri. Kita akan membuatnya membayar setiap tatapan sinis yang kita terima hari ini.”

“Saya sudah menyiapkan pengacara terbaik, Bu,” Adrian menjanjikan, matanya menatap tajam, tetapi tidak ke arah Aisyah. “Kami akan membongkar setiap jengkal latar belakangnya. Saya tidak peduli apa yang Arif tulis di detik-detik terakhirnya, saya akan membuktikan itu palsu.”

Aisyah akhirnya berbalik sedikit, mencari Adrian. Ia menemukan adik iparnya itu berdiri di samping ibunya, memancarkan kebencian yang hampir bisa disentuh. Adrian adalah pria yang didorong oleh ambisi yang tak terkendali, dan kini, ia melihat Aisyah sebagai rintangan terakhir menuju kekuasaan.

Seorang kerabat lain, Paman Bima, yang jarang terlihat, kini mendekat ke Adrian.

“Jaga ucapanmu, Adrian,” tegur Paman Bima, suaranya sedikit lebih keras. “Ingat siapa yang mengawasi. Kita harus menjaga citra.”

Adrian mendengus. “Citra apa, Paman? Keluarga kita sudah hancur sejak Arif menikahinya. Dia ini orang luar, parasit yang datang untuk menguras.”

“Tolong, jangan sampai dia dengar,” Ibu Rosa menarik lengan Adrian.

Aisyah, lelah dengan peran sebagai pendengar pasif, memutuskan untuk melangkah mundur. Ia merasakan beban nama Atmadja yang baru ia sandang—seberat batu nisan itu sendiri. Kekuatan yang ia perlukan untuk bertahan bukanlah kekuatan fisik, melainkan kekuatan untuk tetap diam.

Saat prosesi penurunan peti mati dimulai, hujan sedikit mereda. Para pelayat bergerak maju, memberikan penghormatan terakhir. Aisyah menunggu giliran.

Seorang wanita paruh baya yang memakai perhiasan berlebihan, Nyonya Wina, menghampiri Aisyah.

“Nyonya Aisyah, saya turut berduka,” katanya, tetapi matanya tidak menunjukkan kesedihan, melainkan keingintahuan dan penghinaan. “Saya dengar, Arif meninggalkan warisan yang sangat besar. Apakah Anda sudah memikirkan bagaimana cara mengelolanya?”

Aisyah menatapnya kosong. “Saya baru saja kehilangan suami saya, Nyonya.”

“Tentu saja,” Nyonya Wina tersenyum sinis. “Tapi bisnis harus terus berjalan, bukan? Saya harap Anda tidak terlalu naif untuk menjual aset-aset utama Atmadja hanya karena Anda tidak mengerti pasarnya.”

“Saya akan mengelola apa pun yang ditinggalkan Arif dengan baik,” jawab Aisyah, suaranya datar, menunjukkan ketenangan yang ia pelajari dari Arif.

Nyonya Wina terdiam sejenak, terkejut dengan respons yang tenang itu. Dia menghela napas. “Saya hanya berharap Atmadja Group tidak jatuh ke tangan yang salah. Kami semua mengandalkan perusahaan ini.”

Di tengah kerumunan yang mulai bubar, Aisyah kembali fokus pada makam yang tertutup tanah basah.

“Dia tidak akan pernah bisa mengurusnya,” Adrian tiba-tiba muncul di samping Aisyah, suaranya selembut sutra tetapi sekeras baja.

Aisyah menoleh. Ia melihat Adrian kini berdiri hanya beberapa inci darinya, seolah menantangnya di tepi kuburan suaminya sendiri.

“Anda tidak perlu khawatir tentang urusan saya, Adrian,” kata Aisyah, menggunakan pronomina formal, menjaga batas profesional di tengah tragedi pribadi. “Saya adalah istri sah Arif.”

Adrian tersenyum, senyum dingin tanpa kehangatan. “Istri sah. Ya, status itu memang menguntungkan, bukan?”

“Saya mencintai Arif,” balas Aisyah, merasa terhina oleh tuduhan yang tersirat dalam suaranya.

“Cinta?” Adrian tertawa kecil, suara itu seperti bunyi pecahan kaca. “Di lingkaran kita, cinta hanyalah kontrak yang ditandatangani di atas kertas. Saya tahu Anda tidak pernah benar-benar memahami bisnis Atmadja, dan Anda tidak akan bertahan lama di kursi itu.”

“Itu bukan urusan Anda,” tegas Aisyah, menaikkan dagu.

“Ini menjadi urusan saya saat nasib perusahaan ayah saya dipertaruhkan,” Adrian membalas, matanya memancarkan api kebencian yang murni. Dia mendekat, membungkuk sedikit, membuat Aisyah merasakan napasnya yang dingin di telinga.

“Dengarkan saya baik-baik, Aisyah,” bisiknya, suaranya kini berubah menjadi ancaman yang mematikan, “Kau hanya seorang pemburu emas yang kebetulan beruntung. Kau tidak akan pernah menjadi Atmadja. Dan ini—”

Adrian berhenti, membiarkan ketegangan itu membengkak di udara basah.

“—ini belum berakhir, saya akan buktikan bahwa surat wasiat itu palsu dan saya akan mengambil kembali setiap sen yang Anda curi, bahkan jika saya harus menyeret nama Arif ke lumpur, tunggu dan lihat sa...

...ya. Kau akan kehilangan segalanya, bahkan kehormatan Arif.”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Tidak ada komentar
8 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status