Beranda / Romansa / Aku Hanya Gadis Ternoda / 6. Dari Mulut ke Mulut

Share

6. Dari Mulut ke Mulut

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 18:17:59

“Udah bangun?”

Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”

Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. 

Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.

“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”

Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.

Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tirinya sendiri.

“Kamu mau cari mati, hah?!”

Iblis berwujud manusia itu mencengkeram tangan kananku yang berusaha melempar lampu tidur di samping ranjang.

Aku kembali berteriak, menendangnya sekuat tenaga sampai terjungkal ke belakang. Dadaku naik turun, merasakan luapan emosi yang luar biasa. 

Aku melilitkan selimut tebal itu ke tubuhku sebelum berlari ke kamar mandi dan menguncinya. Di sana aku kembali menangis putus asa. Guyuran air membasahi kepala, menyembunyikan air mata yang tak bisa kuhentikan bagaimanapun caranya.

Entah berapa lama aku bersembunyi di sana sampai kehabisan tenaga dan pingsan untuk kedua kalinya. Begitu terbangun, aku ada di rumah sakit. Cairan infus melekat di punggung tangan kanan.

“Kamu udah sadar, Sayang?”

Suara Madame Erina menyadarkanku kalau apa yang baru saja terlintas di kepala adalah kenangan tiga tahun yang lalu. Sekarang aku ada di kamarku sendiri, ruangan dengan dekorasi warna kelabu.

“Renata bilang kamu nggak enak badan, ternyata memang demam. Kenapa nggak ke dokter atau rumah sakit?”

Aku sudah membuka mulut, siap menjawab pertanyaannya saat pintu kamar terbuka. Sosok pria dengan jaket kulit kembali muncul dengan nampan di tangannya.

Detik itu juga aku membulatkan mata, bergegas menyingkap selimut untuk pergi dari sana. Sayangnya, kepalaku terasa begitu berat dan hanya bisa mengaduh lirih sambil memejamkan mata.

“Madame, Anda bisa kembali. Saya yang akan menjaga Sera.”

“Ok.”

Tubuhku menegang, tidak percaya dengan jawaban wanita itu.

“Mam …. Argh!”

Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Rasa sakit luar biasa kurasakan di tangan kanan yang kugunakan sebagai tumpuan.

“Sayang, tangan kamu keseleo. Kata dokter butuh dua minggu sampai sembuh total. Sementara itu, kamu libur dulu.”

Aku meringis, menyadari perban yang menutupi telapak tangan sampai pergelangan. Sepertinya selain kepala, tanganku juga terantuk sesuatu. Aku tidak menyadarinya.

“Rian, enjoy your time,” pinta Madame Erina untuk menikmati waktunya bersamaku. Sontak rahangku mengerat, ingin mengumpat. Namun, aku masih menaruh hormat pada wanita itu. Tanpanya, aku dan Renata hanya akan jadi gembel di Jakarta.

Gemeletuk sepatu hak tinggi terdengar menjauh dan aku tidak bisa melakukan apa pun. Pintu tertutup sempurna, menyisakan pria beraroma mint yang kini duduk di tepi ranjang sambil menatapku.

“Enjoy your time.” Dia terkekeh, sengaja menggodaku dengan menirukan pesan Madame.

“Pergi!” usirku lirih, tapi masih bisa terdengar jelas di telinganya.

“Sera … oh, Sera. Kamu makin cantik kalau lagi marah.”

Aku mendengus kesal, memelotot ke arahnya. Dia justru tertawa, semakin bahagia.

“Leave me alone.”

Kulihat dia menggeleng. Aku terkesiap saat punggung tangannya memeriksa kening. Detik itu juga, aku menghempasnya sekuat tenaga. Degup jantungku berdetak kencang seketika. Perasaan trauma itu masih ada, kembali terbayang karena jarak kami yang teramat dekat.

“Kamu masih demam. Aku nggak bisa pergi.”

“Kalau gitu aku yang pergi.”

Tubuhku limbung saat aku memaksa bangkit dari ranjang. Sialnya, dia sama sekali tidak menangkap tubuhku, membiarkanku terjerembap begitu saja di atas lantai yang dingin.

“Kamu punya otak di kepala, bisa dipakai kalau mau.”

Shit!

Aku meremas tanganku sendiri, tidak bisa menyangkalnya. Yang barusan kulakukan memang tidak dipikirkan baik-baik, refleks karena enggan bersinggungan dengannya lebih lama.

“Kita perlu bicara, Ra. Aku punya tawaran menarik buat kamu,” ucapnya sambil berjongkok di hadapanku, membawa soto yang dibelikan Renata beberapa jam lalu. Kuahnya masih panas, dia pasti sengaja menghangatkannya.

“Tapi sebelum itu, kamu harus makan dulu. Jangan sampai pingsan lagi.”

“Aku pingsan atau mati sekalipun, bukan urusan kamu.”

“Buka mulut. Makan!” titahnya dengan suara penuh tekanan.

Aku membuang muka, tidak mau menurutinya.

“Sera, kamu tahu jelas seperti apa sifatku. Kalau kamu keras kepala, bukan nggak mungkin kalau aku suapin kamu dari mulut ke mulut.”

Satu sudut bibirku terangkat. Dia selalu seperti itu, memiliki 1001 ancaman untuk membuatku menuruti permintaannya. Sayang sekali, aku bukanlah gadis polos seperti sebelumnya yang takut dan langsung mengatakan iya.

Sebaliknya, aku kembali mengumpulkan tenaga dan beranjak dari sana. Berpegang dinding, kursi, dan benda apa saja yang ada, aku berhasil keluar kamar dan duduk di sofa. Di sana lebih aman dibandingkan berdua di kamar dengannya.

“Dasar keras kepala.”

Dia kembali mendekat, masih membawa nampan di tangannya.

“Kamu makan sendiri atau aku suapi?” tanyanya dengan suara yang lebih bersahabat setelah duduk di sebelahku.

Lagi-lagi aku mengumpat dalam hati. Lebih baik aku menahan lapar sampai besok pagi dibandingkan makan di hadapannya. Sayang sekali, perutku justru berkhianat. Sepertinya wajahku memerah, karena kulihat dia tersenyum.

“Sera Adriana, aku bisa lembut kalau kamu nurut. Sebaliknya, aku bisa lakuin apa aja yang nggak pernah kamu sangka sebelumnya kalau tetap keras kepala.”

“Taruh mangkuknya di meja. Aku masih bisa makan sendiri,” ketusku sebal.

“Yakin bisa?”

“Berisik. Taruh aja!”

Lagi-lagi dia tertawa. Aku semakin dongkol dibuatnya.

“Padahal aku pengen suapin kamu dari mu-lut ke mu-lut.” Dia sengaja mengeja kata itu, berbisik di telingaku.

Astaga!

Tak ingin ancamannya menjadi kenyataan, aku merebut mangkuk itu dari tangannya dan meletakkannya di meja. Tubuhku beringsut turun, duduk di lantai dan menikmati makanan berkuah kuning itu menggunakan tangan kiri.

“Harusnya tadi aku buat tangan kamu keseleo dua-duanya biar kamu nggak punya alasan mempertahankan keras kepalamu itu.”

Kulempar kotak tisu di atas meja ke arahnya, enggan mendengar kalimat apa pun dari mulutnya. Namun, karena kurang hati-hati, bahuku justru menyenggol mangkuk itu dan membuatnya tumpah.

“Argh, panas!”

Pria dengan kaus hitam lengan pendek itu segera menggendongku ke kamar mandi dan mendudukkanku di atas toilet duduk yang tertutup. Tangannya segera menghidupkan shower untuk membersihkan kuah soto yang tumpah ke piyamaku dengan air mengalir.

“Ceroboh!” tukasnya sambil menarik tangan kananku ke atas, mencegah perban agar tidak basah. Dia refleks mengusap perutku, menyingkirkan sisa makanan yang masih menempel di sana. Namun, gerakannya terhenti saat menyadari di mana tangannya berada sekarang. 

Pangkal paha!

Meski terhalang piyama, tapi tubuhku bereaksi terhadap sentuhannya. Bersamaan dengan itu,  kesadarannya pun terkumpul sempurna. Sebagai pria dewasa, dia menunjukkan eksistensi miliknya dengan amat kentara. Aku bisa melihatnya.

Kami saling berpandangan satu sama lain selama beberapa detik, kesulitan mengungkapkannya dengan kata-kata. Sampai kemudian aku sadar kalau ketidaksengajaan ini tidak seharusnya terjadi. Berbahaya!

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan, menyadarkan dia akan situasi yang tidak seharusnya. Namun, api yang telah menyala, bagaimana cara memadamkannya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Suara Sumbang Tetangga

    “Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Pulang

    “Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Pilih Aku atau Dika? (2)

    "Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Pilih Aku atau Dika? (1)

    “Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Bukan Cerita Cinderella

    "Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status