Share

Part 03: Tamparan Telak

AKU BUKAN MESIN PENCETAK UANG MAS!

Bagian 03: Tamparan Telak

Darahku mendidih, rasanya ingin kucabik-cabik wajah Fany ke Mall tempat dia shoping. Dia tidak tahu betapa susahnya mencari uang itu. Aku rela begadang sampai mata panas di depan layar ponsel demi mendapat uang.

Untung saja gawaiku hanya anti goresnya saja yang pecah. Itu juga sudah dicopot suamiku.

Cepat-cepat kuganti sandi M-Banking-ku, aku juga membuat akun cadangan di platform di mana aku bisa mencurahkan halusinasiku. Di samping itu, aku copy paste semua karanganku ke platform lain, agar punya penghasilan lain. Itu enaknya mempunyai cerita dikontrak non eks, jadi bisa mejeng kemana-mana. Kalau tidak seperti ini, mertua dan suamiku pasti meraja lela menguras uangku di ATM.

****

"Dek! Mas mau keluar sebentar. Minta uang!" ucapnya dengan santai.

"Uang apalagi, Mas. Semua uang yang di ATM sudah Mas transfer ke Fany. Mas kira aku ini mesin pencetak uang!" jawabku tanpa melihatnya, aku terus berhalusinasi mengarang cerita.

Biasa aku mengarang cerita di kamar sambil rebahan. Aku sengaja tidak masak apa-apa buat makan malam. Uangku sudah ludes dan sembako juga pada habis.

"Kamu jangan bohong! Seingat Mas masih ada saldonya sekitar satu juta lagi. Masa adek bilang nggak ada."

"Mas! Itu uang buat keperluan kita sampe awal bulan. Sementara ini masih pertengahan bulan. Nggak, Mas! Aku nggak memberikannya sama kamu. Kalau aku berikan sama mas, kita mau makan apa?" tanyaku.

Aku mendongak melihat wajahnya. Dia menggaruk kepala, aku tahu dia pasti lapar karena biasanya jam segini aku sudah menyiapkan makan malam. Kali ini, aku tidak memasak sama sekali.

"Kita pulang ke rumah orang tuamu, kita makan di sana. Bereskan! Lagi pula ngapain pusing-pusing mikirin hidup ini."

"Mas! Sungguh mudahnya engkau berkata sedemikian rupa? Kamu itu imam dalam keluarga. Seharusnya mikir dan banting tulang mencari uang untuk membiayai kebutuhan kita, Mas!"

Aku mulai merah padam mendengar ucapannya. Betapa mudahnya dia meng-entengkan segala macam masalah sampai-sampai dia tidak mau bekerja setelah mengetahui aku punya penghasilan.

"Ya sudah! Kamu yang rajin berhalusinasi agar setiap hari bisa up part baru! Kalau kamu up setiap hari, pasti fans-mu selalu ngikuti ceritamu, gampangkan!"

Sandy menautkan alisnya ke atas. Dia tidak tahu betapa susahnya mengarang seribu kata itu membutuhkan stamina. Kalau ide buntu, aku harus ngemil. Sementara uangku sudah ludes dikurasnya.

"Aku heran sama kamu, Mas! Nggak tahu lagi aku mau berkata apa."

"Banyak sekali ceritamu. Sini gawaimu! Aku butuh uang untuk menyusul ibu dan Fany ke Mall. Mereka lagi makan malam di Mall, masa aku nggak ikut. Mas 'kan anak satu-satunya."

Kutelan ludahku, rasanya kerongkonganku kering.

"Kamu bilang apa barusan?!" tanyaku sambil berdiri menatap netranya.

"Ala gitu saja sasakmu langsung naik, santai Dek. Maksud Mas, Mamasmu ini mau menyusul ibu dan Fany di Mall, soalnya Fany mau beli perlengkapan buat persiapan lamarannya. Wajar dong, Fany beli persiapannya di Mall agar semua pakaian yang dia pakai barang brandit semua."

"Apa kalian nggak malu, Mas? Memaksakan kehendak dengan cara merampas hak orang lain. Kalian itu benar-benar benalu di dalam kehidupanku. Kalau sudah jelas semua seperti ini, lebih baik aku ...."

Aku membuang napas dengan kasar. Sebenarnya aku tidak mau berdebat panjang kali lebar. Tidak ada gunanya sama sekali. Lebih baik aku mengarang cerita daripada bertekak sama suamiku.

"Apa?! Lebih baik kamu minta cerai? Itu maksud kamu?!"

Sandy menerka-nerka ucapanku.

"Nggak bakalan kuceraikan kamu, Dek! Kalau kita cerai hilanglah semua sumber rezekiku. Nggak! Nggak bakalan."

"Kalau kamu nggak mau kugugat cerai, makanya kerja dong! Jangan hanya menghandalkan aku yang bekerja mencari duit."

Sandy hampir saja memukul wajahku. Namun, tidak jadi. Aku juga tidak tahu kenapa dia mau menamparku.

"Sabar sayang! Mamasmu ini lagi cari kerja. Pokoknya nanti adek senang dan bahagia kubuat."

"Sabar ... sabar ... mau sampai kapan aku sabar, Mas! Batas kesabaranku ada," balasku tidak kalah sengit.

Lama-lama aku tidak bisa tinggal diam. Diamku dia manfaatkan seenak jidatnya.

"Sudah nggak usah dibahas lagi! Pokoknya semangat iya mengarangnya, biar banyak dapat cuan. Bye ... bye ...! Masmu mau ke Mall dulu menyusul ibu dan Fany."

Aku diam mematung, tidak tahu kenapa setiap kali Sandy mencium keningku rasa amarah hilang sekejap. Sedongkol-dongkolnya aku, sekesal-kesalnya aku dia buat, hilang sekejap.

"Apa jangan-jangan Sandy mempunyai pelet atau susuk?"

Aku mencoba menerka-nerka. Sehingga membuat aku tidak fokus mengarang cerita.

"Huft! Menyebalkan."

Sandi pergi meninggalkanku. Kupandangi dia sampai hilang dari pandanganku. Setelah dia sudah tidak nampak lagi, aku kembali ke sofa. Tiba-tiba aku panik.

"Astaga! Gawaiku mana? Pasti Mas Sandy sudah bawa gawaiku kabur. Kamu kira masih bisa mengotak atik M-Banking-ku, rasakan saja nanti di sana."

Aku tertawa, tidak sabar menunggu info dari suamiku.

"Pantas saja dia tidak marah. Ternyata ponselku sudah diambilnya setelah mencium keningku."

Aku berjalan menuju kamar, kuambil buku dan kubuat outline yang akan mau kutulis. Kalau Sandy pulang, biar langsung nge-halu sesuai outline yang sudah kubuat di kertas buram.

****

Sandy berjalan menyusuri setiap lantai di Mall sembari main game online. Sudah di Mall masih saja main game online. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang, "Aw ...!"

Gawainya jatuh seketika.

"Astaga! Telepon selulerku," ucapnya.

"Maaf, Mas! Nggak sengaja, saya buru-buru mau mencari anak saya," ucap seorang cewek cantik.

Netra Sandy tidak berkedip, dia memplototi wajah perempuan itu. 'Masya Allah, cantik pisan.'

Sandy tidak berkedip sama sekali memandang wajah perempuan cantik itu. Dia lupa kalau dirinya sudah menikah dan mempunyai istri.

"Maaf ya, Mas. Ini gawainya."

Wanita itu mengambil ponsel itu lalu memberikannya kepada Sandy.

"Sekali lagi saya minta maaf, Mas."

Bibirnya masih kelu, matanya tidak berkedip.

'Sungguh cantiknya wanita yang ada di hadapanku.'

Pikirnya traveling ke taman surga.

"Mas! Saya cabut, ya. Soalnya buru-buru."

"Tunggu, sebentar."

Sandy baru saja buka suara. Dia mencoba menghalangi wanita cantik itu.

"Maaf, Mas. Saya nggak ada waktu."

Wanita itu pergi berlari. Namun, langkahnya terhenti.

"Sebentar saja, Mbak."

Sandy memegang lengan perempuan itu. Tidak tahu kenapa, Sandy sangat berani menyentuh wanita yang berjilbab syar'i dan berbaju gamis.

"Mas jangan coba kurang ajar, ya! Saya buru-buru."

Perempuan itu menepiskan tangannya lalu menampar wajah Sandy dengan kuat.

"Nama Mbak siapa?"

Sandy masih saja berani bertanya siapa nama wanita itu.

Tamparan kedua menepis di wajahnya, Sandy.

"Aw ...! Sakit!" lirihnya.

Wanita itu pergi meninggalkan Sandy begitu saja. Hanya rasa panas yang dirasakan Sandy sekarang.

"Aku akan membuat kamu jatuh ke dalam pelukanku, wahai wanita cantik."

Sandy berhalusinasi untuk mendapatkan wanita itu.

Bersambung .....

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status