"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"
Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya.
"Udah, udah. Ayo masuk dulu."
Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.
“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut.
Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.
Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.
“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang terbuka, nggak?”
Aku tetap bungkam, hanya mengangkat kakiku ke atas sofa dan kupeluk erat-erat. Lidahku terlalu kelu untuk menyebutkan nama itu.
Cukup lama kami terdiam. Renata mengembuskan napas kasar, tidak mau memaksaku bercerita. Sosoknya menghilang setelah menerima panggilan telepon dan kembali lagi dengan box makanan di tangannya.
"Makan dulu, Ra. Gue udah pesen soto ayam kesukaan lo."
Tak hanya mengurusku yang terpuruk, Renata bahkan menyiapkan makanan juga. Dia terbiasa hidup sebatang kara sejak masih remaja. Itulah kenapa sikapnya terlihat lebih dewasa meski umur kami sama.
“Hmm, ini mantap banget kuahnya. Enak, Ra. Sambelnya juga cetar. Coba, gih.”
Satu sendok makanan yang masih menguarkan uap itu disodorkan padaku.
“Buka mulutnya. Aaaa!”
Aku tak beraksi, hanya menatap kosong ke arah televisi layar datar di depan kami. Sebuah acara reality show yang mengundang tawa, sama sekali tak membuat beban hatiku berkurang. Sebaliknya, aku merasa semakin hampa.
"Aih, kenapa sih? Lo cekcok sama Dika?”
Aku menggeleng lemah.
“Terus kenapa? Bibir lo pucat, tuh. Gue yakin perut lo juga lapar. Selain bubur ayam tadi pagi, lo belum makan apa-apa, kan?”
Lagi-lagi aku menggeleng.
“Nah, sekarang perut lo harus diisi. Walaupun hidup kita berantakan, tetep harus makan. Allah marah loh kalau kita nyiksa diri kita sendiri. Dosa. Zalim namanya!"
Seketika aku melirik ke arah gadis dengan pakaian kurang bahan itu. Apa katanya? Dosa? Bahkan pekerjaan kami berdua adalah ladang dosa.
"Kenapa? Horor gitu lihatnya?" Renata menyenggol bahuku, melahap makanan berkuah itu ke mulutnya sendiri karena mulutku tak kunjung terbuka.
“Gue tahu apa yang lo pikirin. Kenapa tiba-tiba bahas dosa, ya?” Tawa renyah menggema. “Abisnya lo kayak orang linglung gitu. Disentil dulu baru sadar.”
Aku meneguk susu coklat yang sudah agak dingin. Setidaknya itu bisa mengalihkan perhatianku dari perkara dosa yang membuatku mengingat Tuhan.
"Udah, makan nih. Bentar lagi gue mau siap-siap. Ada 3 klien malam ini. Kayaknya gue pulang pagi, deh." Renata mengatakan itu sambil menepuk box warna putih yang belum terbuka.
“Tiga, Re?” Aku menelan ludah sambil mengamati gadis yang mencuci tangan di wastafel.
“Iya. Masing-masing dua jam. Makin gila aja klien sekarang.”
Tak bisa kubayangkan betapa lelahnya Renata. Aku yang hanya menerima satu klien setiap malamnya, sering merasa pinggangku hampir patah. Benar yang dia katakan, beberapa klien benar-benar mengambil kesempatan untuk memuaskan keinginannya.
Menjadi wanita malam bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada banyak risiko yang harus kami tanggung. Meskipun Madame Erina selalu membuat peraturan yang ketat terkait para kliennya, tetap saja itu tidak meringankan penderitaan kami setiap malamnya.
Sebuah gaun tanpa lengan dengan tali spaghetti melekat di tubuh sintal Renata. Lipstik merah delima mewarnai sepasang bibir tipisnya, senada dengan stiletto yang dipakainya. Semerbak parfum memenuhi ruangan. Cukup memabukkan dan membangkitkan keinginan pelanggan.
"Ra, ntar lo angetin sendiri kuah sotonya kalau mau makan. Gue udah bilang ke Madame kalau lo lagi nggak enak badan, ambil cuti dua hari. Baik-baik istirahat di rumah. Be stronger!"
Aku hanya mengangguk, menerima selimut putih yang menutupi kaki jenjangku. Namun, pemikiran lain seketika menyergapku.
"Kalau ada apa-apa, hubungi gue atau Madame. As soon as possible gue bakal lihat ponsel kalau kerjaan udah selesai.”
“Re,” panggilku sambil menahan tangannya.
“Ya?”
“Lo ambil tiga klien malam ini, buat gantiin gue?”
Aku melihat raut keterkejutan di wajah Renata. Namun, itu hanya terlihat dua detik saja. Detik berikutnya, dia justru tertawa.
“Mana ada! Emang gue yang mau ambil tiga, kok. Nggak usah ngerasa bersalah gitu. Toh, uangnya buat gue sendiri, bukan buat elo. Gue tuh lagi pengen beli tas yang launching awal bulan depan, makanya sekarang harus kumpulin uang banyak-banyak.”
Bukan satu dua hari aku mengenal Renata. Meskipun dia berusaha menutupi hal itu, jelas dia berkali-kali menyentuh hidungnya dengan jari. Itu tanda kalau dia berusaha menutupi kata hatinya. Dia sedang berbohong.
“Duh, udah jam tujuh lewat. Gue cabut dulu, ya. Dimakan sotonya. Kalau udah ngantuk, tidur di kamar. Jangan di sini. Pokoknya lo harus istirahat total biar nggak demam. See you, Babe!"
Renata melambaikan tangannya, bahkan menghadiahkan kiss jarak jauh saat tubuhnya hampir menghilang tertelan pintu. Aku tersenyum simpul, merasa terharu dengan pengorbanannya.
Hatiku menghangat menyadari perhatian Renata yang begitu besar. Meski kami tidak memiliki pertalian darah, dia benar-benar peduli padaku melebihi kepedulian keluargaku sendiri.
Aku menyandarkan kepala ke belakang, menyadari kantuk yang mulai menyerang. Entah berapa lama aku terlelap, sampai ketukan pintu mengembalikan kesadaranku. Jam dinding hampir menunjukkan angka delapan.
Tubuhku berkeringat banyak, bahkan membasahi piyama lengan pendek yang kupakai. Mataku terasa berat dan sedikit memanas. Sepertinya aku demam. Air hujan selalu menjadi musuh terbesarku sejak dulu.
Lagi-lagi terdengar ketukan pintu. Aku terbatuk-batuk, mendekat. Aku mengintip dari lubang kecil di tengah pintu. Tampak sosok Madame Erina berdiri di sana. Sepertinya dia datang untuk mengecek kondisiku, benar-benar sakit atau tidak.
“Ra …. Sera. Madame here. Can you hear me?”
Dengan kondisi tubuh yang tidak karuan, aku bergerak menarik handle pintu yang entah kenapa terasa berat.
"Sera, are you okay?" ulangnya saat kubuka pintu.
Suara wanita 45 tahun itu menyapa setelah melihatku muncul di hadapannya. Namun, aku terperanjat saat menyadari kalau Madame Erina tidak datang seorang diri. Dia membawa tamu tak diundang bersamanya.
Deg!
Jantungku seolah berhenti berdetak. Napasku tersekat di tenggorokan. Rasa sesak memenuhi dada bersama palu godam yang terasa menghantam kepala.
“Sera,” panggil seorang pria dengan jaket kulit warna hitam yang menatapku tanpa berkedip. Cambang tipis yang kemarin menghiasi dagunya, sekarang bersih tak bersisa. Pria itu, dengan tatapan yang tajam yang mendominasi, memandangku lekat-lekat tanpa berkedip.
Detik itu juga aku mundur satu langkah, berusaha menutup pintu yang menghubungkan kami bertiga. Aku sama sekali tidak ingin melihat wajahnya. Makhluk yang membuatku ingin mengakhiri hidup berkali-kali, tak terhitung jumlahnya.
Sekuat tenaga aku menahan pintu itu, berusaha menutupnya seperti semula. Tidak peduli raut keheranan di wajah Madame Erina, aku hanya tidak ingin bertemu si bedebah sialan.
“SERA!”
Brak!
Tenagaku jelas kalah jauh dibandingkan pria itu. Dia berhasil mendobrak pintu, membuat tubuhku yang lemas terhempas. Kepalaku terantuk sesuatu. Samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku sebelum semua berubah jadi gelap gulita. Aku pingsan.
"Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun