“Sera, kamu sudah lama nunggu?”
Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa. “Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa. “Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.” Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan. Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?” Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tidak lagi pucat seperti kemarin. Namun, aku yakin lingkaran hitam justru terlihat jelas. Tebakannya benar, aku memang sama sekali tidak terpejam semalam karena terus memikirkan Renata. Apa dia baik-baik saja? Dua malam berturut-turut melayani tiga klien. “I’m okay.” Aku memaksakan tersenyum meskipun mungkin terlihat aneh. “Baguslah.” Kulihat wanita itu sibuk dengan ponselnya, kemudian tersenyum dengan binar bahagia memenuhi wajah. Tatap matanya menunjukkan kalau dia memiliki rencana tersembunyi, tapi aku tidak tahu apa itu. Denting lift membuyarkan prasangka yang hampir merebut akal sehatku. Koridor lengang dengan dinding warna merah muda menyambut kami berdua. Ah, bertiga dengan seorang pengawal. Pria dewasa bertubuh kekar dengan belati di pinggangnya selalu menyertai Madame ke mana pun dia pergi. “Renata di kamar berapa, Mam?” tanyaku saat melewati pintu hitam bernomor 1107. Itu ruangan favoritnya saat menerima klien. Untuk menjaga keamanan anak-anaknya, Madame Erina memang hanya memperbolehkan kami melayani klien di apartemen miliknya. TIdak heran jika kami memiliki standar harga yang cukup tinggi, untuk menunjang fasilitas-fasilitas mewah ini. “Sean,” panggil Madame sambil menghentikan langkahnya. “Nona Renata memang ada di dalam,” ucap pengawal itu setelah memeriksa ponselnya. Di sana ada semacam daftar kamar dan penghuni yang bisa diakses secara realtime. “Open the door, please.” Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Madame Erina meminta pria di belakangnya untuk membuka akses masuk ruangan itu. Sebuah card lock ditempelkan di pintu sebelum Sean menarik handle-nya ke bawah. “Kamu punya waktu lima menit, Ra. Saya tunggu di ruangan saya.” “Thanks, Mam.” “My pleasure, Honey.” Ekor mataku mengantarkan sosok Madame Erina yang terus menjauh dari tempatku berdiri. Dia memasuki ruangan di ujung koridor, unit apartemen yang digunakan sebagai jantung bisnis yang menghidupi kami. Tempat di mana kami menandatangani kontrak kerja sama maupun dokumen semacamnya. Aku mengepalkan tangan, meredam luapan emosi yang datang kembali. Aku masih mengingat jelas saat pertama kali datang ke tempat itu. Renata yang mengajakku. “Buat gadis ternoda kaya kita, nggak ada pekerjaan yang lebih cocok dibandingkan jadi wanita malam, Ra. Mau kamu jungkir balik kerja 24 jam sehari sekalipun, tetap nggak bisa nyamain pendapatan sebagai wanita panggilan.” Aku menarik tanganku, menggeleng cepat. Meskipun aku tidak suci lagi, bukan berarti boleh menjerumuskan diriku dalam kubangan lumpur dosa. Itu yang kupikirkan saat itu. “Ayolah, Ra. Gue udah denger semua dari Sasa. Lo gagal nikah, terus diusir sama keluarga lo. Mas Haris, kakak yang seharusnya bisa lindungin, malah lepas tangan, kan?” “Re, kerja apa aja aku mau. Asalkan jangan itu.” Aku masih polos saat itu, memanggilnya dengan aku-kamu, bukan lo-gue. “Mau kerja apa di Jakarta pakai ijazah SMA? Asisten rumah tangga? Lo nggak punya basic skill yang bisa mendukung hidup di sini. ART-pun harus ada sertifikat keahliannya. Selain di toko bunga punya nyokapnya Dika, lo nggak pernah kerja di tempat lain, kan?” Aku menunduk dalam. Semua yang Sera katakan benar. “Tenang aja, Ra. Ini bisnis yang aman, kita kerja dapat jaminan.” Aku tetap menggeleng meski tidak berani menatap wajah Renata. Tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk profesi ini. Salah tetaplah salah. Halal dan haram tidak bisa dicampur aduk. Itu pegangan dalam hatiku. “Buat pemula kayak lo, nggak langsung layanin klien, kok. Lo cuma disewa buat dengerin keluh kesah mereka. Ada semacam layanan konseling gitu, deh. Kayak curhat. Klien yang lagi marah sama pasangannya, ngobrol sama kita buat keluarin unek-uneknya. Cuma itu doang.” Mendengar hal itu, aku memberanikan diri menatap Renata. “Lagian, tempat Madame Erina ini nggak kayak tempat lain yang ngerugiin pekerjanya. Ada jenjang karirnya, Ra. Kalau kita dapat Sugar Daddy, kita bisa bebas. Kontrak bakal diperbarui setahun sekali. Kalau kita udah dapat kerjaan lain, kita bisa keluar tanpa ada halangan.” “Oh, iya. Semua klien yang datang ke sana, udah jalanin tes kesehatan. Gue nggak tahu tes apa aja. Selain itu, kita juga wajib jalanin tes di rumah sakit setiap beberapa bulan sekali. Kalau ada tanda-tanda kita kena penyakit menular s*ksual, langsung dapat pengobatan. Pokoknya aman dan bersih, Ra!” Setiap kalimat yang Renata ucapkan saat itu berhasil mengikis keraguanku. Pertama melepas jilbab, aku sungguh merasa amat sangat berdosa. Namun, lama kelamaan aku tidak lagi memikirkannya. Tuntutan profesi, itu pembenaran untuk keputusan yang saat itu kuambil. Banyak klien yang senang mengobrol denganku. Seperti kata Renata, mereka sekadar membagi keluh kesahnya. Namun, uang yang kudapatkan tidak sebanyak yang dihasilkan oleh Renata. Hingga keadaan memaksaku terperosok ke kubangan lumpur itu lebih dalam lagi. Ayah jatuh di kamar mandi dan harus operasi dengan biaya yang tidak sedikit. Satu-satunya jalan adalah dengan meminjam uang ke Madame Erina. Dia bersedia memberikannya dengan syarat aku mau menjadi sumber daya utamanya. “Kamu nggak perlu khawatir tentang uang, semua bisa dibicarakan. Selama kamu bisa menghasilkan keuntungan untuk tempat ini, Madame dengan senang hati membantumu. Tapi ingat, ada perngorbanan untuk setiap pencapaian.” Dengan tangan gemetar, aku menandatangani kontrak itu. Pelanggan pertamaku bukan orang lain, melainkan anak Madame Erina yang baru pulang dari Amerika. Namanya Dion. Aku terlibat dengannya selama satu bulan, sampai dia bosan. Madame tidak mempermasalahkanku yang tidak berpengalaman. Justru itulah yang dia cari. Dia tidak ingin barang baru diberikan pada sembarang klien. Putranya jadi orang pertama yang menyentuhku setelah si bedebah itu. Akhirnya, aku tenggelam dalam gemerlapnya dunia dan semua kemewahan yang ada. Prinsip yang dulu kupertahankan, menguap entah ke mana. Yang kubutuhkan adalah materi untuk menyambung nyawa, bukan pembenaran agamis semata. Ingatan pahit itu terlintas di kepala tanpa diminta, membuatku harus memejamkan mata selama beberapa detik lamanya. Semakin dilupakan, aku justru semakin tertekan. “Stop it, Ra,” lirihku mengaburkan cubitan hati kecil yang meronta. “Nggak ada gunanya inget hal-hal busuk yang udah berlalu. Hidup harus terus berjalan.” Aku mangatur napas sambil meredam gemuruh yang hampir membuatku kesulitan bernapas. Kakiku terus bergerak memasuki unit apartemen tempat Renata berada. Setidaknya, aku harus memastikan kalau dia baik-baik saja setelah melewati malam yang tidak biasa. Namun, harapanku runtuh detik itu juga. Mataku membola, menatap tubuh dengan luka lebam di pipi dan darah mengering di sudut bibirnya. Tak hanya itu, sebuah dasi mengikat kedua pergelangan tangan Renata, membuatnya tidak berdaya. “Re! Renata!” Aku menepuk-nepuk pipinya, berharap dia membuka mata. “Bangun, Re.” Kepalaku menoleh ke sana kemari, mencari apa saja untuk bisa membangunkannya. Aku membasahi tangan dan meraup wajah Renata sambil terus memanggil namanya, tapi tetap tidak ada jawaban. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah meminta bantuan. “Mam … Mam cepet ke sini. Renata pingsan. Dia … dia jadi korban kekerasan!”"Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun