-Pria sejati tidak dilihat dari ketampanan wajahnya, tapi dilihat dari dewasanya menghadapi lika liku kehidupan.- Audrey Akhirnya aku tumbang. Entah sudah berapa lama aku ditempat yang dikelilingi tirai hijau yang kuyakini adalah rumah sakit. Hidungku dilingkupi alat bantu nafas. Selang infus menancap di pembuluh darah tangan. Disampingku ada dua perempuan rekan kerja yang kukenal, Nabila dan Mela. Setelah aku siuman dan lebih baik, mereka pamit kembali ke kantor lalu aku dipindah ke ruang rawat inap. Terima kasih untuk perawat yang sudah membawakan ransel kerja dan mendorong kursi rodaku menuju kamar rawat inap. Aku terkulai lemas di ranjang pesakitan sendirian. Hanya ditemani suara televisi yang menyiarkan siaran luar negeri yang tidak terlalu kupahami. Kelelahan karena bekerja dengan pola makan yang tidak tepat membuat tubuhku bereaksi lain. Ia menjerit marah karena aku tidak menjaga asupan nutrisi yang memadai lalu akhirnya raga ini terkulai di lobby kantor. Saat berangkat
-Bukan usia, tapi kedewasaannya. Bukan harta tapi tanggung jawabnya. Dan bukan gelar tapi kebijaksanaannya.- Audrey. Jiwa jomblowatiku tersentil saat Pak Affar dengan baik hatinya menawarkan saudaranya untuk dikenalkan denganku. Dia mengatakannya begitu tenang. Tentu saja tenang, karena Pak Affar tidak memiliki niatan lain padaku karena hubungan kami sebatas atasan dan bawahan. "Tuh sama sodaranya Pak Affar. Pasti cakep orangnya." Bukannya senang mendapat tawaran itu, aku malah bad mood namun tetap menunjukkan senyum palsu terbaik. Hanya sebagai bentuk menghargai tawaran baiknya meski aku tidak tertarik dikenalkan dengan saudaranya. Buat apa? Bila tadi aku berdebar bahagia bahkan sempat besar rasa karena kedatangan Pak Affar ke kamar inapku, kini aku tidak menunjukkan pancaran kebahagiaan seperti di awal. Tawarannya untuk mengenalkanku pada saudaranya cukup membuktikan bila ia tidak memiliki secuil rasa padaku. One side love is tragic. Bagaimana mau ada rasa jika intensitas p
-Laki laki yang baik adalah laki laki yang tidak akan membiarkan orang yang disayangi disakiti orang lain, atau bahkan dirinya sendiri.- Audrey "Malam, Audrey." Aku menoleh begitu suara seksinya mengalun lembut ke dalam telingaku. Aktifitasku membetulkan selang infus pun terhenti. Lalu menatapnya lamat-lamat demi mencari pembenaran bahwa memang yang kini hadir di hadapanku adalah nyata sosoknya. Bukan ilusi atau khayalan sendiri yang sedari siang membayangkan dirinya bersama kegalauan. Karena mustahil bagiku mendapatkan hatinya. Tadi aku juga sempat berkhayal andai dia berada disini, bersamaku, menjagaku kala sakit. Tidak masalah jika bukan mama dan ayah tiriku yang datang, asalkan dia yang datang sudah lebih dari cukup. Bahkan dia adalah mood boster terbaik pilihan Tuhan. Dan kini ia duduk santai di sofa kamar rawat inapku sambil tersenyum manis. "P....Pak.... Affar?" Dia tersenyum lalu menaruh sebuah paper bag coklat agar besar. Entah berisi apa. Jika tadi ia datang bers
-Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk kucintai.- Pramoedya Ananta Toer Selera humor Pak Affar itu buruk! Mengapa? Karena dia mengajakku bermain pacu jantung. Sudah tahu aku sedang sakit tapi dia dengan tidak senonohnya berkata jika laporan keuangan yang kukerjakan mengalami masalah. Padahal sejauh ini aku selalu teliti dan detail mengerjakannya. Tetapi ujung-ujungnya ia tertawa geli meningkahi kegugupanku yang menurutnya lucu. Andai ia adalah teman satu levelku, sudah pasti akan kuguyur dengan air kencing kerbau agar tidak melucu dengan cara yang menyebalkan. "Kamu kena prank." Ucapnya dengan senyum tertahan yang menurutku sangat menyebalkan. Aku tertawa hambar. "Tidak pak. Saya sudah menduga." "Saya kemari karena tadi habis cek kadar kolesterol di lab." 'Oooh.... Cek kolesterol. Emang udah mulai penyakitan ya?' Kesalku dalam hati dengan tetap menguarkan senyum palsu. "Karena hasilnya masih lama,
-Bagi perempuan sepertiku, dari sentuhan bisa tumbuh menjadi CINTA.- Audrey Ketahuan memandangi wajah dan penampilan Pak Affar adalah sebuah kebodohan yang menggelikan. Apa lagi yang menangkap basah kelakuanku itu adalah Pak Affar sendiri. Setelah ini mau ditaruh dimana mukaku Tuhan? Pak Affar tersenyum manis karena aku tidak bisa menjawab tuduhan benarnya. Sedang aku hanya bisa menunduk malu sambil memainkan jemari. "Ini di Taman Nasional Kakadu. Lalu ini di Blue Mountain." Syukurlah ia tidak lagi membahasnya dan menunjukkan destinasi wisata yang pernah dikunjungi selama menempuh pendidikan disana. "Saya jadi ingin kuliah di luar negeri pak." Foto-foto indah itu memperlihatkan Pak Affar saat masih muda. Demi Tuhan! Tampan sekali. Bedanya dengan sekarang hanyalah bentuk rambutnya saja. Jika saat muda ia bebas mengatur model rambutnya, maka setelah bekerja dan menjadi orang dewasa ia merubah bentuk rambutnya lebih formal. Tubuhnya sedikit kurusan dari pada sekarang. Pak Affar
- Perempuan itu tidak butuh lelaki sempurna, melainkan butuh laki laki yang menjadikannya satu satunya ratu di dalam hati.- Audrey Empat hari aku dirawat dirumah sakit dan sekarang diperbolehkan pulang, dan kata dokter aku harus menjaga pola makan agar tidak kambuh lagi. Pekerjaan adalah prioritas tapi kesehatan di atas segala-galanya. Aku wajib menjaga diri agar tidak merepotkan diri sendiri dan Amelia khususnya. Dia yang merawatku selama sakit dengan mengorbankan kuliah dan kekasihnya. Bersama Amelia aku membereskan semua pakaian dan kebutuhanku selama opname ke dalam tas besar. Rencananya, aku akan pulang ke kos mengendarai taksi online dan Amelia membawa motorku kembali ke kosan. "Udah selesai semua kan Mel?" "Beres. Oh ya, gimana sama Pak Affar?" Tanyanya kepo. "Bener apa kata lo. Gue aja yang terlalu berharap lebih. Lagian gue yakin dia udah nikah Mel." "Yaaah.... Nggak jadi makan enak dong." Aku melemparnya dengan bantal rumah sakit. Bagaimana bisa ia mengharapkanku jad
-Waktu yang akan menjelaskan dengan baik ketulusan seseorang.- Tere Liye Untuk saat ini, bertanya pada Samsul tentang siapa Pak Affar adalah jawaban terbaik dari pada mencari informasi melalui rekan kantor. Tingkat kebocorannya pun tidak ada. Berbeda dengan mulut para pengghibah yang suka membicarakan popularitas dan mimpi bersandingan dengan salah satu petinggi kantor. "Apa Pak Affar sudah menikah?" Samsul tersenyum. "Saya tidak berhak mencampuri urusan Pak Affar. Kalau mbak ingin tahu bisa tanya langsung pada Pak Affar." "Kenapa Pak Samsul tidak mau jawab?" "Maaf mbak, Pak Affar adalah majikan saya. Tidak berhak bagi saya untuk membicarakan beliau tanpa persetujuan darinya." "Tapi sekedar menjawab sudah atau belum menikah bukan hal besar. Kita juga tidak membicarakan keburukan beliau." Samsul menggeleng. "Sekecil apapun pembicaraan kita, tetap saja membicarakan beliau." "Pak Affar sudah menikah ya?" "Silahkan tanya sendiri." "Aku kasih dua ratus ribu." "Terimakasih. T
Amelia kelincutan tidak jelas ketika mengangkat panggilan dari ponselku. Wajahnya memerah karena malu. "Siapa Mel?" Tanyaku sambil berbisik. "Big boss lo nelfon." Bisik Amelia. Amelia mengangsurkan ponselku sedang aku bingung dengan big bos yang ia maksud. Pak Affar kah? "Pak Affar." Ucapnya berbisik balik. Sadar bahwa itu panggilan dari Pak Affar yang sudah berbaik hati mengantarku pulang hingga menawarkan kartu kreditnya untuk berbelanja kebutuhanku pascaopname, aku buru-buru mengusap air mata bekas kekesalan hati karena ulah Alex. "Haa.....halo pak?" Suaraku sedikit bergetar dan memegang ponsel dengan kedua tangan. "Audrey, udah lebih baik?" Tanyanya lembut. "I...iya pak." Keputusan Pak Affar menelfonku di situasi seperti ini cukup membuatku salah tingkah tanpa persiapan yang cukup. Atasanku yang satu ini sangat suka sekali muncul secara tiba-tiba dan menghilang tanpa berkata apa-apa. Otakku kembali mencerna panggilan mendadak darinya padahal sejak di dalam mobilnya, ia t