Alya menikah dengan Arkan, seorang supir pribadi yang gajinya pas-pasan. Mereka menikah karena cinta meski keluarga Alya menentang keras. Setelah dua tahun menikah, Alya mulai merasa malu dengan status suaminya dan sering bertengkar soal uang. Suatu hari, Alya tanpa sengaja melihat Arkan keluar dari mobil mewah dan disambut hormat oleh puluhan orang berbaju jas. Ternyata Arkan adalah pewaris tunggal Dinastri Group, konglomerat terbesar di Indonesia! Selama ini Arkan menyamar untuk mencari cinta sejati yang tidak mengincar hartanya. Sekarang Alya harus menghadapi kenyataan pahit: dia sudah menyakiti suami yang sangat mencintainya. Arkan yang kembali ke dunia aslinya kini dikelilingi banyak wanita cantik dan berkelas. Akankah Arkan memaafkan Alya? Atau pernikahan mereka akan berakhir saat Alya baru menyadari siapa sebenarnya pria yang selama ini dia remehkan?
View MoreAlya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berani. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Jika Arkan tidak mau menemuinya di kantor, maka dia akan mencari cara lain.
Dia mengingat-ingat percakapan dengan Wulan beberapa hari lalu. Asisten Arkan pernah menyebut bahwa setiap Jumat malam, Arkan selalu pergi ke sebuah restoran Jepang di bilangan Senopati untuk makan malam sendirian. Itu adalah tradisinya sejak dulu. Alya melirik kalender. Hari ini Jumat. Dengan tekad bulat, Alya bersiap. Dia mengenakan dress hitam sederhana yang dulu dibeli Arkan untuknya saat anniversary pertama mereka. Rambutnya dia biarkan terurai, seperti yang Arkan suka. Makeup tipis, natural. Pukul tujuh malam, Alya sudah tiba di restoran Jepang bernama "Sakura No Yume". Restoran eksklusif dengan pemandangan kota yang indah. Dia duduk di bar, mengamati setiap tamu yang masuk. Pukul setengah delapan, pintu restoran terbuka. Arkan masuk dengan jas abu-abu gelap, tanpa dasi, kancing atas dibuka sedikit. Rambutnya tertata rapi. Auranya... berbeda. Ini adalah Arkan yang sesungguhnya. Arkan sang CEO. Bukan Arkan sang supir. Alya menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Arkan berjalan ke meja langganannya di pojok, dekat jendela. Dia belum menyadari kehadiran Alya. Pelayan langsung melayani dengan hormat, sudah hafal pesanan tetap Arkan. Alya bangkit. Kakinya terasa berat, tapi dia memaksa dirinya melangkah mendekati meja Arkan. "Boleh aku duduk di sini?" tanya Alya dengan suara bergetar. Arkan yang sedang membuka menu mendongak. Matanya melebar sedikit. Terkejut. Kemudian ekspresinya kembali datar. "Ini tempat umum. Silakan," jawabnya dingin tanpa menatap Alya. Alya duduk di hadapan Arkan. Tangannya gemetar di atas meja. "Terima kasih untuk bunga-bunganya. Untuk surat... untuk semuanya." Arkan tidak menjawab. Dia fokus pada menu, seolah Alya tidak ada. "Arkan, kumohon. Bicaralah denganku," pinta Alya. Air matanya mulai menggenang. "Apa yang masih perlu dibicarakan?" tanya Arkan akhirnya. Suaranya datar tapi ada nada lelah di sana. "Kamu sudah dapat apartemen. Kamu sudah dapat uang bulanan. Kamu tidak akan kekurangan apa-apa. Itu cukup, kan?" "Tidak cukup," jawab Alya tegas. "Aku tidak butuh itu semua. Aku butuh kamu." Arkan akhirnya menatap Alya. Matanya tajam, menusuk. "Sekarang kamu butuh aku? Setelah tahu aku kaya? Atau kamu sudah butuh aku sejak aku masih jadi supir?" Pertanyaan itu menohok. Alya terdiam sejenak. Dia tahu dia tidak bisa berbohong. "Aku... aku tidak bisa bilang aku tidak materialistis," jawab Alya jujur. Air matanya mulai jatuh. "Aku memang salah. Aku memang egois. Aku memang hanya memikirkan uang saat itu. Tapi sekarang... sekarang aku menyadari betapa bodohnya aku. Aku kehilangan pria yang paling berharga dalam hidupku. Dan itu bukan karena kamu kaya atau miskin. Tapi karena kamu adalah Arkan. Arkan yang selalu sabar. Arkan yang selalu perhatian. Arkan yang mencintaiku dengan tulus." Arkan diam. Rahangnya mengeras. "Aku tahu aku tidak pantas minta maaf," lanjut Alya sambil menangis. "Aku tahu aku sudah menyakitimu. Tapi tolong... tolong beri aku kesempatan membuktikan bahwa aku berubah. Bahwa aku mencintaimu. Bukan hartamu." Sebelum Arkan sempat menjawab, pintu restoran terbuka lagi. Clarissa masuk dengan langkah percaya diri. Matanya langsung menemukan Arkan. Wajahnya cerah. "Arkan! Aku tahu kamu pasti di sini!" serunya sambil berjalan mendekat. Clarissa berhenti saat melihat ada wanita duduk di hadapan Arkan. Matanya menyipit, mengamati Alya dari atas ke bawah. "Siapa ini?" tanya Clarissa dengan nada meremehkan. "Istriku," jawab Arkan datar. Clarissa tertawa. "Istrimu? Yang kamu sembunyikan selama ini? Wah, tidak heran kamu sembunyikan. Dia... biasa sekali." Alya menunduk. Kata-kata Clarissa memang benar. Dia biasa. Tidak secantik Clarissa. Tidak sekaya. Tidak berkelas. "Clarissa, pergi," perintah Arkan dengan nada dingin. "Kenapa? Aku kan cuma mau—" "Pergi. Sekarang." Kali ini suara Arkan mengeras. Auranya berubah menjadi sangat intimidatif. "Dan jangan pernah ganggu aku lagi. Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak akan pernah menikahimu. Tidak dulu, tidak sekarang, tidak selamanya." Clarissa terdiam. Wajahnya memerah, entah karena marah atau malu. Dia melirik Alya dengan tatapan benci sebelum akhirnya berbalik dan keluar dengan langkah menghentak. Keheningan menyelimuti meja mereka. Pelayan datang dengan pesanan Arkan tapi langsung mundur melihat situasi yang tegang. "Kamu tidak perlu membelaku," kata Alya pelan. "Dia benar. Aku memang biasa. Tidak pantas untukmu." Arkan menatap Alya lama. Kemudian dia menghela napas panjang. "Alya, kamu tahu apa yang paling menyakitkan bagiku?" tanya Arkan. Suaranya lebih lembut sekarang. "Bukan karena kamu mengeluh soal uang. Bukan karena kamu malu padaku. Tapi karena kamu tidak pernah percaya padaku. Aku bilang aku bekerja keras untukmu, tapi kamu tidak percaya. Aku bilang semuanya akan baik-baik saja, tapi kamu tidak percaya. Kamu... tidak pernah mempercayaiku sebagai suami." Air mata Alya mengalir deras. Kata-kata Arkan benar. Dia memang tidak pernah percaya. "Maafkan aku," bisik Alya. "Aku... aku benar-benar menyesal." Arkan meraih serbet dan mengulurkannya ke Alya. Gesture kecil itu membuat Alya semakin menangis. Bahkan setelah semua yang terjadi, Arkan masih peduli. "Aku butuh waktu, Alya," kata Arkan akhirnya. "Aku tidak bisa langsung memaafkanmu. Lukanya... terlalu dalam. Tapi..." dia berhenti sejenak, "aku akan memberimu kesempatan. Satu kesempatan. Buktikan padaku bahwa kamu berubah. Bahwa kamu mencintaiku, bukan karena uangku." Alya mendongak dengan mata berbinar. "Aku akan buktikan. Apapun yang kamu minta, akan aku lakukan." "Kita mulai dari awal," kata Arkan. "Kita pacaran lagi. Tanpa status menikah dulu. Aku ingin mengenalmu lagi. Alya yang sebenarnya." Alya mengangguk cepat. "Aku setuju. Apapun." Arkan tersenyum tipis untuk pertama kalinya. Senyum yang membuat hati Alya menghangat. "Makan malam?" tawarnya sambil mendorong menu ke arah Alya. "Ya," jawab Alya sambil tersenyum di antara air matanya. "Makan malam." Ini adalah awal yang baru. Awal yang penuh dengan harapan dan kesempatan kedua. ---Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang."Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar."Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman.""Kita mau kemana?""Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum."Baik. Aku tunggu."Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal.---Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi.Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. Seperti Ar
Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar. "Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman." "Kita mau kemana?" "Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum. "Baik. Aku tunggu." Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal. --- Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi. Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. S
Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar. "Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman." "Kita mau kemana?" "Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum. "Baik. Aku tunggu." Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal. --- Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi. Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. S
Alya menatap layar laptop dengan frustasi. Klien terakhirnya baru saja menunda pembayaran untuk ketiga kalinya bulan ini. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Arkan, suaminya, belum juga pulang."Dasar supir miskin," gumam Alya sambil menutup laptop dengan kasar. Dia bangkit dari sofa dan berjalan ke jendela. Hujan deras membasahi kaca jendela apartemen kecil mereka di lantai tiga.Suara pintu terbuka membuat Alya menoleh. Arkan masuk dengan senyum lelah di wajahnya. Kemeja putihnya sedikit kusut, rambut hitamnya basah kena hujan. Di tangannya ada kantong plastik berisi nasi uduk, makanan kesukaan Alya."Sayang, maaf aku telat. Bos minta antar ke Surabaya, jadinya—""Telat lagi?" sela Alya dengan nada tinggi. Dia melipat tangan di depan dada. "Kamu tau nggak sih berapa tagihan listrik bulan ini? Hampir satu juta! Sementara gaji kamu cuma berapa? Lima juta? Itu belum dipotong bensin mobilmu yang butut itu!"Arkan meletakkan kantong plastik di meja dengan perlah
Pagi itu, Alya terbangun dengan mata sembab. Dia melirik ke samping. Tempat tidur kosong. Arkan sudah pergi sejak subuh, seperti biasa. Tidak ada pesan, tidak ada sarapan di meja seperti yang dulu sering dilakukan Arkan.Alya bangkit dengan perasaan bersalah. Kata-katanya semalam memang terlalu kejam. Tapi dia juga frustrasi. Bagaimana bisa tidak? Kehidupan mereka stagnan. Tidak ada perkembangan. Sementara teman-teman seangkatannya sudah punya rumah sendiri, mobil baru, bahkan ada yang mulai traveling ke luar negeri.Ponsel Alya berdering. Nama "Mama" muncul di layar. Dia menghela napas panjang sebelum mengangkat."Alya, kamu kapan mau sadar?" suara ibunya langsung menyerang tanpa basa-basi. "Papa kemarin ketemu temannya yang punya perusahaan konstruksi. Anaknya masih single, pengusaha muda, tajir! Papa bisa atur kenalan kalau kamu mau cerai dari si Arkan itu.""Mama, aku sudah menikah," jawab Alya lemah."Menikah sama orang miskin! Percuma! Kamu masih muda, Alya. Dua puluh lima tahun
Alya pulang ke apartemen dengan pikiran kacau. Sepanjang perjalanan naik ojek online, otaknya terus bekerja keras mencerna semua informasi yang baru saja didapatnya. Arkan adalah milyarder. Suaminya yang selama ini dia remehkan ternyata pewaris konglomerat terbesar di Indonesia.Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan. Kenapa Arkan menyamar? Kenapa dia berpura-pura jadi supir miskin? Apakah ini semacam permainan untuknya? Atau ada alasan lain?Alya membuka pintu apartemen dengan tangan gemetar. Ruangan kosong dan sepi. Dia melempar tas ke sofa dan langsung membuka laptop. Jari-jarinya mengetik dengan cepat: "Arkananta Mahesa Widjaja".Ratusan hasil pencarian muncul. Artikel demi artikel tentang Arkan. Forbes Indonesia. Majalah bisnis. Berita akuisisi perusahaan. Foto-foto Arkan dalam berbagai acara bisnis bergengsi.Di salah satu foto, Arkan berdiri di samping Presiden saat peresmian pabrik baru. Di foto lain, dia berjabat tangan dengan pengusaha terkenal dunia. Ada juga foto Arkan mem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments