Share

B3. Malaikat Penyelamat

Jika kamu putus asa dan tidak ada yang membantumu, lihatlah matahari menyinari bumi tanpa bantuan siapapun.

••

Adel diam membisu saat dicerca berbagai pertanyaan oleh Kayana. Adel tidak punya pilihan lain, dia tetap mengunci rapat mulutnya.

Namun, pada akhirnya Adel menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan dari Kay.

Tentu saja Kayana tidak langsung mempercayainya. Adel tidak mungkin ribut dengan ibunya. Kayana sendiri tahu Tante Dewi itu orangnya seperti apa.

Namun, Kay tidak serta merta memaksa Adel untuk jujur. Kay lebih memilih mengiyakan saja. Mungkin dalam waktu dekat Adel akan bercerita pada Kayana, tapi kalau untuk sekarang sepertinya Kayana harus bersabar. Jujur saja Kay seperti penasaran dengan apa yang telah terjadi pada Adel.

Kayana sudah mengenal Adel cukup lama dan Kayana tahu persis Adel adalah tipikal orang yang periang. Namun, akhir-akhir ini Adel berubah jadi pendiam dan murung. Bahkan nilai-nilainya merosot padahal Adel adalah murid yang berprestasi.

"Kay ...."

"Ehm ...."

"Tidak."

"Kenapa?"

Adel memutarkan badannya dan menatap kaca cermin di depannya. Dia tidak melanjutkan kembali ucapannya. Adel menarik napas mencoba untuk menenangkan dirinya sebelum kembali ke kelas.

"Bu Ratna pasti sudah berada di dalam kelas, kan?"

"Ah, tadi sebenarnya Bu Ratna yang menyuruhku untuk menjemputmu."

"Kalau begitu sekarang kita kembali ke kelas." Adel memutarkan tubuhnya dan tersenyum.

Namun, Kayana tidak bisa dibohongi. Kayana masih bisa melihat kesedihan dan ketakutan dari raut wajah Adel. Kayana berjalan melangkah mengikuti Adelia dari belakang. Kenapa Kay memilih berjalan di belakang Adel? Karena Kay tahu bahwa Adel sedang tidak ingin diganggu.

Kayana sendiri bimbang, antara ingin bertanya atau tidak. Yang jelas bertanya pada Adel untuk saat ini bukanlah ide yang bagus, tetapi jika Kayana diam maka Adel akan tambah menderita karena Adel akan merasa tidak ada orang yang peduli dengannya. Namun, berbeda dengan pemikiran Adel. Dia bukan tidak ingin bercerita, tapi Adel tidak ingin sahabatnya itu ikut terjerat dalam permainan itu. Dengan sangat terpaksa Adel menjaga jarak dari Kayana.

Begitulah pemikiran dari Kayana dan Adel, tetapi Kayana belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Adel. Sedangkan Adel sendiri memilih untuk diam.

Sesampai di kelas, Kayana dan Adel tidak melihat Bu Ratna. Mungkin Bu Ratna hanya datang untuk memberi tugas. Buktinya kelas dalam keadaan tenang. Para murid tampak serius membaca buku yang ada dihadapan mereka.

Kayana dan Adel masuk ke dalam. Mereka segera menuju tempat duduk masing-masing. Namun, saat sampai di tempat duduknya. Adel hanya berdiri menatap kursinya.

"Del, ada apa?" Kayana kembali berjalan menghampiri Adelia.

Netra itu membulat sempurna saat melihat bangku milik Adelia. Kayana melihat cairan semerah darah ada di bangku Adelia.

"Siapa yang menaruh cairan ini di bangku Adelia?" Kayana menatap sekelilingnya.

Semua murid yang berada di dalam kelas sama sekali tidak merespons Kayana. Mereka tampak fokus membaca buku mereka masing-masing. Seolah-olah mereka tuli dan tidak peduli.

Kayana lantas melepas jaketnya dan mengelap cairan merah yang ada di bangku dengan jaketnya hingga bersih.

***

Mereka di sana. Tepat di depannya, hanya berjarak sepelemparan batu saja dengan irisnya yang bergerak pelan. Bayangan legam netranya terbias cairan bening yang mulai menumpuk di sekitar pelupuk matanya. Tatapannya membeku pada satu titik yang tidak terduga. Adel tidak menyangka kalau akan bertemu dengan mereka.

Sudah bisa dipastikan bagaimana reaksi Adel saat itu. Ya, Adel benar-benar tidak tenang dibuatnya. Justru mereka terlihat memamerkan senyuman smirk-nya. Adel melangkah mundur ke belakang.

"S-Sa——"

Seluruh kalimat Adel seperti tercekat tepat di dalam tenggorokannya. Adel seperti habis menelan sebuah batu besar dan tersangkut diantara tenggorokannya. Hal itu membuat Adel kehilangan kalimat bahkan napasnya secara bersamaan.

Adel menggelengkan kepalanya saat melihat mereka mulai berjalan mendekat dan wajahnya berubah pucat. Dia menoleh kanan-kiri, akan tetapi keadaan tidak begitu ramai. Adel sempat bisa membaca gerak bibirnya. Ya, bibir itu bergerak seperti mengucap kata mampus.

Gadis itu langsung mengambil langkah seribu untuk berlari menyelamatkan diri menghindar dari mereka.

"Kejar dia. Jangan sampai lolos!" Teriakan itu sempat terdengar di telinga Adel.

Aku harus sembunyi ... tapi dimana aku harus bersembunyi?

Adel benar-benar ketakutan. Apalagi dia pulang sendirian tanpa ditemani Kayana, karena pada hari itu Kayana kena jatah piket.

Adel terus berlari masuk ke sebuah gang dan dia tidak sengaja dia menabrak seseorang. Karena tabrakan itu Adel terjatuh.

"Aauw!" rengek Adel memegang sikunya.

Saat Adel mengangkat kepalanya, justru dia langsung menarik mundur tubuhnya. Sosok seseorang memakai hoodie berwarna hitam dengan tudung menutupi kepalanya. Sorot mata yang tajam menatap Adelia yang masih duduk di jalanan sambil meringis kesakitan.

"Adelia, kau pikir bisa lepas dari kejaranku!" teriaknya dengan nada keras.

Mereka langsung menghentikan langkahnya saat melihat sosok seorang pemuda berdiri di depan Adelia. Pemuda itu menoleh ke belakang dan membuka tudung hoodie-nya. Lirikan mata tajam seolah ingin membunuh mereka bertiga.

Ketiganya langsung melangkah mundur saat melihat wajah sosok pemuda itu. Mimik muka mereka bertiga mendadak berubah pucat ketakutan. Salah satu dari mereka menarik tangan agar segera pergi.

"Fre, lebih baik kita buru-buru pergi dari sini. Aku tidak ingin kena masalah."

"A-aku sependapat dengan Jehan." Mata itu tidak lepas menatap sosok menakutkan yang ada di depan dan beralih menatap Adelia yang meringis kesakitan memegang sikunya.

"Ayo, kita pergi dari sini. Kita tinggalkan saja Adelia. Besok pun kita masih bisa bertemu dengan Adelia di sekolah."

Sosok pemuda itu bergerak melangkahkan kaki kirinya maju ke depan dan hal itu membuat ketiganya langsung mengambil langkah seribu lari menjauh dari tempat itu.

Adelia melihat mereka bertiga lari ketakutan menjadi sangat lega. Namun, jantung itu kembali berdetak dua kali lebih cepat saat pemuda itu kembali menoleh menatap Adelia. Pemuda itu melangkah mendekati Adelia.

"Ti-tidak. Ja-jangan mendekat!" ucap Adelia tanpa menatap wajah pemuda itu.

Pemuda itu mencebik. "Apa aku terlihat menakutkan?" Dia menghela napas panjang. "Maaf, jika aku membuatmu takut."

Perlahan Adel mulai memberanikan diri menatap pemuda yang berdiri di depannya.

"Apa mereka teman-temanmu?" tanyanya.

Adel hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

"Kenapa mereka mengejarmu?"

Adel diam, dia tidak ingin menjawab karena baginya pemuda itu adalah orang asing. Bukan hanya itu saja, Adel juga merasa jika pemuda itu adalah seorang preman jalanan.

"Maaf, jika aku banyak bertanya. Kau bisa berdiri?" Pemuda itu hendak menolong Adelia.

"Berhenti. A-aku bisa berdiri sendiri dan aku tidak apa-apa. Terima kasih." Adelia segera berdiri dan bergegas pergi meninggalkannya.

Pemuda itu memperhatikan telapak tangannya sendiri dengan seksama. Dia kembali mencebik saat menyadarinya hal itu.

"Pantas saja dia menolaknya. Mungkin tanda ini yang membuatnya bergidik ngeri melihatku. Aku benar-benar membuat mereka ketakutan." Pemuda itu kembali menutupkan tudung hoodie-nya ke kepalanya. Memasukkan kedua tangannya ke saku dan melangkah pergi.

Adelia selamat karena dia bertemu dengan sosok pemuda misterius dengan tatapan maut di sebuah gang kecil. Malam itu penampilannya memang bisa dibilang berantakan. Wajahnya penuh dengan luka dan darah yang mengering. Hal itu pula yang membuat Sarah, Freya, dan Jehan lari ketakutan.

Sosok pemuda dengan tinggi 180 cm telah menjadi malaikat penyelamat Adelia. Siapakah dia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status