Dicap sebagai putri palsu keluarga Adipati Dirgantara, Elena hidup dalam bayang-bayang kebencian dan penghinaan. Tiga tahun ia menanggung siksaan, hingga akhirnya kepalanya dipenggal oleh orang yang paling ia cintai, yaitu Putra Mahkota Daniel karena fitnah dari sang putri asli, Kanaya. Tapi takdir memberinya kesempatan kedua. Elena terlahir kembali sebelum semuanya hancur, Elena tak lagi gadis lemah yang rela diinjak. Ia akan meninggalkan keluarga Adipati yang kejam, mencari keluarga kandungnya yang sesungguhnya, dan menuntut balas pada mereka yang pernah menghancurkannya.
View More“Pembunuh!”
“Wanita jahat! Hukum dia!” “Penggal kepalanya!” Suara-suara itu bergema tajam di telinga, bagaikan dengungan ribuan lebah. Setiap teriakan disertai tatapan kebencian, hinaan, dan jijik yang menghujam lebih tajam daripada pedang mana pun. Di tengah lapangan eksekusi, seorang gadis muda berdiri dengan tangan terikat ke belakang, rambut panjangnya kusut, hanfu yang dikenakannya jauh dari kata layak. Gadis itu akan dihukum, karena kesalahan yang tidak dilakukannya. Mencelakai Putri Kanaya, dengan mengirimkan bandit pada gadis itu untuk diperkosa, untungnya Putra Mahkota Daniel datang tepat waktu menyelamatkan gadis itu. Ini semua telah direkayasa oleh seseorang. Elena memandang sekeliling, mencari satu tatapan iba sekadar bukti bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian di dunia ini. Namun yang ia temukan hanyalah tatapan kebencian. ‘Aku benar-benar sendirian?’ batinnya dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak ada keluarga Adipati Dirgantara, tidak ada orang yang mencintainya. Hanya orang-orang yang menunggu kematiannya dengan senyum lebar. Di ujung pandangan, algojo mengangkat pedang besar yang memantulkan sinar matahari. Bilahnya terlihat berkilau dan tajam. ‘Jadi sampai di sini jalanku?’ batin Elena. Elena menutup mata rapat, kini ia pasrah. Sebuah bilah pedang menyentuh kulitnya. Crash! Seketika semuanya terlihat gelap. "Tidak!" “Hosh! Hosh!” Elena terbangun dengan teriakan tertahan. Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi kening. Tangannya refleks meraih lehernya masih utuh, tanpa luka, tanpa darah. Jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah. Pintu kamar terbuka dengan cepat, seorang gadis pelayan berambut cokelat masuk tergesa-gesa mendengar teriakan dari dalam. “Nona! Apa yang terjadi?!” serunya panik, matanya melebar melihat nona mudanya menggigil di atas ranjang. Elena menoleh cepat, pandangannya langsung terpaku. “Cani?” suaranya serak, nyaris tidak percaya apa yang dilihatnya. Pelayan itu berhenti di ambang pintu. “Iya, Nona. Ini aku. Kenapa? Anda terlihat sangat pucat. Apa hari ini Nona kurang sehat?” tanyanya dengan khawatir. Elena tidak menjawab, hanya menatap pelayan muda itu lekat-lekat, seolah takut gadis itu akan menghilang kapan saja. Di kehidupan sebelumnya, Cani pelayan setianya telah meneguk racun untuk menggantikan dirinya, gadis itu mati di pelukannya, tetapi sekarang? “Kau masih hidup?” tanya Elena, suaranya bergetar. Cani mengerutkan kening bingung. “Tentu saja, Nona. Apa nona bermimpi buruk?” Elena mengabaikan pertanyaan itu, tangannya kembali meraba leher, memastikan sekali lagi bahwa kepalanya tidak terpisah. Semuanya nyata, panas tubuhnya, detak jantungnya, semuanya hidup. “Cani!” Elena menatapnya dengan tatapan penuh kegelisahan, “tahun berapa sekarang?” Cani terdiam heran, namun tetap menjawab, “Tahun 261 M, Nona. Kenapa bertanya seperti itu?” Dunia seakan berhenti berputar, Elena menahan napasnya. Tahun 261 M itu adalah tiga tahun sebelum kematiannya. Hari ketika Kanaya datang ke rumah Adipati Dirgantara untuk pertama kalinya, hari ketika segalanya mulai runtuh. Mata Elena membulat sempurna. ‘Aku … aku kembali? Dewa apakah ini kesempatan kedua?’ batinnya berdegup kencang. “Nona?” Cani melangkah mendekat, pelayan itu bertanya kembali, “Apa Anda—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Elena tiba-tiba menarik pelayan itu ke dalam pelukannya. “Cani,” bisik Elena. Tangis Elenaa pecah, penuh rasa kehilangan yang baru saja dihapus oleh keajaiban. “Kau hidup … kau benar-benar hidup.” Cani membeku, kaget dengan pelukan hangat yang tiba-tiba itu. “Nona apa yang sebenarnya terjadi? Anda jangan menakutiku.” Elena menahan air mata yang nyaris jatuh. Di kehidupannya yang lalu, Cani mati, kini ia bersumpah dalam hati tak akan membiarkan hal itu terulang. “Tidak apa-apa,” kata Elena dengan suara bergetar, mencoba tersenyum. “aku hanya sangat bersyukur.” Cani menatap wajah nona mudanya yang pucat, masih diliputi kebingungan. “Nona harus menenangkan diri. Adipati memerintahkan agar Anda bersiap ke aula utama. Katanya pagi ini ada tamu penting.” Ucapan Cani itu menghantam kesadaran Elena. Aula utama, ingatan masa lalunya melintas jelas di ingatannya. Hari ini adalah hari Kanaya putri kandung Adipati Dirgantara akan datang. Hari di mana dirinya dipaksa menyerahkan paviliun pribadinya, fi kehidupan lalu, ia menolak dengan keras, dan berakhir dihukum. Tapi kini Elena menarik napas panjang, tidak lagi ia menjadi bodoh. Ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Elena melepaskan pelukan pada Cani dan menatapnya penuh tekad kuat. “Baik. Bantu aku bersiap.” Cani mengangguk, masih ragu namun tetap patuh. “Ya, Nona. Saya akan menyiapkan air hangat lebih dulu.” Saat Cani bergegas ke kamar mandi. Elena menatap bayangan dirinya di cermin besar. Gadis berambut hitam panjang itu dengan mata biru kehijauan menatap balik. Di balik kelembutan wajahnya, kini terpantul sesuatu yang baru, tekad keras yang lahir dari kematian. Elena menggenggam jemarinya erat. “Kesempatan kedua ini,” gumamnya pelan, “akan kupakai untuk merebut kembali hidupku.”Suara berat itu membuat Elena dan Cani seketika membeku. Keduanya menoleh perlahan, di sana di ambang pintu kamar berdiri Rangga. Tubuh tegapnya bersandar di kusen pintu, sorot matanya tajam menusuk, mencoba mengintimidasi. “Elena.” suaranya datar. “dari mana saja kalian?” ulang RanggaCani menunduk refleks, wajahnya pucat pasi. Elena hanya menarik napas pelan, berusaha menenangkan debar di dadanya sebelum menjawab dengan nada datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.“Kami hanya berjalan-jalan di belakang taman paviliun,” ucapnya. “Sekalian menanam beberapa tanaman.”Rangga menyipitkan mata, bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. “Kau pikir aku percaya? Aku tahu kau pasti merencanakan sesuatu di belakang kami.”Tatapan Elena berubah dingin, tak ada sedikit pun rasa takut di matanya. “Aku tidak butuh kau percaya atau tidak,” jawabnya tegas. “Lagi pula, apa yang kau lakukan di sini? Setahuku, kau tidak pernah repot-repot mengunjungi kamarku.”Ucapan itu membuat garis rahang Rangga
Setelah Orion pergi meninggalkan kedai kecil itu, Elena menatap punggung lelaki tua itu hingga hilang di balik kerumunan pasar. “Sekarang waktunya bagian kedua,” gumam Elena, lalu berbalik pergi. Langkah Elena berhenti di depan sebuah toko pakaian kecil di sudut pasar. Cat pada papan nama toko itu sudah mengelupas, dan kaca jendelanya berdebu, tempat itu sangat sepi, hanya kain kusam yang tergantung. .Elena membuka pintu kayu itu perlahan, dan suara lonceng tua berdentang menandakan kedatangannya. Namun, tak ada yang datang. Elena menunggu sebentar di dekat pintu, lalu akhirnya melangkah masuk. Toko itu sepi, hanya terdengar suara seorang anak kecil dari ruang belakang. Saat Elena menoleh, ia melihat seorang wanita berambut kusam sedang menenangkan anaknya yang tampak kelaparan. Tubuh wanita itu kurus, bajunya lusuh. Begitu menyadari ada seseorang di pintu, wanita itu langsung berdiri waspada, melindungi anaknya di belakang punggung.“Siapa kamu?” serunya tajam. “Mau apa kau ke s
Sudah seminggu Elena tinggal di paviliun Selatan dan tak pernah keluar, hanya Cani yang membawakan makanan untuknya. Elena duduk di kursi dekat jendela, menatap buku tebal bertuliskan huruf kuno tentang sihir dasar dan aliran spiritual. Ia membaca dengan seksama, namun semakin lama, ekspresinya berubah frustrasi. Tangannya mengepal, dan buku itu terhempas ke lantai.“Kenapa belum juga bangkit?” gumamnya pelan, seraya menatap kosong ke arah luar jendela.Sudah seminggu penuh ia mencoba memusatkan kekuatan spiritualnya, namun tak ada satu pun percikan sihir muncul.Elena menutup matanya, mengatur napas panjang, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.Sebuah kenangan dari kehidupan lalunya berkelebat, saat Kanaya, si putri asli tanpa sengaja menolong seorang pengemis tua di pasar. Tak lama setelah itu, Kanaya memiliki guru rahasia yang membuat kekuatannya melonjak pesat.Elena segera berdiri, seolah mendapat pencerahan.“Cani!” panggilnya cepat.Pelayan muda itu segera masuk, menunduk sopan. “
Pelayan itu terus membenturkan kepalanya ke lantai dengan keras, hingga darah mulai menetes dari dahinya. "Ampuni saya, Tuan. Saya menyesal!" “Cukup!” seru Tuan Dirgantara, tapi pelayan itu tetap berlutut, tubuhnya gemetar memohon ampunan. Dengan tangan berlumur darah dari dahinya, pelayan itu merangkak ke arah Kanaya dan berusaha memegang ujung roknya. “Nona Kanaya, tolong saya ... saya tidak sengaja ... saya hanya—” suaranya tersendat, matanya memohon tapi ada sesuatu di matanya. Kanaya menatap pelayan itu dengan wajah tidak percaya. Suaranya terdengar kecewa. “Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu tidak tahu kalau Kak Elena bisa dihukum karena perbuatan yang tidak dia lakukan?”Pelayan itu masih memohon, tubuhnya bersujud di lantai, “Nona tapi bukankah Nona kemarin—”“Cukup!” potong Kanaya cepat, matanya membulat dan pandangannya langsung beralih ke ayahnya, Adipati Dirgantara. “Ayah,” kata Kanaya, suaranya memelas, “pelayan ini memang bersalah. Tapi bisakah hukumannya diringankan
Tuan Dirgantara menoleh, begitu juga dengan yang lain. “Kalian tidak bisa menghukumku, tanpa ada bukti,” kata Elena seraya menepis tangan pengawal yang mencoba menyeretnya. Rangga maju selangkah, jari telunjuknya menuding tepat ke wajah Elena. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas, kau memang berusaha merusak paviliun ini hanya karena tak ingin Kanaya menempatinya. Jangan bilang kau mau memutar balikkan fakta!”Elena menatap jari itu dengan datar sebelum menepisnya kwras. “Apa begini sikap adil yang ditunjukkan oleh keluarga Adipati Dirgantara?” tanyanya menyindir, matanya menatap satu per satu wajah di hadapannya.Mata Adipati Dirgantara menyalak tajam merasa tersinggung ucapan Elena. Suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara, baru kali ini mereka melihat Elena berbicara dengan nada setegas itu.Adipati Dirgantara menyipitkan mata. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas! Kau yang paling terakhir menempati paviliun itu, dan sekarang tempat ini hancur! Jangan berani m
“Apa yang kau katakan?” suara Adipati Dirgantara meledak, membuat semua orang terhenyak. Tatapan pria paruh baya itu, menusuk tajam ke arah pelayan yang kini berlutut gemetar.Pelayan itu menunduk semakin dalam, matanya melirik sekilas ke arah Elena yang berdiri diam di sisi kanan ruangan.Adipati yang tak luput menangkap lirikan itu kembali menegaskan. “Katakan dengan jelas! Jangan hanya diam seperti patung!”Pelayan itu menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. “A–ampun, Tuan … Paviliun Melati … paviliun itu … hancur berantakan. Saat kami hendak membersihkan kamar untuk Nona Kanaya, kami mendapati seluruh ruangan sudah kacau … barang-barang porak-poranda.”Semua orang membelalak terkejut, mata serentak tertuju pada Elena, yang terlihat tenang. Rangga tiba-tiba berdiri dari duduknya, langsung menatap tajam ke arah Elena. “Lihat! Benarkan dugaanku! Pantas saja kau begitu cepat menyerahkan Paviliun Melati. Rupanya ini rencanamu sejak awal!”Ringga ikut maju setengah langkah, suaranya pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments