Jika kamu putus asa dan tidak ada yang membantumu, lihatlah matahari menyinari bumi tanpa bantuan siapapun.
••Adel diam membisu saat dicerca berbagai pertanyaan oleh Kayana. Adel tidak punya pilihan lain, dia tetap mengunci rapat mulutnya.Namun, pada akhirnya Adel menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan dari Kay.Tentu saja Kayana tidak langsung mempercayainya. Adel tidak mungkin ribut dengan ibunya. Kayana sendiri tahu Tante Dewi itu orangnya seperti apa.Namun, Kay tidak serta merta memaksa Adel untuk jujur. Kay lebih memilih mengiyakan saja. Mungkin dalam waktu dekat Adel akan bercerita pada Kayana, tapi kalau untuk sekarang sepertinya Kayana harus bersabar. Jujur saja Kay seperti penasaran dengan apa yang telah terjadi pada Adel.Kayana sudah mengenal Adel cukup lama dan Kayana tahu persis Adel adalah tipikal orang yang periang. Namun, akhir-akhir ini Adel berubah jadi pendiam dan murung. Bahkan nilai-nilainya merosot padahal Adel adalah murid yang berprestasi."Kay ....""Ehm ....""Tidak.""Kenapa?"Adel memutarkan badannya dan menatap kaca cermin di depannya. Dia tidak melanjutkan kembali ucapannya. Adel menarik napas mencoba untuk menenangkan dirinya sebelum kembali ke kelas."Bu Ratna pasti sudah berada di dalam kelas, kan?""Ah, tadi sebenarnya Bu Ratna yang menyuruhku untuk menjemputmu.""Kalau begitu sekarang kita kembali ke kelas." Adel memutarkan tubuhnya dan tersenyum.Namun, Kayana tidak bisa dibohongi. Kayana masih bisa melihat kesedihan dan ketakutan dari raut wajah Adel. Kayana berjalan melangkah mengikuti Adelia dari belakang. Kenapa Kay memilih berjalan di belakang Adel? Karena Kay tahu bahwa Adel sedang tidak ingin diganggu.Kayana sendiri bimbang, antara ingin bertanya atau tidak. Yang jelas bertanya pada Adel untuk saat ini bukanlah ide yang bagus, tetapi jika Kayana diam maka Adel akan tambah menderita karena Adel akan merasa tidak ada orang yang peduli dengannya. Namun, berbeda dengan pemikiran Adel. Dia bukan tidak ingin bercerita, tapi Adel tidak ingin sahabatnya itu ikut terjerat dalam permainan itu. Dengan sangat terpaksa Adel menjaga jarak dari Kayana.Begitulah pemikiran dari Kayana dan Adel, tetapi Kayana belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Adel. Sedangkan Adel sendiri memilih untuk diam.Sesampai di kelas, Kayana dan Adel tidak melihat Bu Ratna. Mungkin Bu Ratna hanya datang untuk memberi tugas. Buktinya kelas dalam keadaan tenang. Para murid tampak serius membaca buku yang ada dihadapan mereka.Kayana dan Adel masuk ke dalam. Mereka segera menuju tempat duduk masing-masing. Namun, saat sampai di tempat duduknya. Adel hanya berdiri menatap kursinya."Del, ada apa?" Kayana kembali berjalan menghampiri Adelia.Netra itu membulat sempurna saat melihat bangku milik Adelia. Kayana melihat cairan semerah darah ada di bangku Adelia."Siapa yang menaruh cairan ini di bangku Adelia?" Kayana menatap sekelilingnya.Semua murid yang berada di dalam kelas sama sekali tidak merespons Kayana. Mereka tampak fokus membaca buku mereka masing-masing. Seolah-olah mereka tuli dan tidak peduli.Kayana lantas melepas jaketnya dan mengelap cairan merah yang ada di bangku dengan jaketnya hingga bersih.***Mereka di sana. Tepat di depannya, hanya berjarak sepelemparan batu saja dengan irisnya yang bergerak pelan. Bayangan legam netranya terbias cairan bening yang mulai menumpuk di sekitar pelupuk matanya. Tatapannya membeku pada satu titik yang tidak terduga. Adel tidak menyangka kalau akan bertemu dengan mereka.Sudah bisa dipastikan bagaimana reaksi Adel saat itu. Ya, Adel benar-benar tidak tenang dibuatnya. Justru mereka terlihat memamerkan senyuman smirk-nya. Adel melangkah mundur ke belakang."S-Sa——"Seluruh kalimat Adel seperti tercekat tepat di dalam tenggorokannya. Adel seperti habis menelan sebuah batu besar dan tersangkut diantara tenggorokannya. Hal itu membuat Adel kehilangan kalimat bahkan napasnya secara bersamaan.Adel menggelengkan kepalanya saat melihat mereka mulai berjalan mendekat dan wajahnya berubah pucat. Dia menoleh kanan-kiri, akan tetapi keadaan tidak begitu ramai. Adel sempat bisa membaca gerak bibirnya. Ya, bibir itu bergerak seperti mengucap kata mampus.Gadis itu langsung mengambil langkah seribu untuk berlari menyelamatkan diri menghindar dari mereka."Kejar dia. Jangan sampai lolos!" Teriakan itu sempat terdengar di telinga Adel.Aku harus sembunyi ... tapi dimana aku harus bersembunyi?Adel benar-benar ketakutan. Apalagi dia pulang sendirian tanpa ditemani Kayana, karena pada hari itu Kayana kena jatah piket.Adel terus berlari masuk ke sebuah gang dan dia tidak sengaja dia menabrak seseorang. Karena tabrakan itu Adel terjatuh."Aauw!" rengek Adel memegang sikunya.Saat Adel mengangkat kepalanya, justru dia langsung menarik mundur tubuhnya. Sosok seseorang memakai hoodie berwarna hitam dengan tudung menutupi kepalanya. Sorot mata yang tajam menatap Adelia yang masih duduk di jalanan sambil meringis kesakitan."Adelia, kau pikir bisa lepas dari kejaranku!" teriaknya dengan nada keras.Mereka langsung menghentikan langkahnya saat melihat sosok seorang pemuda berdiri di depan Adelia. Pemuda itu menoleh ke belakang dan membuka tudung hoodie-nya. Lirikan mata tajam seolah ingin membunuh mereka bertiga.Ketiganya langsung melangkah mundur saat melihat wajah sosok pemuda itu. Mimik muka mereka bertiga mendadak berubah pucat ketakutan. Salah satu dari mereka menarik tangan agar segera pergi."Fre, lebih baik kita buru-buru pergi dari sini. Aku tidak ingin kena masalah.""A-aku sependapat dengan Jehan." Mata itu tidak lepas menatap sosok menakutkan yang ada di depan dan beralih menatap Adelia yang meringis kesakitan memegang sikunya."Ayo, kita pergi dari sini. Kita tinggalkan saja Adelia. Besok pun kita masih bisa bertemu dengan Adelia di sekolah."Sosok pemuda itu bergerak melangkahkan kaki kirinya maju ke depan dan hal itu membuat ketiganya langsung mengambil langkah seribu lari menjauh dari tempat itu.Adelia melihat mereka bertiga lari ketakutan menjadi sangat lega. Namun, jantung itu kembali berdetak dua kali lebih cepat saat pemuda itu kembali menoleh menatap Adelia. Pemuda itu melangkah mendekati Adelia."Ti-tidak. Ja-jangan mendekat!" ucap Adelia tanpa menatap wajah pemuda itu.Pemuda itu mencebik. "Apa aku terlihat menakutkan?" Dia menghela napas panjang. "Maaf, jika aku membuatmu takut."Perlahan Adel mulai memberanikan diri menatap pemuda yang berdiri di depannya."Apa mereka teman-temanmu?" tanyanya.Adel hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya."Kenapa mereka mengejarmu?"Adel diam, dia tidak ingin menjawab karena baginya pemuda itu adalah orang asing. Bukan hanya itu saja, Adel juga merasa jika pemuda itu adalah seorang preman jalanan."Maaf, jika aku banyak bertanya. Kau bisa berdiri?" Pemuda itu hendak menolong Adelia."Berhenti. A-aku bisa berdiri sendiri dan aku tidak apa-apa. Terima kasih." Adelia segera berdiri dan bergegas pergi meninggalkannya.Pemuda itu memperhatikan telapak tangannya sendiri dengan seksama. Dia kembali mencebik saat menyadarinya hal itu."Pantas saja dia menolaknya. Mungkin tanda ini yang membuatnya bergidik ngeri melihatku. Aku benar-benar membuat mereka ketakutan." Pemuda itu kembali menutupkan tudung hoodie-nya ke kepalanya. Memasukkan kedua tangannya ke saku dan melangkah pergi.Adelia selamat karena dia bertemu dengan sosok pemuda misterius dengan tatapan maut di sebuah gang kecil. Malam itu penampilannya memang bisa dibilang berantakan. Wajahnya penuh dengan luka dan darah yang mengering. Hal itu pula yang membuat Sarah, Freya, dan Jehan lari ketakutan.Sosok pemuda dengan tinggi 180 cm telah menjadi malaikat penyelamat Adelia. Siapakah dia?"Sial!" umpat Sarah.Gadis dengan perawakan tinggi kurang lebih 160 cm. Rambut sebahu, berwajah jutek itu terlihat kesal saat mengingat kejadian malam itu."Kau kenapa mengumpat seperti itu," timpal Jehan."Jika dia tidak ditolong oleh pemuda itu. Pasti aku sudah memberi dia pelajaran," sahut Sarah."Tenang saja. Itu dia baru saja masuk gerbang sekolah," tunjuk Freya pada dua gadis yang berjalan bersamaan masuk gerbang sekolah.Sarah menatap sengit pada salah satu gadis itu. Bagaimana tidak? Sudah hampir satu minggu dia mulai membangkang. Kedua tangan Sarah mengepal erat. "Lihat saja, Del. Hari ini aku pastikan kau tidak akan nyaman berada di sekolahan.""Apa yang akan kau lakukan pada dia?" tunjuk Freya mengangkat tangannya ke depan."Kau lihat saja nanti!" Sarah membalikkan tubuhnya."Auw!" pekik Freya saat tubuh Sarah menabraknya. "Kenapa dia?"Jehan menahan tangan Freya saat gadis itu hendak mengejar Sarah. Jehan menggelengkan kepalanya."Jangan sekarang, nanti kau akan kena imba
Sarah, Freya, dan Jehan berada di dalam toilet sekolah. Ketiganya berdiri di depan salah satu bilik. Sarah tampak memainkan sepatu kanannya, menghentak-hentakan ke lantai."Adel ... apa kau tidak ingin keluar dari dalam sana?" gertak Sarah. "Satu pintu lagi. Aku pastikan kau ada di balik pintu bilik terakhir ini."Belum sempat tangan kanan Sarah mendorong pintu bilik tersebut. Pintu itu telah terbuka dan muncullah Adel di balik pintu."Aha ... akhirnya kau keluar juga, Del."Sarah maju beberapa langkah, sedangkan Freya berdiri di samping kanan pintu dan Jehan berdiri di sebelah kiri. Ketiganya melipatkan tangan mereka dan menatap Adelia.Adel menundukkan kepalanya. Gadis itu tidak berani membalas tatapan dari Sarah, Freya, dan Jehan."Anak pintar," ujar Sarah menepuk pipi kiri Adelia. "Dengar baik-baik. Jika sampai kau mengadu--besok atau lusa--kau akan mendapatkan yang lebih buruk dari ini. Paham!" Sarah mencengkeram kuat rambut Adel dan menariknya dengan kuat. Hal itu membuat Adel b
Kayana melangkah tergesa-gesa. Dia hanya ingin cepat sampai di rumah. Kayana terus melangkah sambil sesekali dia menoleh ke belakang. Dia takut jika pemuda tadi ternyata mengikutinya. Ada rasa lega saat di belakang tidak ada siapa-siapa. Namun, rasa tegang seketika muncul saat melihat pintu rumah terbuka."Ke-kenapa pintu ini terbuka?" Kayana perlahan masuk ke dalam rumah."Kau sudah pulang, Kay." Sebuah suara mengejutkan Kayana."I-ibu ...," sahut Kayana kaget sambil memegang dadanya."Kenapa kau terkejut seperti itu? Apa kau tidak suka ibu pulang ke rumah," balas wanita berambut panjang sebahu dengan rol rambut terpasang di poni depan."Se-sejak kapan ibu pulang?" tanya Kayana."Baru beberapa menit yang lalu. Ayo, makan," ajak Laras. Wanita itu menaruh sepiring tumis sayur di atas meja dan di sana sudah tersedia dua piring dengan nasi di atasnya."Aku mau membersihkan diri terlebih dahulu, bu," balas Kayana."Baiklah. Pergilah mandi, ibu akan menunggumu."Kayana berlalu dari sana d
Satu jam sebelum kejadian terjadi. Adelia mengangkat kotak yang baru dia bawa dari kelasnya. Adelia ingin membawa kotak tempat susu itu ke ruang guru. Namun, tak disangka justru dia bertemu dengan Sarah, Freya, dan Jehan.Ketiga gadis itu menghampiri Adelia. Sarah mendekatkan kepalanya, dia seperti hendak membisikan sesuatu di telinga Adel. Saat bibir itu hampir menyentuh telinga Adel dan desiran napas hangat memutar di sekitar daun telinga Adelia. Mata indah itu mendadak membulat dengan sempurna. Setelah itu Sarah menepuk pipi Adelia dengan menggunakan tangan kanannya. Setelah itu ketiganya berlalu dari hadapan Adelia.Satu jam setelahnya, sekolah SMA Harapan gempar karena kejadian yang mengejutkan di pagi hari. Salah satu siswi sekolah tersebut loncat dari roof top. Bunuh diri atau kah ada yang mendorongnya?***Flashback,Sehari sebelum kejadian. Sebagai seorang sahabat, Kayana memang selalu memperhatikan Adelia. Sejak sikap aneh dari Adel, Kayana sudah merasakan firasat buruk y
-Kita tidak bisa tahu siapa teman yang baik dan buruk, tapi kita bisa memilih mana yang bisa dijadikan teman yang baik dan buruk-••Kayana masih terngiang-ngiang dengan apa yang Bima ucapkan. Kayana terus menatap benda yang ada di tangannya. Berkali-kali dia membaca rangkaian huruf yang ada di kertas tersebut."Aahh, aku harus bagaimana?" keluh Kayana lalu terduduk lemas di atas sebuah bangku.Termenung gadis cantik itu di sana. Tatapan nanar kembali menghiasi saat ingatan itu berjalan melintas. Perlahan kedua tangannya memegang kepalanya dan Kayana menggeleng pelan."Adel, kenapa kau melakukan tindakan bodoh?" Isak tangis mulai terdengar mewarnai sekitar. "Tidak kah kau ingat akan janjimu padaku diwaktu itu? Kau bilang akan mengejar impian bersama denganku, tapi kini ...." Kayana terdiam sesaat, tangan kanannya terangkat ke atas dan menyekat air matanya. Kayana mendongakkan kepalanya agar air mata itu tidak kembali meluncur lolos dari tempatnya.Kepala itu kembali menunduk dan kedua
-Kamu tidak akan pernah mencapai tempat yang lebih tinggi jika kamu selalu menjatuhkan orang lain-•Hidup adalah sebuah perjalanan. Kita hanya mampu berjalan ke depan, tanpa menoleh ke belakang. Masa lalu hanyalah sebuah masa yang sangat tidak berguna.Masa depan menantimu, jangan kau terbelenggu di masa lalu yang kelam. Terkadang aku bingung terhadap semua orang. Mengapa? Aku berpikir, apa ini? Kenapa aku berbeda. Ralat, aku spesial. Mempunyai dua kepribadian bukanlah hal yang sulit bagiku. Musuh hanya seperti nyamuk di tanganku. Semua ku atur, semua ku bunuh. Jalan penuh duri terus ku lalui. Lelah? Tidak, aku tidak lelah sama sekali. Yang ku rasakan hanyalah hampa. Kau tahu? Kehilangan seorang yang di cintai itu sakit. Hmm. Pembullyan selalu datang menghampiriku? Orang tua ku bercerai, nenekku meninggal. Aku kuat? Ralat, aku sangat lemah. Aku berpikir, apa yang sedang di rencanakan Tuhan. Mereka menyebutku iblis, tapi ... Aku spesial, ku akui itu. "Dasar cupu! Lemah!" Bullya
Kayana berlari menyusuri trotoar malam itu. Sesekali dia menoleh ke belakang melihat apa mereka masih mengejar. Ah, ternyata mereka masih berada di belakang Kayana.Siapa mereka?Mereka pastinya adalah Sarah beserta antek-anteknya.Sarah dan gerombolan mengejar Kayana yang begitu sangat ketakutan. Kayana berlari sambil sesekali melihat ke belakang. Akhirnya Kayana memilih belok ke bangunan kosong dan sebagian sudah roboh.Kayana berhenti saat merasa mereka sudah tidak mengejarnya. Kayana membungkuk dan mengatur napasnya pelan-pelan agar kembali teratur. Merasa sudah aman, Kayana kembali meneruskan langkahnya."Hei!" Sebuah teriakan membuat Kayana harus kembali berlari."Aku pikir mereka sudah tidak mengejarku lagi, tapi dugaanku salah." Suara familiar yang sudah tidak asing bagi Kayana.Deru napas yang tidak teratur di sela-sela Kayana berlari dan gelapnya malam membuat Kayana makin kesulitan.Tiba-tiba Kayana berhenti saat dia melihat segerombolan pemuda tengah menghajar seseorang. K
Kayana merebut ponsel dari tangan Evan. Ponsel yang sudah benar-benar mati total itu adalah satu-satunya barang berharga yang dimiliki Kayana. Antara marah dan bingung, Kayana terlihat sangat kecewa sekaligus kesal karena dia sendiri tidak punya uang. "Berikan ponselmu padaku. Aku akan bertanggung jawab memperbaiki ponselmu itu," kata Evan.Bimbang yang dirasakan Kayana. Gadis itu tidak langsung merespons Evan. Netra hitam Kayana fokus menatap benda pipih yang sedang dia pegang. Evan pun kembali merebut ponsel dari tangan Kayana. "Berikan padaku!""Tidak per———""Sst ... jangan protes!" potong Evan tegas. "Aku janji ponsel ini akan kembali normal. Setelah itu aku akan langsung memberikan benda ini padamu. Paham," tegas Evan, lalu dia memasukkan ponselnya itu ke dalam saku celananya.***Setelah kejadian itu Kayana sering merenung sendiri dan untungnya besok adalah hari minggu jadi Kayana merasa lega akan keselamatan dirinya sendiri. Dia memikirkan tentang dirinya jika nanti bertemu