Aku cukup bangga dengan Alexey. Meskipun mabuk, ia bisa berpikir cepat pada situasi itu. Kusir beserta kereta kudanya sudah sampai di hadapan kami, di pelataran Istana Santo Peterkov. Pesta belum usai dan malam masih dingin. Jalanan petang ini juga masih ramai. Namun di sinilah kami berdua, hendak pulang ke wastu kami di tengah kota.Alexey menggandengku. Ia agak sempoyongan. Sesaat kami masuk ke dalam kereta kuda, aku langsung bersemangat memujinya."Kau hebat sekali! Apa kau lihat wajahnya tadi? Dia menggelikan, haha!"Kudengar pecutan kusir di udara kosong. Kompak kuda-kuda kami berkelotak menjejak ke paving pelataran istana. Suaranya renyah diiringi gemuruh roda kereta kuda yang bergulir. Aku menunggu apa balasannya, namun Alexey malah memelukku. Cahaya kota remang masuk ke jendela kereta kuda kami. Alexey mabuk. Wajahnya memerah terpejam. Tubuh lelaki ini hangat. Ia mengendusku, nafasnya yang panas menyapu kulit di tengah hawa dingin ini. Aku bungkam.
Prinsessa Sofia Romanov.Aku tak terlalu melihatnya tadi saat kami semua memanjatkan doa-doa pujian bersama para uskup. Tak tahu perempuan itu ada di mana. Tapi bagian yang menyebalkan, disinilah ia, membuat heboh satu aula pesta. Kurasa memang itulah perannya di kekaisaran ini. Membuat orang bergembar-gembor akan kecantikannya, akan kesempurnaannya, akan kepolosannya.Aku muak dengan wanita ini.Semua bangsawan terkesiap. Dansaku dan Alexey telah usai. Berbeda denganku yang telah mematri memandang si perempuan sempurna kekaisaran seperti bangsawan lainnya, Alexey tak peduli dengan apa yang ditatap oleh orang-orang."Kau lihat apa?" tanyanya sembari mengarahkan daguku agar aku berpaling padanya."Itu ... Sofia datang," lirihku.Alexey mengernyit. Air mukanya langsung berubah enggan.Sofia Romanov, ini seperti de ja vu. Aku seakan melihat lagi pesta debutanteku dua belas tahun lalu. Seperti ini. Ya ... seperti ini.Ia menuruni t
Keluarga Tsar sudah berdiri di tempat mereka di atas sebuah panggung kecil berkarpet merah. Para uskup membawa lilin-lilin, kemudian paduan suara mulai menyanyikan kidung pujaan kepada Tuhan. Diikuti oleh doa-doa dari kitab suci oleh uskup secara bergantian. Berikutnya salah satu dari uskup itu membacakan doa khusus untuk keluarga Tsar. Lagu Bozhe, Tsarya Khrani (Ya Tuhan, Lindungilah sang Tsar) menggema di seluruh aula, membuat bulu kuduk berdiri karena seluruh keagungan dan kekaguman di udara ini.Kami membungkuk, sesekali menggerakkan tangan dan menangkup untuk berdoa, mengikuti arahan uskup yang ada di depan. Itu kami lakukan berkali-kali selama doa dibacakan. Mengucap syukur dan berbagai pujian kepada Tuhan.Aku berdiri cukup pas untuk nyaris berada di depan barisan, aku bisa menyaksikan keempat dari mereka, keluarga Tsar dengan cukup jelas.Tsar Nikolai Romanov, jauh lebih tua dari Alexey dan Stepan, jenggot dan kumisnya tertata rapi. Ia terlihat bagai lel
Aku tidak tahu bagaimana orang lain berpikir. Aku bukan orang yang begitu relijius. Namun Vera Durnovko, ia terlihat pucat."Kakak tidak apa-apa?"Kami baru saja selesai dan keluar dari Katedral Kazan. Pelataran Biara Alexander Nevakov saat ini cukup ramai. Para bangsawan berbondong-bondong keluar dari bangunan tua nan megah itu. Aku menggandeng Vera yang sepertinya bisa runtuh suatu ketika. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya.Ia menggeleng pelan. "Aku ... tidak tahu, Anya," Vera melirih. Pagi ini memang dingin. Aku khawatir jikalau kakak iparku itu sakit. "Sebaiknya kita lekas pulang," kataku. Kepalaku memburu kesana kemari berharap bisa segera menemukan Stepan dan Alexey."Anya ... apakah kita ini adalah orang-orang yang tersesat?" tanyanya. Itu menghentikanku. Aku menatap dalam pada Vera. Ia cemas, matanya berkaca-kaca dan takut. Aku sendiri, jujur saja, tidak tahu harus menjawab apa.Dulu kami memang sering datang ke gereja di dekat wastu, di dekat pabrik. Bersamaan dengan war
Dia adalah orang melarat. Si Rasputin itu. Konon ia datang dari tempat yang sangat jauh di timur, di dataran ini. Entah apa pekerjaannya dulu, mungkin petani miskin seperti kebanyakan orang. Yang jelas dia bukan bangsawan, atau orang terhormat macam ningrat, juga bukan pedagang. Beberapa hari di ibukota, dan aku mulai mendengar sekian rupa kabar burung tentang asal muasal lelaki yang dipanggil nabi oleh sebagian orang. Konon ia adalah orang suci, dia bisa melihat masa depan, dosa dan kesakitan orang-orang. Yang lain menyebutnya penipu. Alexey sudah jauh lebih baik. Berkat dokter, memar di tubuh dan wajahnya sudah mulai nyaris sepenuhnya hilang. Siang ini kami berempat di kediaman, minum teh. Bukannya tidak ingin pulang ke Dukedome, ada sesuatu yang menahan kami. "Perayaan tiga ratus tahun pemerintahan Dinasti Romanov ya ...," gumam Alexey. "Tiga ratus tahun. Bisa kau bayangkan? Kekaisaran sebesar ini dimiliki oleh satu keluarga. Kalau bukan karena orang-orang setia seperti ki
Aku menghela napas. Aku tidak bisa pura-pura terkejut. Aku sudah tahu betul itu. Tetapi ... mengapa mendengarnya langsung dari bibir Alexey membuatku merasa sakit hati. Aku berusaha keras menahan perasaanku ini di depan Alexey. Aku berusaha tegar."Aku bersumpah demi Tuhan, Anya. Aku tidak pernah menyakitinya. Dia memutar semua itu di pengadilan, di pergaulan kelas atas," lirih Alexey.Kemudian, suamiku itu mulai bercerita.Prinsessa Sofia Romanov. Anak dari mendiang Boris Romanov, yang seharusnya menjadi pewaris tahta Kekaisaran Levron. Ayahnya meninggal karena sakit, kemudian ibunya yang depresi pun bunuh diri. Kejadian itu menyisakan Sofia Romanov seorang. Pamannya, yakni Tsar Nikolay Romanov pun mengambilnya untuk diasuh. Seperti seharusnya, karena mereka tidak punya anak laki-laki, maka tahta pun disematkan pada Tsar Nikolay Romanov. Sedari kecil Alexey sudah mengenalnya saat berumur sepuluh tahun. Dia ingat betul gadis kecil itu. Pendiam dan polos. Sofia kecil lebih suka menyendi