Setelah Kayana dan Evan menikmati kebebasannya. Mereka pulang bersama dan Evan pun diajak pulang ke rumah Kayana. Ternyata Bu Laras memang sudah mempersiapkan kebebasan sang putri.Evan pun sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Bu Laras karena wanita itu sudah banyak mengetahui Evan dari putrinya, Kayana. Kayana sering bercerita jika Evan lah yang selalu melindungi Kayana. Maka dari itu Bu Laras begitu senang saat bisa bertemu dengan Evan secara langsung."Masuklah dan anggap rumah sendiri," kata Bu Laras pada Evan. Kayana pun menarik tangan Evan dan masuk ke dalam rumah. Tadinya Evan ingin menolaknya, akan tetapi Kayana memaksa Evan dan Evan tidak bisa menghindarinya.Evan duduk di sofa. Matanya terus mengikuti aktivitas Bu Laras yang sedang mempersiapkan hidangan untuk semuanya. Merasa tidak enak Evan pun berdiri dan menghampiri Bu Laras. Evan ingin membantu pekerjaan Bu Laras."Biar aku bantu, Tante," ujar Evan menawarkan bantuan."Tidak perlu, nak. Kau duduk di sana saja.
Nama yang sama dengan sahabat Kayana. Gadis itu bernama Adelia. Jantung Kayana terasa berhenti sesaat ketika mendengar nama itu. Kayana sudah bisa menebak jika gadis itu baru saja menangis. Mata dan hidung merah, hal itu tidak bisa membohongi Kayana.Adelia Rahastri adalah nama gadis yang sekarang duduk di samping Kayana. Kepalanya menunduk ke bawah menatap jari jemarinya yang saling beradu.Tangan kiri Kayana terulur memegang kedua tangan Adelia. Kayana merasa sedang memegang kedua tangan sahabatnya sendiri. Kayana melihat bayangan Adelia tersenyum di sana. Pastinya Kayana langsung sadar jika bayangan itu hanyalah fatamorgana."Siapa namamu tadi?" tanya Kayana."A-Adel, Bu," jawabnya pelan.Kayana menarik napas pelan dan tersenyum, lalu tangannya terangkat menyibakkan rambut Adelia.Adelia terkejut saat tangan Kayana menyentuh rambutnya. Kayana pun heran melihat reaksi Adelia pada saat itu."Kenapa?" tanya Kayana."Ti-tidak, Bu," ujar Adelia gugup."Adel, ibu ingin tanya. Apakah kau
"Adel!" teriak seseorang dari balik pintu. "Apa kau tidak berangkat sekolah?" Tak ada respons dari dalam kamar. "Ibu tidak akan datang ke sekolahmu, jika nanti ada surat panggilan dari sekolah.""Iya. Ini sedang bersiap-siap untuk berangkat," ucap Adel sambil menyeka buliran bening. Adel berdiri di ambang pintu kamar mandi. Seolah dia enggan berjalan meraih tas sekolahnya.Kenapa harus ada hari Senin lagi? batin Adel.Adelia tampak malas melangkah mendekati ranjang. Dari raut wajahnya tampak Adel sedang bingung dan tidak tenang."Sebenarnya aku malas berangkat sekolah, tapi--""Adel!" Teriakan nyaring itu kembali terdengar lantang dari bawah sana."Ah, aku benar-benar benci suara itu," gerutu Adel menarik tas sekolah dan menyeretnya di lantai.Adel berdiri di depan pintu kamarnya, menatap pintu tersebut seolah dia sedang memikirkan sesuatu."Aku harus tetap berangkat," cicitnya lemah.Adelia duduk di depan sebuah piring dengan isi roti tawar yang sudah diolesi selai stroberi oleh ib
Suram dan gelap. Mungkin itu adalah gambaran wajah Adel saat itu. Tanpa ekspresi di wajahnya, Adel melangkah di belakang tubuh Kayana. Bukan hanya Adel, tetapi Kayana pun memasang muka jenuh. Ya, jenuh karena bertemu dengan hari senin.Adel melangkah menundukkan kepalanya, dia sama sekali tidak mau melihat ke depan."Del, empat puluh hari lagi kita akan menghadapi ujian kelulusan. Bagaimana persiapanmu?" Celotehan Kayana tidak ditanggapi oleh Adel. Jangankan menanggapi, Adel mendengarkannya juga tidak. Gadis itu seperti berjalan dengan tatapan kosong.Kayana terus berceloteh ria, menyambung kata demi kata. Layaknya seorang sedang bercerita. Sepanjang jalan pulang yang terdengar hanyalah suara Kayana.Adel hanya menatap punggung sahabatnya yang berjalan di depannya. Pikirannya entah melayang ke mana.Aku sudah capek dengan ini semua ... batin Adel berkecamuk begitu hebat. Bingung dan takut ... Ah, aku harus bagaimana? Menghindar pun aku tak bisa. Adel kembali menatap punggung Kayana.
Jika kamu putus asa dan tidak ada yang membantumu, lihatlah matahari menyinari bumi tanpa bantuan siapapun.••Adel diam membisu saat dicerca berbagai pertanyaan oleh Kayana. Adel tidak punya pilihan lain, dia tetap mengunci rapat mulutnya. Namun, pada akhirnya Adel menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan dari Kay.Tentu saja Kayana tidak langsung mempercayainya. Adel tidak mungkin ribut dengan ibunya. Kayana sendiri tahu Tante Dewi itu orangnya seperti apa.Namun, Kay tidak serta merta memaksa Adel untuk jujur. Kay lebih memilih mengiyakan saja. Mungkin dalam waktu dekat Adel akan bercerita pada Kayana, tapi kalau untuk sekarang sepertinya Kayana harus bersabar. Jujur saja Kay seperti penasaran dengan apa yang telah terjadi pada Adel.Kayana sudah mengenal Adel cukup lama dan Kayana tahu persis Adel adalah tipikal orang yang periang. Namun, akhir-akhir ini Adel berubah jadi pendiam dan murung. Bahkan nilai-nilainya merosot padahal Adel adalah murid yang berprestasi.
"Sial!" umpat Sarah.Gadis dengan perawakan tinggi kurang lebih 160 cm. Rambut sebahu, berwajah jutek itu terlihat kesal saat mengingat kejadian malam itu."Kau kenapa mengumpat seperti itu," timpal Jehan."Jika dia tidak ditolong oleh pemuda itu. Pasti aku sudah memberi dia pelajaran," sahut Sarah."Tenang saja. Itu dia baru saja masuk gerbang sekolah," tunjuk Freya pada dua gadis yang berjalan bersamaan masuk gerbang sekolah.Sarah menatap sengit pada salah satu gadis itu. Bagaimana tidak? Sudah hampir satu minggu dia mulai membangkang. Kedua tangan Sarah mengepal erat. "Lihat saja, Del. Hari ini aku pastikan kau tidak akan nyaman berada di sekolahan.""Apa yang akan kau lakukan pada dia?" tunjuk Freya mengangkat tangannya ke depan."Kau lihat saja nanti!" Sarah membalikkan tubuhnya."Auw!" pekik Freya saat tubuh Sarah menabraknya. "Kenapa dia?"Jehan menahan tangan Freya saat gadis itu hendak mengejar Sarah. Jehan menggelengkan kepalanya."Jangan sekarang, nanti kau akan kena imba
Sarah, Freya, dan Jehan berada di dalam toilet sekolah. Ketiganya berdiri di depan salah satu bilik. Sarah tampak memainkan sepatu kanannya, menghentak-hentakan ke lantai."Adel ... apa kau tidak ingin keluar dari dalam sana?" gertak Sarah. "Satu pintu lagi. Aku pastikan kau ada di balik pintu bilik terakhir ini."Belum sempat tangan kanan Sarah mendorong pintu bilik tersebut. Pintu itu telah terbuka dan muncullah Adel di balik pintu."Aha ... akhirnya kau keluar juga, Del."Sarah maju beberapa langkah, sedangkan Freya berdiri di samping kanan pintu dan Jehan berdiri di sebelah kiri. Ketiganya melipatkan tangan mereka dan menatap Adelia.Adel menundukkan kepalanya. Gadis itu tidak berani membalas tatapan dari Sarah, Freya, dan Jehan."Anak pintar," ujar Sarah menepuk pipi kiri Adelia. "Dengar baik-baik. Jika sampai kau mengadu--besok atau lusa--kau akan mendapatkan yang lebih buruk dari ini. Paham!" Sarah mencengkeram kuat rambut Adel dan menariknya dengan kuat. Hal itu membuat Adel b
Kayana melangkah tergesa-gesa. Dia hanya ingin cepat sampai di rumah. Kayana terus melangkah sambil sesekali dia menoleh ke belakang. Dia takut jika pemuda tadi ternyata mengikutinya. Ada rasa lega saat di belakang tidak ada siapa-siapa. Namun, rasa tegang seketika muncul saat melihat pintu rumah terbuka."Ke-kenapa pintu ini terbuka?" Kayana perlahan masuk ke dalam rumah."Kau sudah pulang, Kay." Sebuah suara mengejutkan Kayana."I-ibu ...," sahut Kayana kaget sambil memegang dadanya."Kenapa kau terkejut seperti itu? Apa kau tidak suka ibu pulang ke rumah," balas wanita berambut panjang sebahu dengan rol rambut terpasang di poni depan."Se-sejak kapan ibu pulang?" tanya Kayana."Baru beberapa menit yang lalu. Ayo, makan," ajak Laras. Wanita itu menaruh sepiring tumis sayur di atas meja dan di sana sudah tersedia dua piring dengan nasi di atasnya."Aku mau membersihkan diri terlebih dahulu, bu," balas Kayana."Baiklah. Pergilah mandi, ibu akan menunggumu."Kayana berlalu dari sana d