Setelah bersusah payah Axel meyakinkan Sofia agar mau mengikat janji dengannya, kini adalah saatnya hari yang telah ditunggu olehnya tiba. Hari dimana dia mempersunting seorang wanita yang ia cintai setelah Nella."Aku bahagia mengulang kembali saat-saat dimana aku mempersunting seorang wanita yang istimewa." Netra Axel tak lepas dari Sofia yang nampak cantik dengan balutan wedding dress nya. Sofia semakin cantik dan mempesona di matanya. "Kamu sangat cantik dengan gaun putih itu, Sayang."Rona pipi Sofia memerah dibuatnya. Dia tersenyum bahagia karena selalu diperlakukan istimewa oleh Axel. Mendadak, Sofia merasa dejavu. Dulu dirinya juga disanjung dan diperlakukan istimewa oleh Ruslan saat akan menikah dengannya, namun sifat aslinya perlahan terkuak setelah menikah. Dada Sofia kembali terasa sesak, tangannya sedikit gemetar mengingat masa-masa itu. "Sayang, kamu kenapa?"tanya Axel setelah melihat gelagat Sofia yang nampak aneh. Tadinya dia melihat Sofia begitu bahagia, namun sekara
Terik panas matahari sudah mulai dirasakan kulit kusam Sofia yang saat itu sedang menyuci di bagian belakang rumah. Dari tempatnya duduk, ia melirik jam dinding yang bertengger di dinding dapur. "Masih jam 8 pagi, aku harus segera menyelesaikan cucian yang makin menggunung ini," gumamnya.Sofia terus mengucek pakaian yang menumpuk setiap harinya, suara rengekan kecil dari belakang punggung membuatnya menoleh. "Mama." Balita kecil bermata sipit itu adalah Lucas, anak sulungnya yang berusia 4 tahun. "Kenapa, sayang? Mama baru nyuci," ujarnya sambil membersihkan tangan dari busa sabun cuci. Lucas terlihat mengucek kedua matanya dan mulutnya menguap. "Susu," rengeknya.Kepala Sofia menoleh ke arah dapur dan ruang tamu yang bisa ia lihat dari tempatnya duduk untuk mencari bala bantuan. Pandangannya bertemu pada wanita paruh baya yang tak kalah sipitnya, sedang menatap fokus layar laptop dan duduk di sofa ruang tamu.Wanita itu seolah tahu, menoleh dan mena
Samar-samar Sofia mendengar teriakan suara yang memanggil namanya, dan suara itu berpadu dengan suara gedoran pintu. Namun matanya terasa lengket seperti enggan untuk terbuka. Tiba-tiba ia tersentak merasa ada yang menimpuk dengan sesuatu yang padat namun tidak keras tepat di wajahnya yang kusam.Setelah ia membuka mata dan mengerjap, terlihat Rianti berdiri menjulang dengan berkacak pinggang. Lalu ia berteriak marah-marah hingga terdengar seluruh ruangan. "Kamu tuh ya, disuruh orang tua buat bantu kerja malah enak-enakan tidur disini!" bentaknya kasar sambil menunjuk jari tengahnya tepat berada di depan wajahnya.Rupanya Sofia baru tersadar bahwa ia tertidur ketika menidurkan Luna. Suara rengekan pun kembali terdengar, Luna terkejut mendengar suara neneknya yang berteriak. "Huh!" Rianti mendengus kasar ketika melihat cucunya menangis. "Ibu dan anak sama aja gak ada yang bener!" omelnya sambil keluar kamar. "Mama.. takut," ucap Lucas dengan lirih. Terlihat sua
Jika jarak antara Jakarta dan Surabaya dekat, tentu ia ingin segera mengemas barang dan memboyong kedua anaknya untuk pulang ke Jakarta, tempat kedua orangtuanya menetap. Kesabaran manusia tentu ada batasnya. Dan itulah yang tengah dirasakan Sofia setelah mendengar hinaan ibu mertuanya.Setelah selesai mencuci piring,ia mengeringkan tangannya yang basah dengan handuk kecil. Ia ingin segera istirahat. Tinggal di rumah bak neraka dunia ini membuatnya lelah secara fisik dan batin. Ia bergegas menuju kamar, sesaat ia melihat Ruslan tengah duduk di kursi luar menatap gawai dan menghisap sebatang rokok. Mungkin dia ingin me-time setelah lelah bekerja seharian, begitu pikir Sofia sambil berlalu. Sesampainya di kasur, dia menatap penuh lembut wajah dua malaikat kecilnya yang sudah pulas, mengusap rambut keduanya lalu mengecup kening keduanya dengan lembut. Kini gilirannya untuk terlelap.Setelah beberapa jam terlelap, Sofia terbangun karena merasa tenggorokannya
Ruslan terkejut memandang wajah kedua anaknya yang seakan melihat monster ketika ia mendekat. Lalu Ruslan memilih pergi ke luar untuk menenangkan dirinya. Ia bak kesetanan ketika menghukum Sofia di kamar. Ketika ia keluar kamar pun, ia tak menggubris persoalan ibu dan kedua adiknya yang bertanya. Saat ini, ia merasa gundah akan keputusannya. Disatu sisi, dia memang ingin bercerai dan bersatu dengan Stephanie dan Zen. Namun, sisi lain ia tak mungkin meninggalkan Lucas dan Luna. Lalu dengan Sofia? Entahlah, dia sendiri tak bisa merasakan perasaan yang samar dalam hatinya. Dulu dia menikah dengan Sofia semata-mata hanya ingin balas dendam keluarganya. Tak ada cinta, hanya ada nama Stephanie yang terpatri dalam hatinya setelah bertemu dengannya dua tahun yang lalu.Sedang Sofia sibuk menenangkan kedua anaknya. "Ma, Lucas takut. Papa kayak monster," ucap Lucas dengan tubuh yang masih gemetar.Hati Sofia semakin terasa pedih melihat ketakutan anak sulungnya. Tanpa b
Kedua bahu Sofia terlihat berguncang, membuatnya mengerjap mata dan akhirnya bangun. Ternyata Axel membangunkannya dengan menggoyangkan sisi bahu Sofia. "Sudah sampai... masuklah dulu! Selepas itu, anda boleh melanjutkan tidur." Gaya bicara Axel begitu kaku menurut Sofia, dan dari aksennya berbicara bahasa Indonesia ia seperti bukan dari Surabaya. "Saya memang bukan orang Surabaya," celetuk Axel seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Sofia.Sofia semakin mengernyitkan keningnya dalam. "Bagaimana anda selalu tahu apa yang saya pikirkan?" Tanpa Sofia sadari, ia jadi mengikuti gaya bicara Axel yang kaku. Bibir Axel mengulum senyum. Sejenak membuat Sofia terpana dengan wajah manisnya. "Saya pandai membaca mimik wajah." Sambil menggendong Lucas, Axel membuka pintu yang terkunci dan berkata, "Ayo, silahkan masuk." Sofia mengamati rumah yang akan menampungnya sementara waktu, desain rumah itu terlihat kuno. Hanya berlantai satu namun ketika dia masuk,
"Nih, sarapan buat kalian." Axel menyerahkan tiga kotak berisi bubur ayam ketika melihat Sofia sedang memakaikan baju untuk kedua anaknya. "Makasih." Saat Sofia dan kedua anaknya sudah menyelesaikan sarapannya, tiba-tiba mobil hitam datang memasuki halaman rumah Axel. Mata Sofia terbelalak karena begitu hapal dengan warna dan nomor plat mobil tersebut. Mobil itu milik Ruslan, jantungnya seketika berderu dengan cepat. Otaknya seketika berpikir dengan keras, bagaimana mungkin dia mengetahui keberadaannya di sini? Lalu sedetik kemudian pertanyaan itu langsung terjawab dengan sendirinya. Dia teringat bahwa Ruslan memang memasang gps di hapenya yang tersambung dengan hape Ruslan. Dulu Ruslan bilang, jika Sofia tersesat atau ada suatu hal. Dimanapun itu, Ruslan akan mencarinya meski sampai ke ujung dunia. Gombalan kuno yang dulu membuatnya berbunga-bunga dan seolah-olah kupu-kupu bertebaran di perutnya. Dari luar terlihat Ruslan yang duduk di kursi pengemudi bersa
Dalam perjalanan pulang, Stephanie terus mengajak bicara Ruslan namun tak mendapat respon yang baik dari pria itu. "Sayang! Kamu kenapa sih?" tanya Stephanie dengan lembut."Gak ada apa-apa," jawab Ruslan dengan ketus.Tangan Stephanie mengepal erat di samping gaunnya. "Ruslan! Aku bertanya baik-baik padamu, tapi apa gini jawaban yang baik untukku?" tanyanya dengan menahan amarah.Ruslan tersentak di balik kemudinya, dia tersadar atas apa yang diperbuatnya. Bibirnya bergetar saat dia berucap,"Eh, e... enggak kok, Sayang. Aku tadi lagi bingung aja mikirin gimana caranya kedua anakku bisa aku ambil alih hak asuhnya.""Aku gak butuh kedua anakmu, Ruslan!" bentak Stephanie.Ucapan Stephanie membuat Ruslan menepikan mobilnya di bahu jalan. "Apa?"Kilatan amarah jelas terlihat di mata Stephanie. "Memangnya siapa kamu, memutuskan seenaknya begitu? Ingat Ruslan, aku sudah bersabar dengan menjadi istri siri dan bersembunyi dari istri bodohmu itu! Bahkan aku pun s