Se connecterSetelah melalui lika-liku balas dendam yang menghancurkan, rekonsiliasi yang penuh air mata, dan pernikahan mewah yang seperti dongeng, hidup Liana seakan mencapai puncak kebahagiaan. Namun, takdir ternyata masih menyimpan satu babak terakhir yang tak terduga. Di tengah malam yang semestinya dipenuhi kehangatan cinta, dering telepon dari masa lalu memecah kesunyian. Kabar darurat tentang ayahnya yang kritis membawa Liana pada dilema paling menghancurkan: Apakah dia akan membiarkan dendam lama mengubur kesempatan terakhir untuk memaafkan? Atau justru mengorbankan kebahagiaan barunya untuk menyelamatkan orang yang pernah menghancurkannya? Sementara Artha berusaha melindungi wanita yang dicintainya dari luka lama yang kembali terbuka, sebuah rahasia terpendam terungkap—sesuatu yang akan mengubah segalanya. Di ujung malam, ketika fajar akan menyingsing, Liana harus membuat keputusan yang tidak hanya menentukan nasib ayahnya, tetapi juga masa depan pernikahannya. Akankah cinta dan pengampunan benar-benar menang? Atau justru menguak luka baru yang lebih dalam?
Voir plusBalon berwarna emas dan krem—warna kesukaan Karin—bergantungan di langit-langit ballroom yang megah. Suara tawa riang dan gemerincing gelas berpadu dengan alunan musik orkestra yang lembut. Aku, Liana, berdiri di pinggir ruangan, merasa seperti noda pada gaun putih yang sempurna. Gaun sederhana yang kupakai, yang kudapat dari diskonan akhir tahun, terasa begitu asing di tengah kemewahan ini.
"Ini untukmu, Karin! Aku harap kau suka!" seru seorang tamu dengan membawa kotak besar berwrap pita merah muda. Karin, anak angkat orang tuaku, tersenyum manis, matanya berbinar-binar. "Aduh, kamu baik sekali! Terima kasih!" Suaranya laksana lonceng, merdu dan memikat. Semua orang tersihir olehnya, termasuk orang tuaku yang memandangnya dengan penuh kebanggaan dari samping. Aku menggenggam erat bungkusan kecil di tanganku. Isinya hanya sebuah kalung mutiara tiruan dengan liontin berbentuk hati. Kupilih sendiri dengan tabungan selama berbulan-bulan. Kini, rasanya begitu hina dan tidak berarti. "Ayo, Liana, jangan berdiri di sana sendiri," sapa Ibu, mendatangiku. Namun, senyumannya tidak sampai ke matanya. Ada garis-garis kelelahan dan, yang lebih menyakitkan, sedikit rasa malu saat ia melirik gaunku. "Li, apa kau tidak bisa berpakaian yang lebih... pantas untuk acara adikmu?" bisik Ayah dengan suara rendah, datar. "Kau mempermalukan keluarga." Perkataannya seperti pisau yang menancap tepat di jantungku. Aku ingin berteriak bahwa mereka tidak pernah memberiku uang untuk membeli gaun baru, bahwa semua perhatian dan kasih sayang mereka telah dialihkan sepenuhnya kepada Karin sejak dia datang setahun yang lalu. Tapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokanku. "Tidak apa-apa, Ayah, Ibu," suara Karin tiba-tiba terdengar, seolah-olah dia adalah penyelamatku. Dia melangkah mendekat dan meraih tanganku. "Kakak Liana sudah datang, itu yang terpenting. Aku senang sekali kau ada di sini, Kak." Dia tersenyum, tetapi matanya, yang hanya bisa kulihat, memancarkan kemenangan dan cemohan. Dia meraih bungkusanku dengan kasar. "Apa ini? Hadiah untukku?" Tanpa menunggu jawabanku, dia menyobek kertasnya. Dia mengeluarkan kalung itu, memegangnya dengan dua jari seolah-olah itu adalah sampah. Suara tawa kecil terdengar dari beberapa tamu di dekat kami. "Wah, lucu sekali," ucap Karin dengan nada merendahkan. "Sangat... unik. Sesuai sekali dengan seleramu, Kak." Lalu, dengan gerakan yang terlihat halus namun penuh niat, dia "tidak sengaja" menjatuhkan kalung itu. Liontin hati itu pecah berantakan di lantai marmer, bagaikan cerminan hatiku pada saat itu. "Maaf, Kak!" katanya dengan suara lantang, berpura-pura sedih. "Aku sangat ceroboh!" Ibu langsung memeluknya. "Sudah, tidak apa-apa, Sayang. Itu hanya barang murahan." Ayah menghela napas, melihatku dengan pandangan kecewa. Aku hanya bisa menatap puing-puing mutiara palsu di lantai. Di tengah pesta yang berisik itu, aku merasa sendiri. Sangat sendiri. Air mata panas menggenang di mataku, tapi kutahan. Di sini, di balik senyuman manis dan balon-balon indah, aku mengenakan mahkota duri yang hanya bisa kurasakan sendiri. Rasa sakit ini adalah permulaan dari akhir segalanya. "Periksa kamarnya," perintah Ayah dengan suara yang asing, datar, dan penuh kekecewaan. Hatiku langsung tenggelam. Ibu, dengan ragu sejenak, lalu mengangguk dan bergegas menaiki tangga. "Tidak, tunggu!" teriakku, tapi suaraku tercekat oleh tangis. Karin berdiri di samping Ayah, memegang lengan Ayah dengan wajah yang berpura-pura sedih, namun matanya memancarkan kemenangan. Beberapa menit yang terasa seperti keabadian berlalu. Ibu kembali dengan wajah pucat dan tangan gemetar memegang kotak perhiasan kosong—kotak yang seharusnya berisi kalung mutiara nenek—dan sebuah amplop berisi uang yang kukumpulkan untuk biaya semester berikutnya. "Ditemukan... di bawah kasurnya," lapor Ibu dengan suara hampa, menatapku seolah tidak mengenaliku lagi. "Dan uang ini... Dari mana, Liana?" "Aku bekerja untuk uang itu! Itu untuk kuliah!" bantahku, putus asa. Air mata mulai mengalir deras di pipiku. "Aku tidak mencuri! Karin yang—" "Cukup!" bentak Ayah, suaranya menggelegar dan memotong ruangan. Wajahnya merah karena kemarahan dan rasa malu. "Kau tidak hanya mencuri, kau juga menuduh saudarimu yang baik hati? Kau sudah terlalu jauh, Liana!" "Tapi Ayah—" "Dengarkan aku baik-baik," Ayah mendekatiku, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat kebencian di matanya. "Kau adalah aib bagi keluarga ini. Sikapmu, tingkah lakumu... semuanya memalukan. Kami sudah memberimu segalanya, dan inilah balasanmu?" "Ibu, tolong..." aku memohon, beralih kepada ibuku, berharap setitik kepercayaan masih ada. Ibu memalingkan wajahnya. "Aku... aku tidak bisa mempercayaimu lagi, Liana. Pergi saja." Karin tersedu-sedu palsu. "Mungkin... mungkin Kak Liana hanya butuh uang. Maafkan dia, Ayah, Ibu." Kata-katanya yang "membela" itu justru seperti minyak yang disiram ke api. "Tidak!" hardik Ayah. "Dia harus belajar konsekuensi. Keluar dari rumah ini, Liana! Sekarang juga! Dan jangan pernah kembali!" Seketika itu juga, langit di luar seakan murka. Hujan deras mulai turun, membasahi jendela dengan deras, seiring dengan hancurnya hatiku. Dunia berputar. Aku terhuyung, tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kau bukan lagi anak kami," tambah Ayah dengan suara akhir, dingin, dan penuh keputusan. Dengan langkah gontai, tubuhku serasa bukan milikku lagi, aku berbalik dan menyeret kakiku keluar dari ruang tamu, meninggalkan mereka bertiga—sebuah keluarga yang utuh tanpa kehadiranku. Pintu depan terbuka, dan angin malam yang dingin menyambutku dengan tajam. Tanpa melihat ke belakang lagi, karena tidak ada lagi yang bisa ditengok, aku melangkah keluar, masuk ke dalam pelukan hujan yang mengguyur tanpa ampun. Air mata bercampur dengan air hujan, menyamarkan rasa sakit yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Setiap tetes hujan terasa seperti pecahan kaca yang menancap di kulitku, mengingatkanku pada setiap kata-kata pedang yang baru saja menusukku. "Periksa kamarnya," perintah Ayah dengan suara yang asing, datar, dan penuh kekecewaan. Hatiku langsung tenggelam. Ibu, dengan ragu sejenak, lalu mengangguk dan bergegas menaiki tangga. "Tidak, tunggu!" teriakku, tapi suaraku tercekat oleh tangis. Karin berdiri di samping Ayah, memegang lengan Ayah dengan wajah yang berpura-pura sedih, namun matanya memancarkan kemenangan. Beberapa menit yang terasa seperti keabadian berlalu. Ibu kembali dengan wajah pucat dan tangan gemetar memegang kotak perhiasan kosong—kotak yang seharusnya berisi kalung mutiara nenek—dan sebuah amplop berisi uang yang kukumpulkan untuk biaya semester berikutnya. "Ditemukan... di bawah kasurnya," lapor Ibu dengan suara hampa, menatapku seolah tidak mengenaliku lagi. "Dan uang ini... Dari mana, Liana?" "Aku bekerja untuk uang itu! Itu untuk kuliah!" bantahku, putus asa. Air mata mulai mengalir deras di pipiku. "Aku tidak mencuri! Karin yang—" "Cukup!" bentak Ayah, suaranya menggelegar dan memotong ruangan. Wajahnya merah karena kemarahan dan rasa malu. "Kau tidak hanya mencuri, kau juga menuduh saudarimu yang baik hati? Kau sudah terlalu jauh, Liana!" "Tapi Ayah—" "Dengarkan aku baik-baik," Ayah mendekatiku, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat kebencian di matanya. "Kau adalah aib bagi keluarga ini. Sikapmu, tingkah lakumu... semuanya memalukan. Kami sudah memberimu segalanya, dan inilah balasanmu?" "Ibu, tolong..." aku memohon, beralih kepada ibuku, berharap setitik kepercayaan masih ada. Ibu memalingkan wajahnya. "Aku... aku tidak bisa mempercayaimu lagi, Liana. Pergi saja." Karin tersedu-sedu palsu. "Mungkin... mungkin Kak Liana hanya butuh uang. Maafkan dia, Ayah, Ibu." Kata-katanya yang "membela" itu justru seperti minyak yang disiram ke api. "Tidak!" hardik Ayah. "Dia harus belajar konsekuensi. Keluar dari rumah ini, Liana! Sekarang juga! Dan jangan pernah kembali!" Seketika itu juga, langit di luar seakan murka. Hujan deras mulai turun, membasahi jendela dengan deras, seiring dengan hancurnya hatiku. Dunia berputar. Aku terhuyung, tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kau bukan lagi anak kami," tambah Ayah dengan suara akhir, dingin, dan penuh keputusan. Dengan langkah gontai, tubuhku serasa bukan milikku lagi, aku berbalik dan menyeret kakiku keluar dari ruang tamu, meninggalkan mereka bertiga—sebuah keluarga yang utuh tanpa kehadiranku. Pintu depan terbuka, dan angin malam yang dingin menyambutku dengan tajam. Tanpa melihat ke belakang lagi, karena tidak ada lagi yang bisa ditengok, aku melangkah keluar, masuk ke dalam pelukan hujan yang mengguyur tanpa ampun. Air mata bercampur dengan air hujan, menyamarkan rasa sakit yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Setiap tetes hujan terasa seperti pecahan kaca yang menancap di kulitku, mengingatkanku pada setiap kata-kata pedang yang baru saja menusukku. Hujan menghujani tubuhku dengan tanpa ampun, merendam gaun sederhana yang masih kupakai hingga basah kuyup dan memberatkan setiap langkah. Aku berjalan tanpa arah, kaki terhuyung-huyung di trotoar yang licin. Air mata sudah tak lagi mengalir; yang tersisa hanya mati rasa yang dalam dan hampa di dalam dada. Kota yang biasanya ramai kini sepi, disapu oleh badai yang seakan turut berduka—atau mungkin menertawakan—kehancuranku. "Kau adalah aib." "Pergi saja." "Kau bukan lagi anak kami." Kata-kata itu bergema di kepalaku, lebih keras dari gemuruh guntur di atas. Setiap kenangan manis masa kecil, setiap pelukan, setiap senyuman kebanggaan mereka—kini ternoda selamanya oleh racun yang diteteskan pelan-pelan oleh Karin. Dan mereka, orang yang seharusnya paling mengenaliku, paling melindungiku, memilih untuk mempercayainya tanpa keraguan. Aku tidak mencuri! teriak hatiku, tapi siapa yang peduli? Kebenaran telah dikubur oleh kepalsuan yang dibungkus senyuman manis. Kaki yang gemetar akhirnya menyerah. Aku tersandung dan jatuh di sebuah lorong gelap, tubuh terguling di genangan air kotor. Tidak ada tenaga lagi untuk bangkit. Dingin merayap masuk ke tulang-tulangku, menggigil hebat yang tak bisa kukendalikan. Napas ini terasa pendek dan sakit. Di ambang kesadaran, wajah Karin muncul—senyum kepuasannya, bisikan racunnya, akting sempurnanya. Dia merampas segalanya dariku: kasih sayang orang tua, rumah, harga diri, dan kini… nyawaku. Inikah akhirnya? Aku mati seperti sampah, di lorong kotor, sendirian? Sementara dia akan terus hidup nyaman, disayang, menikmati warisan yang seharusnya sebagian milikku? Tidak. Api kemarahan yang terakhir tiba-tiba menyala dalam dadaku, menghangatkan tubuh yang kaku. Mata yang hampir terpejam terbuka lebar, menatap langit malam yang gelap gulita. "Aku… bersumpah," desisku, suara serak yang nyaris hilang diterpa hujan. "Jika ada kehidupan lain… Jika ada kesempatan kedua…" Napas terakhir hampir sampai, tapi tekadku mengeras seperti baja. "Aku akan kembali." "Aku akan hidup lagi." "Dan aku akan menghancurkan mereka semua yang telah menghancurkan diriku." "Sumpahku… dendamku… akan kutuntut sampai akhir." "Tunggu saja… Karin… Ayah… Ibu…" "Kita akan bertemu lagi." Kalimat terakhir itu terucap sebagai bisikan terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Kesadaran pun sirna, tetapi satu tekad membara tertanam abadi dalam jiwa: Dendam. Dan di keabadian yang gelap itu, sebuah cahaya baru mulai bersinar—cahaya sebuah janji untuk kehidupan kedua, dan sebuah pembalasan yang tak terelakkan.Kemenangan atas kejatuhan keluarga Hartono ternyata tidak serta merta membawa kedamaian yang diharapkan Liana. Meski rasa dendamnya telah terbalaskan, sebuah kehampaan yang aneh justru mengisi relung hatinya. Kehidupan barunya yang serba berkecukupan dan penuh kebebasan terasa... datar. Seolah ada sesuatu yang masih kurang.Suatu sore, Artha mengajaknya mengunjungi sebuah pameran seni kontemporer. "Kita butuh mengalihkan pikiran," ujarnya, mencoba membaca suasana hati Liana yang muram sejak acara peluncuran yang berantakan itu.Pameran itu diadakan di sebuah galeri tua yang telah direnovasi. Karya-karya seni instalasi memenuhi ruangan, namun satu karya tertentu menarik perhatian Artha. Sebuah instalasi video yang menampilkan rekaman dokumenter hitam putih tentang kehidupan di panti asuhan pada era 90-an. Layar besar menampilkan anak-anak dengan pakaian lusuh bermain di halaman yang gersang.Liana memperhatikan Artha yang tiba-tiba diam membatu. Wajahnya yang biasanya penuh percaya dir
Enam minggu telah berlalu sejak mereka menyelesaikan dossier mematikan itu. Enam minggu penuh ketegangan dan kesabaran. Liana dan Artha tahu, mereka butuh panggung yang tepat—sebuah momen dimana kejatuhan Karin akan memiliki dampak terbesar, di depan orang-orang yang paling dia pedulikan: para elite sosial, rekan bisnis, dan tentu saja, keluarganya sendiri.Kesempatan itu akhirnya datang. Hartono Group akan menggelar acara peluncuran mega-proyek terbaru mereka, "Hartono Eco-Skyline", sebuah kawasan hunian super mewah dan ramah lingkungan. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, investor, selebriti papan atas, dan tentu saja, seluruh keluarga Hartono. Karin, sebagai director of public relations, akan menjadi salah satu pembicara kunci. Ini adalah momen puncak baginya, dan itulah yang membuatnya sempurna untuk dihancurkan."Kita harus berada di sana," ujar Liana suatu pagi, menatap brosur elektronik acara yang mewah. Matanya berbinar dengan tekad yang telah lama dipendam.
Kemenangan di acara amal masih terasa manis, tetapi bagi Liana dan Artha, itu hanyalah pembuka. Mereka perlu memastikan setiap langkah selanjutnya didasari bukti yang tak terbantahkan. "Kita butuh lebih dari sekadar gosip dan kesan," ujar Artha suatu sore di apartemen Liana, matanya menatap layar laptop yang penuh dengan data finansial Hartono Group. "Kita butuh bukti konkret yang bisa menghancurkan mereka secara hukum dan finansial."Liana mengangguk, pikirannya melayang pada semua percakapan dan kejadian yang pernah ia saksikan di kehidupan sebelumnya. "Karin... dia licik, tapi dia juga ceroboh. Dia percaya diri berlebihan. Dia pasti meninggalkan jejak.""Jejak digital," tambah Artha. "Dunia maya adalah medan perang berikutnya."Dengan sumber daya Artha, mereka merekrut seorang ahli keamanan siber dan etikal hacker yang handal, seorang pria muda bernama Danar yang dikenal dengan kemampuannya menelusuri lorong-lorong gelap internet tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan dilakukan di seb
Kantor pribadi Artha di lantai tertinggi Wijaya Group telah menjadi ruang perang mereka. Tidak ada lagi kesan formal yang kaku. Di atas meja kayu jati yang luas, sekarang berserakan dokumen, tablet, dan papan tulis putih yang penuh dengan coretan strategi, garis waktu, dan nama-nama yang familier bagi Liana: Hartono Group, Karin, Heri Hartono (ayahnya), dan Linda Hartono (ibunya)."Mulai dari mana?" tanya Artha, duduk di seberangnya. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya yang besar terhadap sumber informasi Liana, tetapi juga tidak menekannya untuk penjelasan lebih lanjut. Ia menghormati batasan yang ditetapkan Liana.Liana menarik napas dalam. Menggali ingatan masa lalunya seperti membuka luka yang sudah mulai mengering. Setiap kenangan tentang pengkhianatan dan kelicikan masih terasa perih, tetapi sekarang, rasa sakit itu telah berubah menjadi bahan bakar."Kita mulai dari sini," ujarnya, menunjuk sebuah laporan keuangan kuartalan Hartono Group yang terbuka untuk publik. "
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.