Share

Bagian 02: I***a Story Adik Iparku

AKU BUKAN MESIN PENCETAK UANG MAS!

Bagian 02: I***a Story Adik Iparku

Sandy mencari ponsel di saku dasterku. Dia tidak puas sebelum mendapatkannya.

"Cepat kamu berikan gawaimu!" amuknya kembali.

Dia tidak ada sama sekali mendapatkan ponsel milikku.

"Ga-gawaiku sudah kugadaikan, mas," jawabku lirih.

"Banyak sekali alasanmu!"

Sandy mendorong tubuhku ke atas ranjang. Dia pergi berlalu meninggalkanku. Tidak tahu kenapa, dia kembali menghampiriku. Dia menampar wajahku membabi buta.

"Kalau kamu kasih ponselmu, aku tidak akan menamparmu seperti ini!"

Aku meringkuk kesakitan. Sudah berulang kali dia main tangan kepadaku. Aku tetap sabar dan bertahan.

****

"Assalamualaikum."

Suara salam terdengar dari depan pagar rumah. 'Siapa lagi yang datang bertamu?' gumamku.

Aku lagi menata bunga dan menyiramnya di halaman depan. Sementara, suamiku sedang main game di teras rumah. Perasaannya tidak sempurna dunia ini kalau tidak main game.

Aku mau membuka pagar, eh ternyata Sandy berlari menuju pagar. Sandy lebih duluan membuka pagar daripada aku. Aku melanjutkan pekerjaanku yang terbengkalai sambil memperhatikan gerak-geriknya.

"Ibu, mari masuk."

Sandy kembali menutup pagar lalu menuntun ibunya masuk ke dalam rumah.

"Nak, Sandy! Kedatangan ibu kemari mau meminjam uang, nggak banyak kok."

Belum sempat duduk, ibu mertuaku sudah langsung mengutarakan maksud dan tujuannya. Sementara aku menguping pembicaraan mereka di teras rumah.

"Berapa banyak, Bu?" tanya Sandy.

"Nggak banyak, cuma lima juta enam ratus."

'What? Lima juta enam ratus nggak banyak,' ucapku dalam hati. Darahku mendidih dan ingin menampar wajah ibu mertuaku. Tidak anak, tidak mertua sama saja mereka selalu minta uang. Pasti ujung-ujungnya aku yang jadi tumbalnya.

"Iya, cuma segitu."

"Sebentar ya, Bu. Aku panggil Nara."

"Nara ... Nara ...," panggil Sandy.

Aku pura-pura tidak mendengar.

'Biarkan saja dia teriak sampai kerongkongannya kering.'

"Nara ... Nara ...!" panggilnya kembali dengan nada lebih kuat.

Aku menahan tawa. Aku sengaja mengerjainya agar dia kapok

"Sebentar, Bu! Aku cari dulu dia ke depan."

"Ya."

'Gawat, bisa bahaya kalau aku ketahuan menguping.'

Aku berlari menuju halaman belakang. Di sana juga banyak bunga yang kutanam. Kalau di depan rumah, pasti ketahuan kalau aku pura-pura tidak mendengar.

"Nara ... Kamu di mana?" teriaknya kembali.

Aku pura-pura sibuk merawat bunga. Walaupun sebenarnya cuma akting saja.

"Nara ...! Kamu nggak dengar kalau aku teriak memanggilmu?!"

"Eh Mas Sandy."

"Cepat temui ibuku di ruang tamu. Dia ada perlu sama kamu."

Aku meletakkan gunting begitu saja.

"Ada perlu? Bu-bukannya ibu tidak suka melihatku?" tanyaku kembali."

"Ala banyak sekali pertanyaanmu. Ayo masuk ke dalam rumah!"

Sandy menarik paksa lenganku. Dia sesuka hati mempermainkan aku. Dia kira aku ini boneka semaunya dimainkan.

"Nggak usah menarik paksa seperti ini, mas! Aku bisa jalan sendiri."

Aku meronta berusaha menepiskan tangannya.

"Kalau begitu, ayo jalan!"

Aku datang menghampiri ibu mertuaku. "Eh, ibu mertua datang. Sudah lama datang, Bu?"

Aku mencoba berkata manis di depannya, walaupun hatiku tidak suka melihatnya. Aku sudah tahu apa maksud dan tujuannya kemari.

"Baru saja, Nar. Oh iya, ibu ada perlu sama kamu. Itu sebabnya ibu datang kemari."

"Kalau boleh tahu, ada perlu apa ya, Bu," tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku sudah mendengar percakapan ibu mertuaku dengan anaknya, suamiku.

Aku sengaja duduk jauh dari suami dan mertuaku. Aku tidak mau kalau uang yang dia minta tidak kuberi langsung dijambaknya aku.

"Ibu mau meminjam uang cuma lima juta enam ratus. Besok lusa ibu kembalikan."

"Buat apa uang sebanyak itu, Bu?!" tanyaku penuh curiga.

Wajarlah aku bertanya buat apa uang sebanyak itu. Aku yang sudah payah mencari uang, malah ibu mertuaku datang dengan enak tinggal minta saja.

"Sudahlah, nggak usah ditanya detail lagi, Nar. Ibu datang kemari meminjam uang pasti sudah perlu dan tidak bisa ditunda lagi."

"Wajar aku nanya dan pengen tahu, Bu, Mas."

Aku menatap ibu mertuaku dan Sandy secara bergantian.

"Uang yang ibu pinjam adalah hasil jerih payahku. Kecuali, itu murni uang hasil keringatmu, Mas!"

"Oh sekarang kamu sudah bisa berkata seperti itu?! Semenjak kamu mempuyai penghasilan tinggi dari mengarang cerita, suka hatimu menginjak harga diri suamimu karena nggak bekerja, iya! Istri macam apa kau?! hah!"

Kedua bola matanya mau keluar. Aku diam tak berani melawan.

"Ibu kira selama ini, kamu main handphone hanya buang-buang waktu saja. Ternyata bisa juga menghasilkan uang banyak. Nggak perlu lagi saya capek-caek bekerja, beruntung Sandy punya istri bijak seperti kamu bisa mencari uang sendiri," ucap Ibu spontan.

"Cepat berikan gawaimu!" paksanya.

Sandy merah padam. Wajahnya sudah memerah akibat aku mulai melawan.

"Jangan, Mas! Aku nggak punya uang lagi. Kalau uang yang di ATM diambil besok kita mau makan apa?" ucapku mencoba memberi penjelasan. Namun, dia tidak peduli. Padahal aku sudah berusaha mencegah dengan segala macam cara. Hasilnya tetap nihil.

"Malam ini kamu begadang mengarang cerita, agar bisa mendapat cuan!"

"Mas ... itu uangnya nggak langsung di transfer hari itu juga. Harus menunggu satu bulan baru bisa gajian."

Aku berusaha memberi penjelasan. Namun, dia tetap keras kepala.

"Ala ... banyak sekali ceritamu."

Sandy mengambil gawaiku, dan langsung mentransfer uang ke nomor rekening adek iparku. Aku juga lupa mengganti sandinya. Sudah tiga kali ini dia merampas ponselku dan mentransfer uang dengan paksa. Aku menangis terseduh melihat ulah suamiku.

"Aku nggak butuh lagi gawaimu, ambil ini!

Sandy melempar ponsel itu ke pangkuanku. Aku menangis pilu.

"Besok-besok ibu datang ke sini saja, kalau mau beli sesuatu. Punya menantu banyak uang kudu di manfaatin," ucap ibu mertuaku sembari pergi pulang sambil melambaikan tangan.

"Ibu dan anak sama-sama ...."

Aku tidak melanjutkan perkataanku.

"Sama-sama apa?!" bentak Sandy.

"Ibu dan anak sama-sama benalu. Kalian kira aku semudah itu kalian tokoh-tokohi," balasku dengan nada pilu.

Ibu mertuaku kembali datang menghampiriku. Ternyata dia mendengar apa yang aku katakan.

"Tidak apa-apa jadi benalu, sing penting dapat uang tanpa banting tulang. Semangat mengarang ceritanya ya sayang. Agar bukan depan bisa mendapat banyak dollar."

Kuantar ibu mertuaku sampai ke depan pintu gerbang. Walaupun kenyataannya aku sakit hati, aku diam saja, tapi jangan kalian kira diamku bisa kalian injak-injak.

****

Waktu terus berputar, begitu juga dengan aktivitasku. Aku sengaja memilih diam di rumah dari pada keluyuran ke Mall atau ke tempat wisata.

Aku mulai mengarang cerita. Sebelum menulis, aku berselancar di sosial media. Tidak berapa lama mataku melalak rasanya mau keluar dari sarangnya.

"What?! Aku nggak salah lihat?"

Kuelus kedua netraku untuk memperjelas i***a storie Fany, adek iparku. Aku dan Fany berteman di aplikasi gagang telepon berwarna hijau.

[Baru dapat transferan duit dari kakak ipar, enaknya shopping di Mall dan makan enak di restaurant.]

Sebuah i***a story Fany baru saja.

'Berarti ibu datang ke mari minjam uang buat foya-foya, keterlaluan kalian,' batinku.

Bersambung ....

Next?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Gaza syahid
kok bodoh ya si nara ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status