Share

Aku Bukan Mesin ATM Pencetak Uang, Mas
Aku Bukan Mesin ATM Pencetak Uang, Mas
Penulis: Pemanis Aksara

Bagian 01: Dua Puluh Juta

AKU BUKAN MESIN PENCETAK UANG MAS

Bagian 01: Dua Puluh Juta

"Mas! Aku mau berkunjung ke rumah orang tuaku," ujarku kepada Sandy, suamiku.

"Mas, Nggak salah dengar?" jawabnya dengan santai dan asyik sendiri main game online.

Aku duduk di sampingnya sambil memperhatikan dia lagi sibuk main game. Kutunggu beberapa menit, tidak ada juga respon baiknya.

"Aku sudah kangen sekali sama ibuku, mas! Aku mohon beri izin sekali ini saja."

"Argh ....! Sial! Gara-gara kamu nyawaku habis. Bisa nggak sih kalau aku lagi main game, jangan mengganggu konsentrasiku?!" hardiknya dengan melempar ponsel milikku, untung saja aku tidak kena.

"Mas! Telepon selulerku ...! Kenapa mas semudah itu main lempar? Kalau ponselku rusak, apa ada uangmu buat menggantinya?"

Sorot matanya tajam melihatku. Dia seperti seekor harimau yang siap menerkam mangsanya.

"Pakai uangmulah menggantinya! Uangmu itu, uangku juga. Kamu itu masih istriku."

"Aku tahu, mas. Maksudku, apakah mas ada uang buat mengganti ponselku kalau rusak?"

Aku mencoba melihat ponselku. 'Alhamdulillah masih mulus dan tidak lecet.'

"Asal kamu tahu ya, lebih berharga nyawa game online-ku daripada harga handphone bututmu yang baru saja kulempar, paham!"

Aku terkejut, darahku mendidih mendengar ucapannya. Dia lebih mementingkan nyawa game-nya daripada ponselku.

"Mas, gawai itu sangat berharga bagiku. Dari situ aku bisa menghasilkan banyak uang demi membiayai kebutuhan kita. Kalau gawaiku rusak, mau dapat uang dari mana lagi aku?" sergahku dengan menelan ludah akibat ulahnya. Salivaku rasanya sangat getir.

"Nanti kalau aku sudah kembali bekerja, lebih dari itu bisa kubeli. Reseh banget jadi istri. Nggak ada lagi kesenangan di dunia ini, hah!"

Sandy meraih kembali ponselku lalu membantingnya ke lantai.

Aku beranjak dari tempat dudukku mengambil gawaiku. "Astagfirulloh! Mas, layarnya sudah pecah."

Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Padahal, dia tidak bisa memberi uang belanja buat makan sehari-hari pada saat ini. Sudah dua bulan kerjaannya makan tidur, makan tidur.

"Ala, cuma pecah layarnya saja sudah sedih. Kamu tinggal beli ganti yang baru. Gitu saja repot, heran aku."

Dia berdiri lalu meregangkan tubuhnya.

"Cepat beli gawai yang baru! Aku mau main game online lagi! Suntuk di rumah nggak ada kerjaan satu harian."

"Uangnya dari mana, mas?"

Aku mencoba melawan. Dia kira, uang itu dipungut di pinggir jalan.

"Ambil saja dari ATM-mu! Uangmu banyak kok, hasil menulis cerita online. Mesti kali aku ajari!"

"Uang hasil menulis mau kutabung modal buat lahiran, mas! Bulan depan aku sudah lahiran. Aku tidak mau poya-poya," jelasku agar suamiku paham.

Aku sengaja berbohong agar suamiku tidak mudah menghambur-hamburkan uang. Semenjak suamiku di PHK, aku putar otak bagaimana caranya agar bisa mendapat uang. Alhamdulillah, semenjak suka membaca cerita di salah satu sosial media, aku tertarik untuk mengarang cerita dan mencoba keberuntungan di sana. Aku merasa senang karya recehku banyak yang suka.

"Argh ...! banyak sekali alasanmu. Sini gawaimu, agar aku beli online."

Sandy merampas gawaiku. Walaupun layarnya pecah, masih bisa digunakan. Aku kira suamiku tidak tahu kalau layar anti goresnya yang pecah. Ternyata dia menarik layar anti goresnya agar tidak mengganggu pandangan.

Pola dan sandi M-Bankingku dia tahu. Itulah kesalahan fatal yang  pernah aku lakukan.

"Jangan lakukan itu, mas! Aku mohon!" rengekku, tapi tidak membuahkan hasil. Dia sama sekali tidak peduli.

"Minggir sana!"

Sandy mendorongku hingga luruh ke lantai. Aku terjerembab lalu menarik kakinya. Namun, dia menepiskan tanganku.

"Aw," teriakku.

Sandy pergi begitu saja meninggalkanku di ruang tamu. Sementara aku meringkuk kesakitan.

"Mas ... tolong!" teriakku.

"Baru gitu saja sudah mengkek. Dasar istri manja."

Aku mendengar racauannya dari dalam kamar tidur.

Tidak butuh waktu lama, Sandy datang menghampiriku kembali. Aku berharap dia tidak jadi membeli ponsel. Dia mengembalikan gawaiku. Tanpa buang-buang waktu, aku mengecek gawaiku, tiba-tiba SMS Banking baru saja masuk.

[Sobat B*I! Dana Rp 20.000.000,00 keluar dari rekening 17*******32 pada 22/07/19 20:16:37. Ket.: 601301109119297000160340] sebuah notif transaksi masuk ke dalam ponselku.

Mataku melotot, "Astaga! Handphone harga dua puluh juta ...."

Mulutku menganga seolah tidak percaya. "Mas ... tega sekali kamu beli handphone seharga dua puluh juta demi bisa main game online. Uang tabunganku ludes kamu buat."

"Bulan depan aku ini sudah kerja. Akan kukembalikan uangmu. Tenang saja kamu. Ok!" Sandy pergi meninggalkanku begitu saja.

Aku tidak tahu lagi mau cari uang ke mana kalau bulan depan suamiku tidak bekerja.

'Ya Tuhan! Beri kepadaku kesabaran dalam menghadapi cobaan ini.'

****

"Paket ... permisi ... paket ...."

Terdengar suara di depan rumah. Aku berjalan menuju teras rumah, ternyata Sandy lebih duluan.

"Terima kasih, Pak!" ucap Sandy. Aku menguping di teras rumah. Kuperharikan gerak-gerik suamiku juga kang kurir. Tidak berapa lama, kurir paket beranjak pergi setelah menerima tanda tangan dari suamiku.

"Yes! Aku bisa main game online lagi. Nggak perlu kerja banting tulang. Cukup istri saja yang kerja mengarang cerita, uang terus masuk setiap hari."

"Bilang apa barusan, Mas?!" sergahku. Aku menghampirinya diam-diam.

Sandy langsung salah tingkah dan tidak tahu mau menjawab apa.

"Jawab, Mas!"

"Saya nggak bilang apa-apa, sayang," bujuknya sembari menepiskan kiss di keningku.

Seketika aku luluh, padahal aku sudah terlalu cukup sabar menghadapi tingkahnya.

Sandy pergi masuk ke dalam rumah. Aku hanya bisa menelan salivaku dengan kasar. Mau bertahan, aku selalu makan hati. Mau berpisah, pasti menjadi bahan cemoohan orang lain. Apalagi tetanggaku di kampung selalu suka julid dan nyinyir. Aku tidak tahu harus ke mana memikul beban yang sangat berat.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Aku berjanji akan mengubah sandi M-Banking-ku. Aku sudah tidak mau menjadi sapi perah dibuat suamiku sendiri.

"Nara ...! Kamu di mana?!" panggil suamiku.

Aku terkejut mendengar suara suamiku. Dia kira rumah ini seperti hutan belantara.

"Ada apa sih, mas?" jawabku menghampirinya. Aku lari tergopo-gopo.

"Mana gawaimu?!" tanya dia dengan mata menyalang.

Aku menunduk dan tidak berani menatap wajahnya.

"Cepat berikan gawaimu kepadaku!"

Aku masih saja diam dan tidak menjawab. Jangankan menjawab, menatap wajahnya saja aku tidak berani. Bukan tidak berani, lebih tepatnya aku malas dan jijik melihat wajahnya yang suka minta uang.

"Kamu itu budeg atau tuli?! Suamimu nanya malah kamu diam. Ntar di kasih Tuhan kamu benar-benar tuli baru tahu rasa!"

"Ee-emangnya buat apa, mas?" tanyaku terbata.

Aku mencoba menatap wajahnya dengan pucat. Aku tidak mau kalau dia meminta uang lagi kepadaku.

"Aku mau beli chip, maka dari itu. Mana ponselmu?!"

"Sudah kubilang jangan main itu terus. Lama-lama bisa ludes uangku kamu buat, mas!"

"Kalau habis, ya kerja lagi kamu cari duit. Sudah cukup dua tahun ini aku bekerja mencari nafkah buat kamu. Sekarang gantian, kamu yang cari uang buatku."

Aku merasa heran mendengar ucapan suamiku. Jadi, selama ini dia kira hidup ini bisa ganti posisi?

"Sekarang aku tanya, kamu itu suamiku atau istriku, mas?! Kalau kamu suamiku seharusnya kamu yang bertanggungjawab buat mencari nafkah, bukan aku!"

"Itu bukan urusanku! Sekarang cepat berikan ponselmu! Aku mau beli chip."

Bersambung ....

Next?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tanjung For'az Sya
perempuan bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status