Enjoy reading... gantinya up hari sabtu
"Gimana caranya, Tante?" "Kamu coba sapa dia tiap hari. Tapi jangan sakit hati sama setiap ucapannya yang selalu menusuk hati. Kalau sama orang baru yang kebetulan dia kurang suka, Rado pasti ngomongnya nyelekit, Sha." Aku mengangguk paham sembari mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat dia menemuiku di kota. "Dia juga sedikit lebih ketus. Nggak terbuka. Dan nggak pandai bersosialisasi." Tante mengangguk. "Kunci biar Rado luluh itu sebenarnya mudah, jangan terlalu nunjukin perasaan sayangmu ke Kian. Buat dia ngerasa seolah-olah kamu cuek sama kehadiran Kian jadi dia nggak merasa tersaingi sama siapapun." "Jadi itu alasan kenapa semalam Kian baru berani nganter aku ke kamar setelah Rado sama Tante?" Tante mengangguk. "Sampai kamu dititipin ke Alfonso waktu kita mampir turun ke mini market semalam. Rado senang karena Kian seolah-olah nikahin kamu demi anak kalian, bukan karena cintanya ke kamu. Sebenarnya ini adalah bagian dari drama yang Kian buat demi mengakurkan kamu sama R
"Senyum katamu?" Aku mengangguk dengan tetap memberikan satu senyum terbaik. "Hanya sebuah senyum, lalu kamu boleh masuk." "Siapa kamu nyuruh aku senyum heh?!" Sebenarnya aku lumayan takut menghadapi Rado yang tidak kukenal seperti apa perangainya. Aku takut jika ia merasa tertekan lalu melakukan hal yang membahayakanku dan janinku. "Aku... kakakmu lah, Do. Masak teman sekolah kamu sih?" Nada bicaraku kubuat seriang mungkin meski jantungku berdegub tidak karuan. "Kakak?" Dia mendengus tidak habis pikir lalu berdecih. "Cih... sok akrab!" "Rado... Rado... sebutan kakak itu apa selalu ditujukan sama saudara yang lebih tua? Nggak kan?! Sebutan kakak itu juga bisa diberikan sama orang yang baru dikenal. Kamu ih kurang piknik." "Urusanku! Sekarang kamu minggir!" "Aku jalan kesini tuh pake perjuangan loh. Hamil delapan bulan tuh berat dipakai jalan, lalu bukain kamu pintu tapi kamu kasih raut jutek. Ya aku nggak terimalah. Aku mau dikasih senyum seenggaknya." "Nggak ada! Minggir!" B
"Rado, sarapan dulu yuk?" Hari ini aku sengaja menyapa Rado di kamarnya sekaligus memberitahu jika sarapan sudah siap disajikan. "Nggak usah sok baik." Ucapnya seraya membetulkan dasi seragamnya. "Mau aku bantu pasangkan?" "Jangan berani-berani dekati aku!" Dia berucap dengan nada awas nan tegas. Jika sudah begini aku tidak boleh melewati batas atau Rado bisa lebih marah padaku. Kebaikan yang belakangan ini kutunjukkan tidak membuahkan hasil sama sekali. Justru Rado terlihat makin tidak suka dan marah padaku. "Gimana, Sha?" Tanya Tante yang mendapatiku kembali ke dapur dengan wajah tanpa senyuman. "Rado kok susah dilunakin hatinya ya, Tan?" "Maaf ya, Sha. Tante yakin, Rado bakal luluh lihat kebaikan kamu tiap hari. Ini masih jalan beberapa hari aja, kan?!" Aku mengangguk lalu duduk di kursi meja makan, dan tidak lama kemudian Rado bergabung dengan penampilannya yang sudah segar dan tampan. "Ini susumu, Do." Aku mengangsurkan segelas susu coklat hangatnya. Dia meneriman
"Sha?" "Iya, Tante." Aku yang tengah memainkan game di ponsel sedikit terkejut karena tepukan halus di pundakku. Ternyata Tante memasuki kamar Kian tanpa kusadari. "Kian bilang mau ajak kamu USG." "Sekarang?" Tanyaku memastikan. "Iya, dia udah bikin janji sama dokter kandungan." Bagaimana aku tidak terheran-heran jika yang membuat janji bertemu dokter kandungan adalah Kian. Bukannya aku. "Jangan bengong. Dulu waktu Amanda hamil, Kian yang daftarin juga. Sekarang kamu yang hamil, dia juga yang daftarin." "I... iya, Tante." "Kian bilang, ada taksi online yang udah dia pesan buat kamu. Nanti kamu diturunin di gapura perumahan. Kondisinya nggak memungkinkan kalau kamu naik mobil Kian di depan rumah. Rado bisa ngamuk-ngamuk." Seulas senyum kusuguhkan karena aku tahu Tante sebenarnya tidak enak hati padaku, tapi bagaimana lagi. Sudah sepantasnya, aku yang 'waras' mengalah. "Taksinya sebentar lagi datang, Kian juga udah siap-siap berangkat." "Kok Kian nggak bilang sendiri ke aku,
"Sha, mau makan apa?" Kian bertanya ketika kami perjalanan pulang ke rumah setelah USG. "Kian, boleh aku tanya?" "Apa?" Kali ini dia tidak lagi menggenggam tanganku seperti yang dia lakukan ketika berangkat ke klinik kandungan. Sungguh aku seperti hanya ditarik ulur olehnya. "Kenapa tadi kamu lebih banyak diem? Ada yang salah sama USG-nya?" Kian segera menepikan mobilnya ketika aku bertanya demikian. Rupanya ini adalah pembahasan yang cukup menyentil perasaannya. "Kamu perhatiin aku?" Aku mengangguk pelan tanpa melihat wajahnya. "Kamu mikir apa kalau boleh tahu?" "Aku seneng kamu akhirnya perhatian sama aku." Aku menoleh lalu mendapatinya sedang menatapku dengan senyum bahagianya. "Maksudnya?" "Aku sengaja pura-pura sedih biar aku tahu kamu perhatiin aku apa nggak." Siapa yang tidak kesal mendapati jawaban seperti itu? Reflek tanganku memukuli lengannya berulang kali hingga Kian tertawa terbahak-bahak sedang aku terus meluapkan amarah dan kekesalanku karena dikerjai oleh
Tidak ada perubahan. Hubunganku dengan Rado justru makin memanas. Bahkan dengan terang-terangan di suatu sarapan, dia memakiku dengan kesal karena bersikap sok manis padanya. Padahal aku hanya menyiapkan susu coklat kesukaannya. "Jangan buatin aku susu coklat sama tangan burikmu itu!" Setelah menyiramkan susu coklat itu ke wajahku, dia membanting gelas kaca itu tepat di sisi kiri kakiku. Betapa tidak bergetar tubuhku karena diperlakukan dengan tidak baik oleh Rado. "Cukup Rado!" "Kenapa?! Mama mau ngaduin ini ke Mas Kian? Aduin aja! Atau aku bakal buat dia nangis darah!" Lalu pada suatu hari, ia mengunci pintu rumah ketika aku sedang menyiram tanaman di pagi hari. Kebetulan Tante sedang keluar dan jadilah aku menunggu di teras rumah hingga Tante datang siang hari. Padahal aku sangat lapar dan belum meminum vitamin dari dokter. Dan ujungnya dua hari yang lalu, ketika Rado mengambil semua pakaianku di jemuran lalu memasukkannya ke keranjang sampah. Kemudian mengikat ujung wadah
Saat berjalan dengan membawa tas jinjing berisi pakaian saja, tiba-tiba kandunganku yang sudah mendekati hari perkiraan lahir bereaksi lain. Aku masih ingat jika perkiraan lahirnya masih minggu depan. Pikirku ini hanya kram biasa karena stres yang sedang kualami. Sedikit tertatih, aku memaksa terus berjalan pelan menuju sebuah pos penjagaan kompleks perumahan yang kosong. Syukurlah aku bisa mendudukkan diri disana sambil mengatur nafas dan hati yang carut marut. "Ya Tuhan, kuatkan aku. Aku mohon. Beri aku kekuatan menjalani ini bersama anakku." Ingin rasanya aku menangis tapi itu percuma karena aku tidak mau menoleh ke belakang meski Kian, Tante, bahkan kedua orang tuaku meneriakiku untuk kembali. Semua luka itu, aku lelah merasakannya. "Apa gue minta tolong Alfonso ya?" Gumamku dengan ringisan di bibir. Astaga, perutku mulai terasa sangat aneh dan jujur saja aku takut melahirkan saat perjalanan menuju kos Amelia. "Sakitnya kok begini ya? Aduh..." Kekhawatiranku makin menjad
"Sus, tolong jangan diangkat." Ucapku lirih. Untuk bersuara saja, aku sangat irit. Tenaga yang tersisa di tubuh, serta kesadaran yang harus kujaga penuh, harus kukerahkan demi buah hatiku. Walau sakit di perut tiada terkira, bahkan seperti dikuliti sungguhan, setidaknyan aku harus kuat. Aku ingin melahirkan anakku dengan selamat bahkan ketika dia lahir aku berharap masih memiliki tenaga untuk menimangnya. "Maaf, Bu Audrey. Saya pernah melahirkan, jadi saya tahu bagaimana susahnya jika harus mandiri setelahnya. Tidak mungkin suster yang berjaga akan terus fokus pada Ibu Audrey, karena kami juga memiliki tugas yang lain." Akhirnya panggilan itu dihubungkan suster lalu meloudspeaker dan mengarahkannya tepat dihadapanku. "Halo, Drey?" "Ha... halo, Mel." "Ada apa tadi nelfon? Sorry gue baru kelar rapat." Suster kembali mengangguk meyakinkan jika aku harus mengatakan kondisiku pada Amelia. "Mel, sorry kalau gue ganggu." Ucapku masih lirih karena berbarengan dengan perih yang ter